Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Z. Firani
Setiap wanita umumnya memiliki impian indah tentang pernikahan, tak terkecuali diriku. Bahkan sebagian wanita telah membayangkan pesta pernikahan indahnya, sejak masa kanak-kanak. Namun, sampai saat pengalaman ini ditulis, pernikahan masih sebatas angan yang mewarnai hariku.
Aku seorang penyandang disabilitas daksa pengguna kursi roda. Sejak remaja, aku sudah memimpikan pesta pernikahan indah dengan konsep garden wedding. Dalam hati selalu berharap, kelak menjadi istri bagi seorang pria tulus yang sungguh menyayangi dan sudi menerima kekuranganku.
Di tahun 2019, seorang pria menghubungi. Dia merupakan teman dari temanku. Perkenalan kami berlanjut hingga ia menyatakan hendak menjalin hubungan serius dan ingin bertemu dengan ibuku. Bukan sekadar isapan jempol, ia benar-benar datang ke rumah untuk menemui ibu. Namun, sepulangnya, ibu memberikan kode keras padaku agar tak usah berhubungan lagi dengannya. Ibu tidak memberi tahu alasan jelas mengapa, intinya beliau tak menyukai pria itu.
Tak Mendapat Restu
Di sisi lain, ternyata pria itu juga telah menghubungi orang tuanya yang tinggal di luar kota. Melalui obrolan chat, dia memberi tahu bahwa ia telah menceritakan tentang diriku pada orang tuanya dan mengutarakan niatnya menikah. Namun, senada dengan ibu, orang tuanya pun tak setuju. Orang tuanya tak ingin memiliki menantu seorang penyandang disabilitas.
Setelah mengetahui pendapat orang tuanya terhadapku, berusaha untuk tahu diri, kuambil langkah menjauhi pria itu. Kuganti pula nomor ponsel agar ia tak bisa menghubungi lagi. Meskipun sakit, tetapi dapat kumaklumi penolakan orang tuanya. Setiap orang tua pasti menginginkan yang terbaik bagi anaknya. Dengan berbesar hati, kuharap dia mendapatkan pendamping hidup sesuai harapan orang tuanya.
Tak lama setelah kejadian itu, kehidupan kembali menguji seberapa besar hati ini. Adikku yang bekerja di luar kota, mengabari bahwa ia berencana segera menikah. Semua tentang calon istrinya diceritakan lalu ia meminta pendapatku. Sebenarnya itu menjadi kabar baik sekaligus menyedihkan. Namun, sebagai kakak, kudukung keputusan baik itu.
Adik Laki-Lakiku Menikah Lebih Dulu
Ketika ibu mengetahui rencana adikku, lagi-lagi ibu tidak setuju. Alasannya, calon istri adikku berusia tiga tahun lebih tua, wajahnya pun dianggap tak secantik harapan ibu. Selain itu, calon istri adikku juga lebih mapan dalam kariernya. Ibu khawatir bila ke depannya terjadi konflik karena ketimpangan ekonomi.
Setelah mengetahui bahwa ibu tidak merestui, adik memintaku agar menolongnya untuk merayu, meyakinkan, dan memberikan pengertian pada ibu. Aku yang merupakan anak perempuan satu-satunya, selama ini memang menjadi tempat ibu bertukar pendapat. Saking tidak restunya, ibu sampai jatuh sakit. Beliau sampai menyatakan tak akan hadir saat akad dan resepsi. Bahkan saat acara lamaran, ibu benar-benar tak sudi hadir.
Meskipun tak dapat membantu banyak untuk persiapan pernikahan adik, kuusahakan meyakinkan ibu agar memberikan restunya. Setidaknya, itulah bentuk bantuan yang dapat kuberi untuk adik, jelang hari-H pernikahannya. Tak bosan, hampir setiap hari kucoba meyakinkan ibu.
Kusampaikan pengertian dengan cara yang baik. Kuberikan pengertian agar beliau tidak perlu khawatir tentang apa pun. Jodoh telah ditetapkan Tuhan. Sebagai seorang yang berpegang pada iman, kuyakinkan ibu bahwa Dia lebih mengetahui tentang apa yang terbaik.
Akhirnya tibalah hari, hati ibu menjadi luluh. Aku turut bahagia, kala ibu memberikan restunya untuk adik. Hanya itu satu-satunya yang dapat kulakukan untuk mendukung pernikahan adik.
Ibu bersedia menghadiri akad dan resepsi adik di kota kelahiran istrinya. Apabila dibandingkan dengan kakak orang lain, memang tak banyak yang mampu kulakukan. Namun, dengan ketulusan hati sebagai kakak, aku berharap yang terbaik untuk kehidupan adikku.
Setelah menikah, iparku adalah wanita yang shalihah. Ia tak keberatan memiliki kakak ipar seorang penyandang disabilitas sepertiku. Semoga kelak, ada hari untukku, merasakan pula bahagianya dipinang menjadi istri. Semoga Tuhan mengirim pria tulus, yang keluarganya pun sudi membuka hati dan tangan mereka untukku. Dan tentunya kuharap ibu pun tak sulit memberikan restunya.
#ElevateWomen