Fimela.com, Jakarta Kasus kekerasan anak, termasuk kekerasan secara daring, terus menunjukkan peningkatan selama masa pandemi Covid-19. Dilansir dari siaran pers Presiden pada rapat terbatas 9 Januari 2020, Presiden Joko Widodo dalam rapat terbatas mengenai penanganan kasus kekerasan terhadap anak menggarisbawahi adanya kenaikan kasus kekerasan terhadap anak secara signifikan.
Data CATAHU Komnas Perempuan 2021 menunjukkan angka KBGO (Kekerasan Berbasis Gender Online) yang dilaporkan ke Komnas Perempuan di tahun 2020 naik menjadi 940 kasus. Dari dua data tersebut dapat disimpulkan Indonesia dalam keadaan darurat kekerasan seksual dan pemerintah perlu segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Rani Hastari, Gender Equality & Social Inclusion (GESI) Specialist Yayasan Plan International Indonesia mengatakan setiap harinya, terutama kekerasan anak perempuan dan perempuan muda mengalami berbagai bentuk kekerasan berbasis gender, termasuk pelecehan seksual.
Kekerasan gender diakibatkan karena adanya ketidaksetaraan gender. Kekerasan berbasis gender tidak hanya berlaku pada opposite gender saja, namun juga pada sesama gender.
"Kekerasan berbasis gender ini didorong juga oleh faktor rape culture yang beredar di tengah masyarakat, dimana, beberapa kelakuan pelecehan seksual di normalisasi dan dianggap sesuatu yang biasa," ujar Rani dalam Kelas Edukasi No Go Tell Body Shop, secara virtual.
Ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk menghentikan kekerasan seksual, namun membutuhkan keterlibatan dari berbagai pihak. Selama beberapa tahun terakhir, kaum millenial semakin aktif dalam upaya kampanye maupun advokasi pencegahan perkawinan anak, baik dalam intervensi langsung di akar rumput, kampanye publik, kampanye digital, hingga advokasi kebijakan.
What's On Fimela
powered by
Angka kekerasan pada anak perempuan
Hari Sadewo, CDP Program Advisor Yayasan Plan International Indonesia mengatakan secara hukum yang disebut anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 tahun yang belum dianggap kontraktual dan harus diberikan perlindungan.
Penting bagi siapapun untuk melindungi anak dari segala bentuk kekerasan seksual. Kekerasan seksual terhadap anak masih kerap terjadi di masyarakat. Menurut Data SIMFONI Kementerian PPPA, 15.000 kasus di tahun 2020, diantaranya 58.5% korban adalah berusia anak. Lebih spesifik, anak perempuan merupakan kelompok yang lebih banyak menjadi korban kekerasan seksual.
Lebih spesifik untuk anak perempuan, menurut survey kekerasan terhadap anak tahun 2013 oleh Kemensis, prevalensi kekerasa anak perempuan 11 persen untuk kekerasan fisik, dan 9,4 persen kekerkasan emosional, dan 4,1 persen kekerasan seksual.
Dari angka tersebut, kususnya untuk kekerasan seksual artinya dari 1000 anak perempuan, 41 diantaranya mengalami kekerasan seksual.
"Maka pendidikan seksual terhadapa ana perlu untuk menghargai tubuh, bicara lebih gender, edukasi anak laki-laki bahwa bisa menghargai perempuan. Ajarkan konsep setara, diskprsikan tentan kekesana seksual tidak boleh dilakukan," paparnya.
Sigit Wacono, Child Protection Advisor Yayasan Plan International Indonesia mengatakan negara wajib untuk memberikan perlindungan bagi anak dari segala bentuk kekerasan, apa lagi kekerasan seksual. Salah satu faktor yang mempengaruhi maraknya kekerasan seksual adalah adanya bias dari personal value yang bertentangan dengan norma yang ada.
"Yayasan Plan Indonesia memprioritaskan mekanisme safeguarding untuk mengurangi kasus kekerasan seksual yang rentan dialami anak-anak, kaum muda, dan disabilitas. Ada tiga hal yang bisa kita lakukan untuk membuat safe space bagi korban kekerasan yaitu mendengarkan tanpa memaksa, tidak menyebarkan cerita tanpa konsen korban, dan membantu korban dalam proses pelaporan kasus," ujarnya.
Kampanye No! Go! Tell!
Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan) merupakan kolaborasi kampanye yang dipimpin oleh The Body Shop® Indonesia bersama Plan Indonesia, Magdalene, Yayasan Pulih, dan Makassar International Writers Festival dengan fokus utama yaitu Prevention and Recovery (Pencegahan dan Pemulihan).
No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan!) adalah sebuah mekanisme untuk mencegah kekerasan seksual dan menemukan ruang aman. Kampanye No! Go! Tell! (Katakan Tidak, Jauhi, Laporkan!) dijalankan agar dapat mengisi kebutuhan edukasi karena selama belum ada hukum yang cukup kuat kita perlu memberdayakan diri dan orang lain saat berada dalam situasi rawan kekerasan seksual. Langkah yang dipersiapkan adalah memberikan edukasi mengenai kesetaraan gender dan perlindungan Anak khususnya kepada generasi millenial.
"Kampanye ini berkomitmen menyelenggarakan rangkaian kegiatan untuk semakin mempertajam kapasitas dan kaum millenial dalam upaya pencegahan dan penanganan terhadap kekerasan, terutama perkawinan anak," ujar Rani
Maka dari itu, dengan mengenalkan konsep No! Go! Tell! terhadap generasi milenial dapat menguatkan anak dari berbagai umur, tentang apa itu abuse, bentuknya, sehingga bisa melakukan tindakan pencegahan (prevention). Rangkaian kelas edukasi, anak dan kaum milenial perempuan dan laki-laki dapat memimpin inisiatif untuk mengubah situasi relasi kuasa dan mempromosikan kesetaraan dalam upaya mencegah kekerasan seksual dan perkawinan anak.
RUU PKS harus segera disahkan karena korbannya semakin banyak, apalagi dari golongan anak-anak hingga perempuan. Kerugian yang paling besar jika RUU ini tidak disahkan adalah Indonesia akan kehilangan potensi besar dari masyarakat, hal ini pula lah yang mendorong angka kemiskinan yang tinggi. Karena korban kekerasan seksual biasanya mengurung diri, stress, depresi, hingga mengambil langkah untuk bunuh diri, bisa dibayangkan berapa kerugian yang diakibatkan oleh kekerasan seksual. RUU PKS merupakan bentuk perlindungan bagi korban kekerasan seksual yang dapat digunakan untuk melindungi diri dan sesama.
#elevate women