Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
***
Oleh: Sisca Tristanti
Aku lahir dan besar di sebuah kota kecil di Sumatra, meskipun disebut kota, tapi pada tahun 1990an pembangunan gedung-gedung di sini bisa dibilang belum aktif dibandingkan dengan kota-kota di pulau Jawa. Beberapa rumah panggung tradisional masih menghiasi di sepanjang jalan besar yang beraspal. Sementara rumah-rumah di dalam lorong-lorong kecil masih dikelilingi pepohonan rindang dengan kandang aneka ternak di pekarangan belakang.
Sebagai orang yang masih bisa disebut bocah kampung, selain bermain permainan tradisional seperti bocah-bocah pada umumnya, aku dan teman-teman juga suka berburu buah-buahan liar di hutan kecil sekitar rumah kami, kemudian mandi di sungai sebelum pulang ke rumah di sore hari.
Malam harinya di bawah temaram lampu teplok setelah belajar biasanya aku menghabiskan waktu untuk membuat komik. Komik mini yang kubuat dengan cara manual; menggunting kertas polos hingga berukuran 10x10cm, menumpuknya menjadi 10 halaman, menjahit dengan benang di salah satu sisinya, kemudian mulailah aku menorehkan penaku di lembar demi lembarnya dengan cerita-cerita karanganku sendiri dihiasi gambar-gambar sederhana khas para bocah.
Hobi Masa Kecil
Untuk satu buku komik mini berisi 10 lembar kertas, biasanya kubuat dalam waktu 2-3 hari. Kegiatan yang sangat menyenangkan untukku saat itu, apalagi kala itu kami belum memiliki televisi ataupun handphone, sehingga membaca buku, menulis cerita, dan menggambar adalah hal-hal seru yang bisa kami lakukan setiap harinya. Orangtuaku sangat mendukung kebiasaanku itu di balik semua keterbatasan di sekeliling kami, listrik yang belum masuk ke daerah kami, penerangan seadanya, dan alat gambar secukupnya.
Biasanya setelah komik-komik itu selesai kubuat, dengan jiwa dagang yang entah menurun dari siapa, aku menjual buku-buku komik itu di sekolah. Seratus perak saja harganya dan teman-temanku sangat antusias membelinya dan selalu menagih buku-buku baru setiap minggunya. Sungguh sebuah pengalaman masa kecil yang menorehkan kesan mendalam, melalui apresiasi teman-teman saat membaca komik-komik buatanku lah cita-citaku menjadi penulis tumbuh. Benar kata orang, “Belajarlah menghargai karya orang lain, karena reaksi yang kita berikan terhadap karya seseorang bisa menjadi motivasi seumur hidup atau justru sebaliknya menjadi luka untuknya."
#ElevateWomen