Masa Kecil Kita Pasti Pernah Diwarnai Jatuh dari Sepeda meski Cuma Sekali

Endah Wijayanti diperbarui 04 Agu 2021, 10:45 WIB

Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.

***

Oleh:  Fanny Anggraeni Manurung

Dulu ketika saya SD, bersepeda adalah aktivitas yang paling saya gemari. Begitu duduk di atas sadel dan mulai mengayuh, saya seolah merasa menjadi orang yang paling bahagia sedunia.

Kebetulan sepeda yang saya miliki adalah sepeda rakitan karena ada teman papa saya memang usaha itu. Sebagaimana barang rakitan pada umumnya, cacat pada barang bisa dibilang merupakan hal yang lumrah, termasuk cacat pada sepeda saya. Ya, sepeda saya rem depan dan belakangnya blong, dan alih-alih membetulkan remnya, saya justru meminta remnya untuk dilepas sehingga praktis saya mengerem menggunakan sandal yang saya pakai.

"Sirkuit" favorit saya ketika bersepeda adalah jalan menurun menuju rumah saya, yang kemudian apabila lurus sekitar 5 meter, terdapat belokan ke kiri dan agak menanjak.

 

2 dari 2 halaman

Pengalaman Bersepeda dan Jatuh yang Tak Terlupakan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Pondsaksit

Sore itu, seperti biasa, saya mengayuh sepeda saya dari sisi jalan yang tinggi, meluncur turun, kemudian berbelok miring ke kiri. Sekali. Dua kali. Tiga kali. Saya begitu menikmatinya. Tapi seperti kata pepatah, sepandai-pandainya tupai melompat, pada akhirnya akan jatuh juga. Pada luncuran yang kesekian kalinya, alih-alih melambatkan laju sepeda, saya justru mengayuh pedal sepeda lebih cepat. Saya ingin berbelok dengan kecepatan yang lebih tinggi.

Ketika pada akhirnya saya mulai melahap satu-satunya tikungan, saya tidak bisa mengendalikan laju sepeda, sehingga alih-alih berjalan lurus, sepeda saya justru keluar jalur dan mengantarkan saya "sowan" dengan tembok rumah tetangga saya. Tidak lupa saya cium setiap inci tembok rumahnya, karena saya terjatuh merosot dari dinding.

Seketika saya langsung meraba dahi kiri saya yang terasa sakit — yang ternyata benjol. Saya juga menyadari bahwa bibir saya jontor dari cara saya mengatupkan bibir terasa seperti ada ganjalan.

Pada akhirnya saya tuntun sepeda saya, dan dengan mengendap-endap saya masuk ke kamar dan tidur menyamping menghadap tembok — agar tidak ketahuan orang tua karena sadar saya pasti akan dimarahi. Kakak saya yang kebetulan waktu itu menyadari ada yang aneh dengan saya karena saya sudah tidur ketika hari sore, kemudian berusaha menginterogasi saya.

Karena saya tidak mau membalikkan badan meski berkali-kali ditanya, akhirnya kakak saya meraih bahu saya untuk mengecek apa yang sebenarnya terjadi, dan begitu melihat dahi saya benjol dan bibir saya jontor, ditambah dengan hiasan berupa kelupasan cat dinding yang ternyata ikut menempel di wajah saya, sontak kakak saya menertawakan saya tanpa perasaan.

Karena kejadian itu saya tidak jera semakin hari semakin sering untuk naik sepeda dan menjadi hobi sampai masa-masa seperti ini bersepeda.

#ElevateWomen