Fimela.com, Jakarta Kenangan pada masa kecil takkan pernah terlupakan. Hari-hari dan waktu yang kita lewati saat masih anak-anak akan selalu membekas di hati. Masing-masing dari kita pun pasti punya kisah atau cerita paling membekas soal masa kecil itu, seperti pengalaman yang dituliskan Sahabat Fimela dalam Lomba My Childhood Story: Berbagi Cerita Masa Kecil yang Menyenangkan ini.
***
Oleh: Anisa Nuha
Aku percaya bahwa mimpiku di masa kecil membawaku menjadi aku hari ini.
Teringat dulu di masa kecil ketika ditanya, "Kamu mau jadi apa?" aku akan menjawab, "Aku ingin menjadi guru." Seiring bertambahnya usia, mimpi kecil kita akan berubah, begitu pula denganku.
Bukan hanya berubah, mimpiku justru selalu bertambah. Mulai dari ingin menjadi diplomat agar bisa keliling dunia, ingin menjadi guru agar bisa mengajar, ingin menjadi pengusaha agar bisa membuka lapangan pekerjaan, dsb. Dan ada satu mimpiku yang membawaku menjadi aku saat ini, yaitu aku ingin menjadi penulis.
Hobiku Membaca Menjadikan Aku Bermimpi Menjadi Seorang Penulis
Aku hidup di sebuah desa di Kab. Gunungkidul, Yogyakarta. Masa kecilku adalah saksi di mana orangtuaku jatuh bangun membangun usaha kala itu. Hidup di keluarga yang pas-pasan menjadikan aku hidup di lingkungan yang sederhana. Yang aku cintai dari diriku sewaktu kecil yaitu aku tidak pernah merasa kurang meskipun harus hidup di rumah yang bahkan lantainya masih berupa tanah. Semua terasa cukup dan menyenangkan.
Cerita berawal dari ayahku yang mengelola sebuah perpustakaan desa. Dari perpustakaan itu aku bisa membaca buku-buku yang tersedia. Meskipun pilihannya terbatas, aku merasa senang karena banyak pilihan novel didalamnya.
Yang aku heran, semasa kecil aku bisa membaca novel ratusan halaman hanya dalam waktu beberapa hari saja. Sejak saat itu aku menyadari bahwa ini adalah hobi yang selanjutnya membentuk impianku untuk menjadi seorang penulis novel.
Aku bersyukur karena mempunyai orangtua yang menyadari ketertarikan anak pada bidang tertentu sehingga perjalananku untuk mencapainya menjadi lebih mudah. Privilege yang aku punya bukan barang-barang yang mewah, namun dukungan dari keluarga yang membuat anak merasa didukung dan dihargai.
What's On Fimela
powered by
Menuju Kedewasaan: Perspektif tentang Sebuah Profesi akan Terus Berkembang
Lalu, apakah mimpiku menjadi guru menjadi hilang? Tentu tidak. Namun aku punya pandangan yang lebih luas.
Pandangan itu bermula saat aku merasa menjadi manusia yang mudah bosan dan sepertinya menjadi guru yang harus berangkat pagi ke sekolah bukan lagi menjadi pilihanku. Aku tetap ingin mengajar namun dengan cara lain.
Entah menjadi guru les yang tidak setiap hari mengajar atau menjadi speaker untuk suatu topik yang kukuasai. Impian menjadi diplomat pun jadi hilang perlahan karena untuk bisa keliling dunia saat ini tak melulu harus menjadi delegasi. Menjadi travel blogger pun bisa mewujudkan kita untuk menapaki belahan dunia lain.
Begitu juga dengan menulis. Saat ini keterampilan menulis dibutuhkan di banyak bidang profesi. Bahkan aku pernah dibayar untuk menjadi copywriter di sebuah akun fashion instagram. Jadi kemampuan menulisku ini tidak melulu harus diwujudkan dengan menjadi ‘penulis’ yang harus menerbitkan buku. Aku tetap bisa dengan leluasa dapat memanfaatkan banyak platform untuk membuat orang membaca tulisanku.
Kegigihan Membuat Kita Bersenang-Senang Kemudian
Aku iri dengan diriku saat kecil. Masih teringat jelas sewaktu SD aku mempunyai jadwal harian yang aku tempel di dinding kamar dan menjadikanku sebagai anak kecil yang serba on-time dan on-track. Misalnya hari Jumat pukul 2 siang adalah jadwalku belajar, lalu jam 4 sore jadwalku untuk bermain.
Kala itu, di daerahku ada seorang lulusan sarjana bahasa Inggris yang membuka kelas privat bahasa Inggris. Aku pun menjadi salah satu muridnya dengan tarif hanya Rp7.000 per minggu. Tarif yang masih bisa dijangkau masyarakat pedesaan.
Aku pun antusias mengikuti kelasnya dan akhirnya aku menemukan minat baruku dalam belajar bahasa. Setiap 2 minggu sekali aku mengayuh sepeda ke tempat les. Daerahku berkontur pegunungan yang mana jalanannya naik-turun. Selain les bahasa, aku juga les pelajaran sekolah di daerah yang letaknya sekitar 6 km dari rumahku.
Hasil ketekunanku di masa kecil membuatku sering menjadi juara kelas. Padahal waktu kelas 1 SD ibuku pernah putus asa karena aku yang lumayan lambat dibanding teman-temanku yang lain. Namun kegigihan seorang Ibu juga akan menjadi role model untuk anak. Ibuku adalah pribadi yang gigih. Kegigihannya dalam menemaniku belajar dan berproses membuat keputus-asaan menjadi sebuah progress.
Dari cerita ini aku memahami bahwa gigih adalah sakit yang hanya sementara. Tidak ada perjuangan yang enak. Namun hasilnya akan kita nikmati setelahnya.
Dari Dipaksa Menjadi Terbiasa
Meskipun aku jago di kelas, namun aku hanyalah si jago kandang. Sangat pemalu. Bahkan pernah suatu ketika aku maju di depan banyak orang lalu seketika air mataku jatuh saking malunya. Bisa dibilang super duper pemalu dan demam panggung. Namun seketika sifat itu berubah ketika aku sekolah di sebuah boarding school.
Kegiatan sekolah yang mewajibkan semua muridnya harus bisa public speaking membuatku mau tidak mau harus maju ke depan banyak orang. Kegiatan pelatihan public speaking ini diadakan seminggu dua kali.
Masih terkesan di ingatan saat pertama kali aku harus maju untuk pidato, saat itu telinga mendengung seperti mau pingsan. Apalagi ketika aku harus pidato berbahasa Arab, aku bukannya belajar untuk tampil malah menangis. Namun karena terbiasa lama lama aku jadi bisa. Aku mulai berani tampil di depan teman-temanku tanpa rasa takut yang berlebihan lagi.
Singkat cerita, kakak kelasku berhalangan menjadi partisipan lomba pidato. Senior meminta aku yang didaulat menjadi penggantinya. Dengan modal nekat aku mengikuti proses kompetisi dan akhirnya menjadi juara harapan. Sejak saat itu aku mulai membangun kepercayaan diri bahwa aku bisa dan aku berani untuk mengikuti kompetisi-kompetisi selanjutnya.
Beberapa tahun aku bertanya-tanya mengapa aku dipaksa untuk sekolah di sini? Bertahun-tahun juga aku merengek untuk dipindahkan sekolah saja. Sungguh, tinggal di lingkungan baru 24 jam selama bertahun-tahun itu bukan hal yang mudah.
Sekarang aku tahu tidak semua hal harus kita tahu jawabannya saat itu juga. Aku berterimakasih atas paksaan yang kemudian membentuk soft skill-ku sekarang. Aku si demam panggung itu akhirnya bisa menaklukan beberapa kompetisi yang mengharuskanku untuk naik keatas panggung.
Perjalanan Mewujudkan Mimpi Kecilku Menjadi Kenyataan
Guru semasa sekolah pernah mengajariku satu mantra dan cara sederhana. Cara ini merupakan sebuah afirmasi dan repetisi akan cita-cita yang akan kita capai.
Beliau mengajari kami untuk menulis apa saja cita-cita kami dan menempelnya di pintu lemari. Setiap hari, setiap kita membuka pintu lemari, selalu baca daftar mimpi yang kita tulis. Baca diulang-ulang setiap hari agar kita ingat dengan tujuan dan yakin bahwa suatu saat pasti tercapai.
Menurutku, cara ini berhasil menciptakan afirmasi positif dan memberi semangat untuk kami. Kebiasaan itu terbawa sampai saat ini. Meskipun tidak ditempel di pintu lemari, namun aku dengan rinci menulis apa saja hal-hal kecil yang ingin dicapai. Salah satunya adalah mewujudkan impianku untuk menjadi penulis.
Saat kuliah aku merasa mimpiku satu per satu terwujud meskipun tidak persis seperti yang kita harapkan. Misalnya saja keinginanku menjadi guru akhirnya terwujud dengan menjadi asisten pengajar Lab. Bahasa di kampus.
Aku pun tetap bisa mewujudkan travelling ke banyak tempat dengan berbagai cara. Bak gayung bersambut, mimpiku menjadi penulis pun terwujud dengan menjadi blogger. Aku tidak menyangka bahwa kemampuanku dalam menulis diwujudkan Tuhan dengan menjadi blogger yang membuatku punya dunia dan perspektif baru dalam dunia kepenulisan.
Aku mulai menyadari bahwa semua ini tidak terjadi secara magic. Ketakutan dan kesulitan di masa lalu merupakan satu proses yang berkembang dari hari ke hari. Banyak faktor yang mempengaruhinya. Salah satunya adalah dukungan dan kesan baik yang ditimbulkan semasa kita masih kecil. Faktor selanjutnya juga positive inner child.
Dalam diri kita terdapat inner child baik itu negatif maupun positif. Inner child yang sifatnya positif akan membentuk kita menjadi jiwa yang bebas dan antusias layaknya anak kecil yang suka bermain-main.
Inner child yang positif ini terbentuk dari pengalaman baik di masa kecil dan membantu membentuk karakter positif seperti kepercayadirian ketika dewasa. Seperti selayaknya Ibuku, aku juga ingin mendidik anakku dengan penuh kesabaran dan dukungan.
23 Juli merupakan Hari Anak Sedunia. Semoga dengan ini kita punya semangat untuk menjadi dan nantinya mendidik generasi kita menjadi generasi yang positif dan siap menyongsong masa depan.
#ElevateWomen