Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Dianty Putri
Dulu, kalau mengantarkan Mama ke acara pernikahan anak teman atau rekan kantornya, sambil berkaca-kaca lirih ia berkata, “De, Mama minta maaf ya kalau nanti kamu menikah, sepertinya Mama nggak bisa membuat acara seperti ini." Aku yang saat itu masih baru masuk kuliah hanya bisa merangkul manja tangannya, “Nggak usah khawatir, Ma. Mama biayain Ade sampai kuliah S1 aja. Habis itu gantian Ade yang biayain Mama, sambil kerja nanti Ade mau cari beasiswa S2. Nanti Ade nikah pakai biaya sendiri. Mama pokoknya yang sehat saja,” kataku sambil tersenyum ambis.
Mamaku adalah single parent yang kuat. Aku kecil menyaksikan sendiri bagaimana dia banting tulang bekerja dan merawat ayahku yang sakit. Ketika aku kelas 2 SD Papa meninggal, dan Mama tetap menjadi wanita kuat yang hebat membesarkan anak-anaknya. Berulang kali kami mengalami krisis kehidupan. Namun Mama selalu mencontohkan untuk menghadapinya dengan bekerja keras, ikhtiar, dan selalu berdoa. Karena itu aku selalu bertekad membahagiakan Mama.
Kali itu akhirnya hidup mulai berjalan sesuai rencana. Aku lulus S1, dan mulai merantau karena diterima bekerja di negeri seberang. Sebagian janjiku ke Mama sudah kupenuhi. Tinggal janji menikah yang belum. Mama tidak pernah mengejar untuk menikah karena umur, dia hanya tersenyum kalau ada saudara yang menanyakan, dan menjawab, “Anakku sedang menikmati hidup dan karier."
What's On Fimela
powered by
Keputusan untuk Menikah
Akhirnya tiba keinginan aku ingin menikah. Kami sudah LDR selama 5 tahun.
Sambil merencanakan pernikahan kami, aku dan (calon) suami, membicarakan tentang hidup bagaimana yang kami inginkan setelah pernikahan. Sekadar untuk menyamakan visi. Aku mengatakan kalau menyukai pekerjaanku di Singapura, dan dengan yang kuhasilkan, aku bisa membantu keluargaku, dan membahagiakan mamaku. Namun dia memberi masukan bahwa rezeki bisa dari mana saja, aku boleh bekerja di Indonesia, dan mama pasti lebih senang kalau aku ada di dekatnya.
Selain itu suami ingin hidup di Indonesia, dia sedang membuka konsultan dengan teman-temannya dan ingin mengembangkan perusahaannya. Akhirnya aku mengajukan resign. Tanpa disangka bos memanggilku dan meminta untuk mempertimbangkannya.
Ia menawarkan posisi yang lebih tinggi untukku, dan dia bisa memasukkan suamiku di bagian lain yang sesuai dengan bidang suamiku. Dia memang pernah kepo mengorek info tentang calon suamiku. Wah, itu tawaran yang menggiurkan buatku.
Ketika aku sampaikan ke calon suamiku ternyata dia menolak. Sedih sekali waktu itu, harapan menjadi level executive pun kandas. Waktu itu aku sampai minta time out mematikan koneksi dengannya. Namun akhirnya setelah sama-sama kepala dingin, kami kembali berbincang dan dia mengatakan kalau tujuan utama dia adalah untuk menjadi manusia yang berguna. Untuk bangsa, keluarganya, dan aku.
Baginya jika bekerja di luar negeri kami akan berhasil dan membahagiakan keluarga kami sendiri. Tapi jika mempunyai perusahaan, ia bisa membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang, membangun pelosok terpencil sesuai bidang pekerjaannya, dan dia akan bisa membahagiakan banyak orang. “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi orang lain.” Sesederhana itu, tapi bisa membuatku kembali mengingat kenapa aku dulu tertarik dan mencintai si idealis ini, temanku sejak masa sekolah.
Lalu dia melanjutkan, hidup di luar memang nyaman, dan berusaha di tanah air pasti tidak mudah, dan dia butuh aku untuk menemaninya berjuang. Luluhlah aku. Sedari kecil aku sudah ditempa dengan perjuangan hidup. Kembali berjuang bersama suami tentu akan menjadi pengalaman seru.
Mengikuti Pakem Jawa
Setelah kami menyamakan visi dan memperoleh kesepakatan misi kehidupan setelah pernikahan, kami pun mulai merembuk tentang acara pernikahan. Kami awalnya menginginkan intimate outdoor wedding. Pernikahan kecil yang mengundang orang-orang yang kami kenal. Aku tak mau menghabiskan tabunganku untuk acara sehari. Lebih baik aku memakai sebagian besar tabungan untuk honeymoon dan persiapan rumah.
Namun, keluarganya berkehendak lain. Keluarganya adalah keluarga besar, dengan adat Jawa yang kuat dipegang teguh, dan ayah ibunya mempunyai circle pertemanan yang baik dan luas. Mau menangis rasanya Ketika tamu undangan yang kami total melonjak hingga 1.000 undangan, bahkan bapaknya mengundang teman-teman SDnya.
Biaya pernikahan memang kami bagi prorated dari jumlah undangan masing-masing pihak keluarga. Walaupun jumlah undanganku seperenam dari tamu undangan, tapi tetap saja ada pembengkakan dana. Karena jumlah tamu yang banyak, konsep intimate pun dicoret. Venue yang kami list harus diganti dengan tempat yang bisa menampung banyak tamu. Selain itu request dari pihak orangtuanya agar di indoor saja. Konsep outdoor pun kami coret.
Tadinya aku ingin memakai baju kebaya minimalis dengan MUA pilihanku. Tapi ada masukan dari pihak keluarga suami agar menggunakan pakem Jawa, karena keluarga kami sama-sama dari suku Jawa. Mamaku pun tidak keberatan karena dia pun dulu menikah dengan adat Jawa. Tapi ternyata adat Jawa yang mertua mau betul-betul pakem Jawa, dan busana dan perias termasuk dalam rekomendasinya.
Jadi ini acara pernikahan siapa? Hahaha. Kata mamaku pernikahan itu bukan acara mempelai pria dan wanita saja, tapi acara dua keluarga dari kedua belah pihak. Aku pun mengikuti saja.
Dulu aku menginginkan konsep intimate minimalis, karena aku berpikir aku yang akan mengurus semuanya, sehingga acara akan dibuat sesederhana mungkin. Pernikahan Jawa sempat terlintas di pikiranku dulu sewaktu kecil ketika melihat album pernikahan orang tua. Tapi terlihat ribet dan butuh effort dan persiapan matang. Sehingga aku mengubah dream wedding menjadi intimate minimalis. Namun ternyata Tuhan malah mengabulkan mimpi lamaku.
Persiapan dan perintilan acara adat seperti tratag tarub, kembar mayang, tuwuhan, dodol dawet dan lain-lain banyak dibantu oleh pihak keluarga suami. Bahkan keluarga suami mempunyai panitia sendiri untuk mempersiapkan acara kami bersama. Aku dan suami tetap terlibat dan memilih vendor di bagian lain yang tidak ada sangkut paut dengan adat.
Mempersiapkan pernikahan memang menguras energi dan mempengaruhi kinerja di kantor. Karena di malam hari aku sibuk browsing dan berkomunikasi dengan calon-calon vendor di Indonesia.
Belum lagi kondisi hati dengan acara pernikahan yang berganti konsep. Teman-teman kantorku pun melihat, dan menyemangati. Ketika mereka bertanya bagaimana persiapan, aku pun menceritakannya.
Mereka terkejut mendengar jumlah tamu yang datang. Bahkan berpikir kalau keluarga suami adalah royal family yang mengundang orang sebanyak itu. Kujelaskan kalau di Indonesia memang banyak pernikahan yang mengundang banyak orang seperti itu.
Mereka pun bertanya kalau mereka datang apa tidak merepotkan karena nambah orang, mereka mau datang ke acara pernikahanku dengan biaya mereka sendiri. Wah, terharu sekali aku. Mereka pun bersemangat karena akan datang ke acara tradisional yang mereka belum pernah lihat sebelumnya.
Aku pun menjadikan mereka pagar ayu dan pagar bagus, agar mereka bisa totalitas merasakan tradisi Jawa selama sehari. Kupesankan kebaya untuk yang wanita dan beskap plus kerisnya untuk teman pria.
Teman-teman kerjaku ada yang berasal dari Singapura, Filipina, Malaysia, Korea, Belanda dan Polandia. Terbayang lucunya mereka memakai kebaya dan beskap. Aku bersyukur sekali ada teman-teman baik yang mengembalikan mood dan semangatku dalam bekerja dan mempersiapkan pernikahan. Nampaknya acara pernikahanku juga menjadi acara farewell kami.
Setiap Prosesi Mengandung Makna Penting
Akhirnya hari pernikahan pun tiba. Aku mulai menjalani prosesi adat Jawa Tengah.
Ketika di acara pernikahan aku mengutus seorang sepupu untuk mendampingi teman-teman dan menjelaskan makna dari acara adat yang sedang berlangsung. Mereka berkomentar, “So beautiful, so sacred." Kesakralan itu juga menyerap di hatiku.
Ketika Siraman aku merasakan restu dan pembersihan dari keluarga yang memandikanku.
Ketika Dulangan (disuapi oleh orang tua), aku merasa kasih sayang Mama yang selalu menyayangiku, dan itu laksana suapan terakhirnya karena dia sudah melepasku.
Pada malam Midodareni, Mama memberi wejangan, yang isinya bikin aku mbrebes mili.
Ketika acara Panggih, aku berlutut membersihkan telur yang suamiku injak, sebagai lambang kesopanan, dan suami membantuku berdiri sebagai makna penghargaan terhadap istri.
Ketika prosesi Sinduran, aku dan suami berbalut kain merah yang ditarik bapak mertua dan di belakang kami didorong mamaku dan ibu mertua, yang melambangkan ayah ibu kami akan selalu membimbing kami dalam berumah tangga.
Ketika prosesi Dulangan (saling menyuapi suami istri) dan Kacar Kucur di mana suami mengucurkan uang koin kepada istri sebagai lambang bahwa suami akan bertanggung jawab menafkahi keluarganya, dan tanggung jawab istri mengelolanya. Aku makin teryakinkan kalau dia akan menjadi suami bertanggung jawab, karir impianku akan terganti dengan yang lebih baik.
Ketika acara Sungkeman, tangisku pecah. Sungkem terhadap Mama yang menyayangi dan mendidikku dengan sangat baik, dan mengingat kata-kata wejangan penuh harunya di malam Midodareni.
Walaupun melelahkan, dengan acara penuh dua hari dan menyalami ribuan tamu , tapi aku sangat bersyukur Tuhan memilihkan pernikahan adat Jawa ini untukku. Yang tentu jika aku menjalani intimate wedding yang minimalis, aku tak akan merasakan makna yang terkandung dalam pernikahan pakem Jawa. Dengan menjalani prosesinya, aku merasa tertegur tentang makna pernikahan, dan lebih ikhlas menjalani kehidupan baru, di kota baru, dengan status baru; seorang istri.
Dan mungkin keikhlasanku membawa berkah. Setelah pernikahan bos meneleponku dan menawarkanku pekerjaan perproyek, di mana aku bisa bekerja dari Indonesia, dan jika diperlukan akan ada kunjungan ke kantor di Singapura. It's a better offer indeed.
#ElevateWomen