Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
***
Oleh: Intan Siti Noer Rita Daswan
Masa kecil. Apa yang terlintas di pikiranku ketika mendengar dua kata itu?
Kesusahan dan kesakitan. Ya, jangan cerita apa itu kesusahan dan rasa sakit padaku. Aku pernah merasakan keduanya di saat usiaku masih harus menikmati dunia penuh keceriaan.
Aku bukan terlahir dari keluarga kaya raya. Ketika aku lahir, keluargaku tinggal di sebuah rumah di sebelah rel kereta api. Rumah yang sangat sederhana dan itu pun bukan milik sendiri.
Sebelum aku lahir, keluargaku bisa dikatakan sangat mapan. Memiliki rumah besar di kota Cianjur, Jawa Barat. Bapakku memiliki tempat les bahasa Inggris yang sangat terkenal di kota itu. Bahkan sampai banyak pejabat yang menjadi muridnya.
Bapak juga memiliki empat ekor sapi dan juga beberapa hewan ternak lainnya. Bisa dikatakan, saat itu, keluargaku sangat berkecukupan. Bahkan menjadi tempat untuk meminjam uang, baik itu saudara maupun tetangga.
Namun, semuanya berubah. Bapak sakit keras dan harus dibawa ke rumah sakit yang berada di Bandung. Pada waktu itu, yang ada di benak Mamah, hanyalah berpikir bagaimana Bapak bisa sembuh. Dan, kondisi kritis Bapak ternyata dimanfaatkan oleh orang yang awalnya diberikan kepercayaan.
What's On Fimela
powered by
Melewati Masa-Masa yang Tidak Mudah
Semua harta Bapak habis tak tersisa. Semua surat-surat rumah dan yang lainnya pun entah ada dimana. Bapak memang sudah berniat hijrah dan ikhlas kehilangan itu semua. Bapak ingin lebih dekat dengan Sang Pencipta yang selama ini dilupakan.
Bapak dan Mamah pun mau untuk hidup dalam keterbatasan. Mereka yang asalnya hidup di rumah mewah, memulai semuanya dari nol. Mereka harus tinggal di sebuah rumah sangat sederhana di pinggiran kota Bandung.
Mamah dan Bapak berjualan masakan. Mamah yang memang sejak gadis sangat pandai memasak, memberanikan diri menjual makanan matang di rumah yang kami kontrak. Dan, di rumah itulah aku lahir.
Aku terlahir dalam kondisi sehat. Tapi, beberapa bulan setelah itu, aku sering sekali sakit. Sejak saat itu, badanku ringkih dan pesakitan hingga usia remaja. Mengunjungi rumah sakit, bertemu dokter dan merasakan jarum suntik sebulan dua kali, sudah menjadi hal yang lumrah. Mengkonsumsi pil, tablet dan sirup menjadi rutinitas harian.
Di saat usia sekolah pun, aku masih bertahan dengan penyakit yang aku idap. Karena kondisi fisikku ini, bahkan aku sering sekali izin tidak masuk sekolah. Dalam sebulan aku biasanya hanya dua mingga sekolah, selebihnya harus berbaring di tempat tidur.
Selain fisikku yang sering sakit-sakitan, kondisi ekonomi keluargaku pun masih dikatakan tidak stabil. Pernah suatu masa, ketika Mamah dan Bapak tidak memiliki uang sepeser pun, kami sekeluarga hanya makan nasi dengan rebusan daun ubi jalar.
Ketika aku berusia 5 tahun, keluargaku mendapat ujian yang luar biasa berat. Bapak difitnah mencuri beberapa unit komputer di yayasan tempatnya bekerja. Masih terekam jelas di benakku saat itu, beberapa orang berpakaian polisi datang ke rumah.
Setelah kejadian itu, Bapak diberhentikan dan yayasan tempat Bapak bekerja menyebarkan informasi palsu ini. Alhasil, Bapak ditolak bekerja di mana pun, termasuk beberapa tetangga mulai menjauhi kami. Tapi, akhirnya semua terungkap. Bapak dinyatakan tidak bersalah karena pencurian komputer itu dilakukan oleh anak dari pemimpin yayasan tersebut.
Dengan kondisi ekonomi keluarga yang jauh dari kata cukup, aku dan keempat kakakku harus mau membantu kedua orang tua. Kami diberi tugas untuk membawa kue dan es mambo buatan Mamah untuk dititipkan di beberapa warung.
Meskipun aku sakit-sakitan, tapi ketika aku sehat, aku tetap mendapat tugas membawa dagangan tersebut. Malu? Tentu saja. Tapi, aku tidak punya pilihan untuk menolak.
Di balik kondisi fisik dan ekonomi keluarga yang sangat tidak bersahabat. Sebenarnya aku pun merasakan suatu kebanggaan dan kebahagiaan. Aku selalu mendapat ranking 3 besar di kelas. Selain itu, aku juga sering ditunjuk untuk mewakili sekolah mengikuti lomba mengarang.
Bangkit dan Berjuang
Namun, karena karakter dan juga faktor lingkungan, kemampuanku itu tidak membuat aku lebih percaya diri. Aku lebih sering berpikiran akan kekuranganku. Minder, takut, dan malu menjadi lebih bersahabat dengan pembawaanku. Kata-kata negatif lebih menempel di alam bawah sadarku daripada rasa syukurku.
Tapi, Mamah dan Bapak tidak pernah lelah memberiku motivasi. Mamah begitu yakin kalau aku bisa menjadi yang terbaik. Mamah juga selalu bertanya apa cita-citaku, dan terus meyakinkanku kalau tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Mamah selalu mengatakan kalau aku ini cerdas dan memiliki kemampuan yang bisa membantu banyak orang.
Saat itu, Bapak meyakinkanku kalau aku pasti bisa menulis dengan baik. Dan, Bapak selalu mengatakan kalau aku bisa menjadi penulis. Aku bisa menerbitkan buku. Aku bisa sukses dan meraih semua impianku.
Seiring berjalannya waktu, aku pun mulai berani untuk bermimpi lagi. Aku katakan kepada kedua orang tuaku kalau aku ingin sekali jadi tour guide, memiliki tempat les, menjadi penulis, memotivasi orang yang kondisi kurang beruntung sepertiku, dan bisa membantu banyak orang.
Satu per satu, ketika aku tumbuh dewasa, impian itu bisa aku raih. Mulai dari merasakan jadi tour guide, mengajar BIPA (Bahasa Indonesia bagi Penutur Asing), memiliki tempat les bahasa Inggris, bisa menerbitkan buku, mengisi acara motivasi dan bergabung dengan komunitas yang peduli membantu desa tertinggal serta anak-anak jalanan.
Setiap momen ketika aku mendapatkan impian tersebut, Mamah dan Bapak selalu menitikkan air mata. Ketika tahu aku memiliki banyak murid di tempat lesku dan jadwal mengajar orang asing yang silih berganti, Mamah dan Bapak sering menyampaikan kekaguman dan rasa syukurnya.
Satu momen yang paling menyentuh ketika aku menjadi pememang lomba menulis yang diadakan oleh salah satu penerbit mayor. Alam bawah sadarku seperti memanggil kembali memori pertama kali aku diajarkan dan diyakinkan akan kemampuanku menulis. Sesuai dengan nazarku, aku persembahkan semua hadiah untuk kedua orang tua. Dan, mereka tak kuasa menahan tangis ketika melihat nama anak bungsu mereka yang pesakitan ini terpampang di sampul buku.
Selain itu, mereka merasa bersyukur ketika anaknya ini diundang untuk mengisi motivasi, baik itu di sekolah-sekolah, komunitas atau radio. Mereka bahagia karena aku bisa berbagi inspirasi kepada orang lain. Apa yang mereka katakan menjadi kenyataan. Kata-kata itu doa. Dan, doa orang tua itu tanpa sekat.
Dulu aku pernah kecewa dengan apa yang aku alami. Seiring berjalannya waktu, aku sadar tak ada yang disesalkan dari masa kecilku. Masa kecil itu bagaikan kepingan puzzle yang akan melengkapi gambar alur cerita tentangku. Terima kasih, masa kecilku! Karenamu aku bisa paham apa makna hidup dan kehidupan.
#ElevateWomen