Fimela.com, Jakarta Olimpiade Tokyo 2020 rupanya bukan sekadar pesta olaharaga dunia, melainkan juga demontrasi politik dan sosial. Di mana sejumlah atlet perempuan mengambil peran dengan menarik perhatian di panggung Olimpiade Tokyo 2020 untuk memperjuangkan kesetaraan ras.
Profesor Ilmu Politik di Linfield University di McMinnville, Oregon menyebut Olimpiade memiliki sejarah panjang tentang seksisme, mencatat bahwa perempuan pernah dilarang berpartisipasi. Untuk melonggarkan aturan terebut, atlet perempuan telah menantang norrma dan memperjuangkan hak mereka untuk bertanding.
Menurut Akilah Carter-Francique, direktur eksekutif Institute of Study of Sport, Society, and Social Change at San Jose State University, sejumlah atlet perempuan yang berlaga di Olimpiade Tokyo memperjuangkan gerakan sosial yang memicu aktivitas di Amerika Serikat dan luar negeri. Seperti halnya The Black Lives Matter Movement dan Me Too yang berfungsi sebagai sarana bagi kelompok-kelompok terpinggirkan dan dibungkam untuk berbicara.
Atlet perempuan mana saja yang menyuarakan kesetaraan ras di Olimpiade Tokyo 2020?
1. Berlutut
Tim sepak bola memanfaatkan aturan baru yang diterapkan oleh Komite Olimpiade Internasional, memungkinkan mereka untuk mengekspresikan padangan di lapangan sebelum kompetisi atau selama pengenalan tim.
Briana Scurry yang menjadi penjaga gawang tim nasinal perempuan Amerika Serikat dari 1993 hingga 2009 mengatakan bahwa berlutut menjadi alat penting untuk membantu mengatasi rasisme yang tertanam di dunia sepak bola selama bertahun-tahun.
"Sepak bola secara keseluruhan sekarang telah lebih condong dalam memadamkan rasisme yang tampaknya benar-benar merajalela dalam olahraga, terutama di pihak pria," kata Scurry,
2. Gerakan senam
Pesenam asal Kosta Rika Luciana Alvarado membawa obor untuk memprotes kesetaraan ras di Tokyo. Alvarado sendiri merupakan pesenam pertama dari Kosta Rika yang lolos ke Olimpiade. Ia menyelesaikan pertandingan dengan berlutut, meletakan tangan kirinya di belakang punggung dan mengangkat tangan kanan ke udara. Alvarado menyebut gerakan ini menyoroti pentingnya persamaan hak di panggung global.
"Karena kita semua sama. Kita semua cantik dan menakjubkan," kata Alvarado.
3. Seragam senam
Tim senam Jerman memilih untuk mempertimbangkan kenyamanan daripada tradisi ketika mereka berkompetisi. Di mana mereka memilih menggunakan busana tertutup hingga pergelangan kaki. Bukan baju ketat yang umumnya digunakan oleh pesenam. Menurut pesenam Jerman, seragam senam konvensional justru menyulitkan gerakan para atlet.
Simak video berikut ini
#Elevate Women