Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
***
Oleh: Hadiba Bakhta
Masa kecil adalah masa lalu yang menjadi kenangan dan pedoman seperti apa menghadapi masa depan. Lebih dari harta, nilai moral yang diajarkan orangtua tentu lebih berharga dari warisan harta benda.
Ayahku hanya buruh pabrik biasa, di sebuah pabrik mi instan tak jauh dari rumah. Sedang ibu adalah ibu rumah tangga yang memang luar biasa. Ya, luar biasa karena saat dewasa baru aku sadari betapa semua nilai pengorbanannya tak kan lekang tergerus masa.
Aku terlahir dengan cerita yang tak biasa, konon katanya, ada sosok tak kasat mata yang ingin merebutku saat masih dalam kandungan hingga ibu setengah mati mempertahankanku. Hingga aku lahir, hari lahirku serupa dengan ayah, di mana ada aturan dalam kehidupan Jawa bahwa aku 'harus dibuang' untuk sementara. Tentu tak lama, hanya sebuah tradisi menitipkanku pada tetangga dekat kemudian membawaku pulang kembali. Sungguh aneh tapi nyata, aku tak bisa mengingatnya, ayah ibu pun tak pernah mengungkitnya. Namun, sanak saudara yang membagikan ceritanya.
Mungkin karena keuangan belum stabil, kami terpaksa berpindah dari rumah kontrakan satu ke rumah kontrakan lainnya. Hingga akhirnya ayah membeli sebidang tanah kosong, yang hingga kini jadi rumah keluarga.
Kuingat betul di awal, hanya separuh bangunan yang berdiri. Teras, ruang tamu, 2 kamar tidur, dapur dan kamar mandi. Separuh lagi tanah kosong hanya diisi sebuah pohon mangga yang asam rasanya. Mungkin untuk keluarga satu anak rumah itu tak nampak kecil, namun kami berbagi juga dengan 2 orang om dan tanteku, adik kandung ayah. Dan saat nenek dari ibuku datang, beliau tidur di bale (ranjang tanpa kasur, di dapur), aku ingat kata nenekku tidak apa tidur di dapur, sambil berjaga mengusir tikus katanya, haha.
Om dan tanteku kemudian menikah satu per satu dan meninggalkan rumah, ayah benar-benar menyicil pembangunan rumah sedikit demi sedikit. Bertahun-tahu hanya dinding bata, tanpa plester semen plester apalagi tembok berwarna.
Ayahku bekerja dengan sistem shift, kadang pagi kadang siang kadang malam. Saat ayah shift malam, aku selalu manangis entah lupa mengapa. Untuk menambah pemasukan ekonomi keluarga, aku ingat ayah mencoba berbisnis sabun colek dengan namaku sebagai merknya. Bisnis sabun colek kuning yang tak berlangsung lama, entah karena hanya coba-coba, atau karena bukan jalan rezekinya.
Aku ingat juga dulu ayah mendapat kupon tiket berenang tiap bulannya. Kami selalu menghabiskan waktu berdua, namun sampai sekarang berenang justru adalah salah satu kelemahanku, mungkin karena dulu hanya fokus untuk bermain air saja dan makan es krim setelahnya. Ayah juga selalu mengajakku naik bus kota ke satu-satunya mall saat itu di kotaku, saat kenaikan kelas dan aku juara satu, walau hanya untuk membeli satu set buku dan pensil baru.
Kehidupan Sederhana yang Memberi Pelajaran Berarti
Aku tak terbiasa sarapan pagi dengan nasi, hanya jajanan pasar yang dijatah satu potong setiap paginya. Tak terbayangkan memang dulu bagaimana repotnya ibu, membesarkan 4 anak dengan karakter yang berbeda-beda.
Ibu sering memasak dengan porsi luar biasa, lauk di wajan besar atau sayur di panci besar. Tentu saja agar tak menghabiskan waktu untuk memasak, tinggal diihangatkan hingga bisa sampai 3 hari, menu bersantan atau oseng tempe tahu adalah andalannya. Porsi lauk pun tak bisa ambil seenaknya. Semua lauk pasti dimasak dengan campuran tahu tempe di dalamnya, dan lauk utama seperti telur atau ayam hanya boleh mengambil separuh potong saja. Ibu tak suka ditanya hari ini masak lauk apa, baginya tersedia cukup nasi adalah yang utama.
Ayah ibu membagi peran dalam rumah tangga. Ibu fokus mengurus keperluan 4 anaknya, sedang ayah berperan dalam mengajari kami belajar pelajaran sekolah, belajar salat, belajar mengaji, dan membiasakan kami belajar pagi. Ya, selepas subuh dilarang tidur lagi, meski terkantuk-kantuk kami harus duduk membuka lembaran buku sekolah hingga tiba waktunya mandi pagi.
Untuk mainan, kami tak banyak memiliki, tapi untuk urusan buku sekolah, ayah tak pernah toleransi meski kadang harus membeli di toko loak agar lebih menghemat. Ayah juga selalu berusaha membuat semuanya sendiri. Meja belajar, lemari piring, meja mengaji, semua dibuatnya bermodalkan membeli kayu triplek dan dikerjakan dengan tangannya sendiri.
Tak hanya satu dua orang saja yang mengakui, ayah ibuku memang pandai mengelola harta. Gaji ayah yang hanya rata-rata bisa menjadikan 2 anaknya sudah sarjana, dan 2 sisanya masih berkuliah sekarang.
Selain itu juga mereka sudah mempersiapkan hari tua, membeli sebuah rumah untuk dijadikan rumah kos karena tak ingin merepotkan anak-anaknya. Setelah ayah pensiun, mungkin karena kerja keras sudah mendarah daging di jiwanya, ayah menjadi tukang ojek di depan gang, dan juga membuka warung kelontong kecil-kecilan di rumah.
Hasilnya mungkin tak seberapa, namun cukup mengisi waktu dan menghilangkan jenuh di usia senja. Kata ayah selagi baik tak boleh ada kata gengsi dalam mencari rezeki. Namun untuk gaya hidup, barulah jangan mengikuti gengsi, cukup menyesuaikan harta yang dimiliki.
Bukan tanpa alasan ayah dan ibu jadi teladan luar biasa, mereka pun terlahir dari keluarga yang tak berada. Namun mereka berhasil dengan prinsipnya, tak akan mewariskan kemiskinan pada anak-anaknya.
Aku dan adik-adikku sudah diajarkan mengelola uang jajan sedari belia. Masuk sekolah TK, kami diberi jatah harian jadi tak bisa minta jajan seenaknya. Saat SMP, kami sudah dipercayakan uang jajan untuk sebulan lamanya. Kami dipaksa harus pandai menjaga dan menggunakannya karena ayahpun membaginya hanya saat hari gajian tiba.
Ayah dan ibu juga luar biasa ibadahnya, ayah sangat jarang ketinggalan sholat berjamaah di musholla. Jangankan ibadah wajib, salat malam dan puasa sunnah sudah jadi kebiasaan yang kulihat sejak dulu kala. Ayah ibu juga mengajarkan tentang keutamaan sedekah pada sesama. Kata ayah, rezeki tak melulu tentang banyaknya, tapi juga keberkahannya, mungkin nilainya tak seberapa di mata manusia namun jika didapat dengan cara yang baik dan bisa memberikan banyak manfaat, itu yang lebih utama.
Ayah, ibu, terima kasih atas segala ajaran ilmu kehidupan yang tak sekedar diucap, namun tercontoh nyata kalian lakukan. Semua sangat bermanfaat untuk menguatkan mental kami, anak-anakmu menghadapi dunia yang tak jarang jadi kejam bagi orang dewasa. Sampai kapan pun kalian akan jadi sosok teladan tempat kami belajar, semoga sehat selalu dan berbahagia di masa tua.
#ElevateWomen