Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Bebe Sabilla
Kalau disuruh kilas balik menceritakan suka duka mengurus pernikahan, kadang suka jadi ingat kesengsem, tapi kadang sedih, ada menyesalnya juga tapi apa yang udah terjadi, nggak bisa kami putar balik, bukan? Kembali teringat perjalananku dan suami yang kenal sesingkat itu.
Kami ketemu saat aku jadi LO di sebuah acara di Jakarta. Dia adalah manager dari artis yang aku handle. Di waktu itu padahal kami sudah punya calon masing-masing, dia yang katanya sebelum puasa akan menikah, kandas juga di tengah jalan, sama pun ceritanya denganku yang harus kandas duluan.
Dari perkenalan pertama, nggak butuh waktu lama. Cuma butuh waktu enam bulan dia akhirnya bilang sama aku bahwa dia inginn serius. Jujur kaget bukan main, bagaimana tidak, orang yang kukenal secara singkat, yang kebutuhannya hanya untuk pekerjaan tiba-tiba melamarku.
Aku yang masih bingung dan cukup patah hati saat itu bilang bahwa kami butuh waktu untuk menyesuaikan diri. Cuma empat bulan, kami mengenal satu sama lain. Aku melihat dia yang memang berbeda dari yang lain, akhirnya mengiyakan lamaran sederhananya. Singkat cerita, bertemulah kami dengan keluargaku di Bandung, kebetulan saat itu kami berdua tinggal di Jakarta.
Perkenalan Singkat
Calon suamiku, memang pernah gagal dalam pernikahan satu kali sebelumnya. Itu adalah hal yang ditentang besar-besaran oleh orang tuaku terutama ibuku. Bukan perkara mudah, memperkenalkan dia pada keluargaku. Tapi kami berjuang saat itu karena memang aku, sudah merasa cocok dengan suamiku saat itu. Memang tidak mudah, tapi tidak juga butuh waktu lama. Akhirnya, orangtuaku luluh, dan memberi kami restu.
Apakah sampai di situ ceritanya? Oh tentu tidak. Dari proses lamaran menuju ke pernikahan, kami punya waktu sekitar empat bulan. Untuk berjuang agar diterima oleh keluarga satu sama lain, belum lagi hiruk pikuk mengurus pernikahan yang cukup ribet.
Kami menikah bulan April 2021, saat pandemi. Cukup nekat saat itu karna kami pikir untuk apa ditunda-tunda lagi? Tapi kami memang tak pikir panjang saat itu.
Pandemi membuat pekerjaan kami sangat terhambat, mengingat kami berdua adalah orang yang bekerja di balik panggung. Kami yang saat itu nekat memutuskan untuk menikah, lupa bahwa menikah tidak hanya sahnya aja. Ada ego keluarga yang harus kami penuhi.
Aku tipikal orang yang nggak suka ribet. Sebenarnya dari awal aku sudah bilang pada suamiku, bahwa aku tidak ingin pernikahan ini terlalu dibesar-besarkan, sederhana saja, tak perlu mengeluarkan biaya puluh-puluh juta. Akan tetapi suamiku saat itu, lebih mendengarkan ego ibuku yang ingin anaknya dikasih pernikahan besar walaupun tidak bisa megah mengingat saat itu pandemi masih ada.
Aku yang saat itu dipaksa “mengalah” akhirnya mengikuti apa yang ibuku, dan suamiku rencanakan. Aku? Hanya menurut saja.
Pernikahan ini hanya diurus berdua benar-benar berdua. Mulai dari mengurus berkas, mencari vendor yang cocok, dan mencari biayanya. Semua kami tanggung berdua tanpa campur tangan keluarga (orangtuaku dan orangtua suamiku bukan keluarga kaya bahkan bisa dibilang kami berdua adalah tulang punggung keluarga).
Pengurusan berkas yang beda kota ini cukup melelahkan, apalagi saat itu ada aturan yang berbeda untuk menikah di tahun 2021, membuat kami cukup sering pulang pergi Bandung-Jakarta. Menguras biaya dan tenaga tapi tetap kami berdua jalani dengan senang hati.
Pengurusan berkas berlangsung selama hampir dua bulan. Cukup lama, ya? Karena ada berkas suamiku yang harus dirbah ditambah kecamatan suamiku saat itu mempersulit semuanya. Mungkin karena pandemi, jadi proses yang kami hadapi cukup sulit.
Setelah berhasil memasukan berkas ke KUA, kami mengikuti kelas pra-nikah di Bandung saat itu. Hati cukup tenang karena dua bulan sebelum nikah, proseskua sudah beres, barulah kami bisa memikirkan vendor yang lain. Mudah memang, karena kebetulan semua vendor yang terlibat adalah rekanan kami, tapi kami tetap harus profesional walaupun semua vendor adalah teman kami.
Memang ya, kalau mau nikah katanya semua serba sensitif. Nggak gangguan dari luar, biasanya pasangannya jadi sensi-sensian. Contohnya kaya waktu itu suamiku yang kekeuh pengen ngadain prewed, sedangkan aku yang berpikir, "Buat apa sih prewed?” Dia yang ngotot saat itu membuat aku akhirnya lagi-lagi mengalah, padahal dalam hati gondok sih, kesel!
Suamiku orang yang cukup perfeksionis. Semua harus pas, harus presisi, nggak mau ada yang kurang. Tentunya aku nggak kaget karena dari awal pdkt aku sudah tahu sifat dia yang ini. Pemilihan baju prewed cukup menguras tenaga, buatku.
Aku ingat saat aku yang waktu itu minta kami pake baju couple turtleneck yang langsung ditolak mentah oleh suamiku. Dia yang baru mencoba bajunya di mall saat itu membentakku dan bilang “Nggak cocok!” Menurutku itu yang aku rasakan.
Mendengar dia membentakku, aku terdiam sesaat di sela banyak orang yang melihatku saat itu. Malu? Untung aku pakai masker, mungkin rasa maluku berkurang sedikit. Aku berjalan menjauhi kamar pas, dan menangis sejadinya. Sudah tak aku pedulikan orang-orang di sekitarku, aku hanya menangis, tersinggung dengan dia yang membentakku di tempat umum saat itu. Suamiku yang ikut kaget, akhirnya memelukku dan meminta maaf padaku.
Sepanjang jalan aku terdiam, karena hal sepele aku berpikir, “Apakah keputusanku untuk menikah sudah tepat?” Itu yang terus-terusan terlintas di kepalaku.
Singkat cerita, kami meluruskan kesalahpahaman, memang kami berdua bukan tipe pasangan yang memendam kesal satu sama lain berlama-lama. Ternyata benar! Setiap pasangan yang mau menikah, punya rasa sensitif tinggi.
Suamiku tak membentakku saat itu, dia hanya meninggikan volume suara dia, karena orang-orang di situ cukup banyak dan berisik. Dia khawatir aku menunggu terlalu lama di depan kamar pas, aku yang saat itu cukup sensitif menganggap suamiku membentakku karena memang dia tak pernah ngomong dengan suara keras. Dia berkata jujur tidak suka dengan bajunya saat itu, akhirnya mengalah karena aku yang sudah keburu bete duluan.
Prewedding pun kami jalani, dengan lancar dan hati senang. Saat itu kami melangsungkan prewedd di Bandung. Hari demi hari berlalu, tak terasa semua persiapan satu persatu rampung. Suamiku saat itu orang yang paling heboh dan paling sibuk, semuanya terserah dia. Sampai warna bunga pun dia yang menentukan. Aku? Ya hanya menteri keuangan, bagian bayar-bayar saja.
Ujian demi Ujian Jelang Pernikahan
H-10, kami mendengar kabar yang cukup mengejutkan, nenek calon suamiku, yang mengurus calon suamiku dari kecil harus masuk ICU karena covid-19. Padahal, dia yang sedari awal sangat menantikan pernikahan ini.
Aku hanya pasrah, melihat calon suamiku menangis tak bisa melihat orang yang sudah seperti ibunya ketika sakit. Dia takut sangat takut, karena usia neneknya, sudah sangat tua. Aku hanya bisa menguatkan, berusaha tetap ada di sampingnya. Kami hanya bisa berdoa, agar nenek bisa sembuh, dan kembali seperti semula, berkumpul bersama kami walaupun dia tak bisa menghadiri pernikahan kami.
Akhirnya, orang-orang yang serumah dengan nenek tak bisa ikut hadir dipernikahan kami, om tante, sepupu-sepupu, cukup banyak yang memang masih tinggal bersama nenek, memutuskan tidak bisa hadir karena mereka pun harus melakukan isolasi mandiri. Calon suamiku saat itu sangat sedih, karena hanya ibu dan adiknya saja yang bisa hadir, karena mereka tidak serumah dengan nenek.
H-3 hari pernikahanku, aku pulang ke Bandung menggunakan mobil dari Jakarta. Aku dan suamiku saat itu memang sengaja tidak bertemu selama tujuh hari, aku bilang sih kata orang tua zaman dulu biar “manglingi”, jadi aku mengendarai mobil sendirian ke Bandung di tengah suamiku yang saat itu was-was dan terlalu khawatir.
Kira-kira apakah kami tidak menemui rintangan yang lain? Tentu tidak, aku sampai bingung, kenapa cobaan pernikahan ini tak ada ujungnya ya? Walaupun berbeda orang, guncangan cobaannya tetap sama parahnya. Oh iya, aku pernah tidak jadi menikah tiga tahun sebelumnya, satu bulan sebelum hari H aku gagal menikah, itu sebenarnya membuatku agak trauma.
Ibuku saat itu mendadak meneleponku saat aku sedang perjalanan ke Bandung. Untungnya saat ibuku menelepon aku sedang berada di rest area untuk membeli cemilan dan beberapa minuman.
Ibuku bilang, bahwa orangtuaku bertengkar hebat, papaku mengatakan bahwa dia enggan menjadi wali nikahku, dia tidak akan hadir dan tidak mau menikahkanku. Aku yang sedang tenang-tenang saja suasana hatinya mendadak seperti disambar petir. Tidak bisa bergerak, badanku lemas dan kepalaku sakit. Entah apa yang terlintas di pikiran papaku saat itu mengatakan hal sekejam itu pada anaknya yang tiga hari lagi akan melangsungkan pernikahan.
Adikku yang saat itu serumah dengan orangtuaku, akhirnya berkata dia yang akan menikahkanku, kebetulan adikku laki-laki. Tetap saja, serasa disambar petir di siang bolong. Hampir dua jam aku hanya menangis di rest area, aku kebingungan. Saat itu aku bingung harus bilang apa pada calon suamiku. Dia yang sedang bekerja tidak mungkin aku hubungi, dia akan ikut kebingungan bahkan mungkin panik.
Sebisa mungkin aku menenangkan diriku, dan melanjutkan perjalananku ke Bandung. Sesampainya di Bandung, kami mengadakan pertemuan dadakan dengan keluargaku, mau bagaimana, dan apa jalan keluarnya.
Hari Pernikahan
Entahlah, papaku yang awalnya memasang muka marah, dia yang melihat wajahku sudah bengkak dan bentukku yang sudah tak jelas akhirnya melemah. Ibuku yang sedari awal masih tegang tak mengubah bentuk mukanya. Akhirnya papaku bilang, kami lanjutkan saja pernikahannya.
Senang? Ya aku tak bisa membohongi diriku untuk senang, tapi tetap aku tak bisa tenang. Setelah calon suamiku selesai bekerja, aku menelepon dia dan menjelaskan apa yang terjadi. Dia yang awalnya terdengar panik, berusaha untuk menenangkanku, menyuruhku untuk berdoa dan pasrah, bahwa jika memang sudah jodohnya, kami akan tetap bersatu apa pun halangannya. Aku tahu saat itu calon suamiku panik, hatinya pasti gelisah tapi dia berusaha tegar mendengar suaraku yang sudah tak karu-karuan seharian menangis tak berhenti.
H-1, aku tahu ibuku gelisah, entah dia tidak rela melepaskanku kepelukan orang lain, entah memang dia tidak ikhlas, entahlah. Aku hanya tak tahu apa yang dipikirkan ibuku saat itu, membuatku hanya berdiam diri di dalam kamar. Saat itu kami menikah di vila, jadi H-1 kami sudah berada di vila dan menginap di sana.
Entah ada angin apa, tiba-tiba ibuku berkata, “Apakah kamu yakin akan menikah besok? Jangan menikah! Batalkan saja pernikahanmu. Pikir dua kali, kami masih punya waktu untuk membatalkan pernikahannya."
Entahlah, saat itu aku berpikir apakah orangtuaku panik, atau apa yang ada di pikiran mereka. Mendengar itu, aku hanya masuk kamar dan mengunci kamarku. Aku sudah tidak punya tenaga untuk menangis, aku hanya berbaring di kasur berharap tenagaku terkumpul.
Teman-temanku seluruh vendor meneleponku, bertanya bagaimana keadaanku, mereka pun mendengar apa yang ibuku bicarakan, tapi mereka tak bisa menghentikan pekerjaan mereka tanpa perintahku. Saat itu, aku tak punya tenaga untuk berkata hal lain selain bilang, “I'm okay."
Pikiranku berantakan saat itu, berpikir apakah besok akan terjadi? Apakah esok hari bahagiaku tak akan jadi bencana buatku? Ponselku berbunyi, berisi pesan ibuku meminta maaf padaku dan teman-temanku karna dia panik.
Saat itu aku benar-benar tidak punya tenaga, aku hanya ingin tidur, istirahat karena tiga hari belakangan itu adalah hari yang panjang dan melelahkan buatku. Tak habis pikir, tak pernah terpikirkan, aku yang akan bahagia di hari pernikahanku dihancurkan sejadi-jadinya sebelum hari pernikahanku.
Saat itu, sudah jam 2 malam, aku yang akan make up jam 5 pagi bahkan belum tertidur, aku ke luar kamar melihat semua orang sudah tertidur, dan tim dekor yang masih sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Aku kembali masuk kamar dan berusaha untuk tertidur, berharap aku bisa beristirahat sebentar.
Singkat cerita, aku hanya bisa tidur hampir 2 jam dan terbangun karena azan subuh. Langsung aku mandi subuh itu dan menunaikan salat subuh. Aku hanya berharap, apabila memang calon suamiku memang jodohku, tolong lancarkan segala sesuatunya hari ini. Tak lama setelah aku menunaikan salat subuh, temanku yang juga make up artist datang, berusaha menenangkanku dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.
Tak butuh waktu lama, aku bergegas untuk memoles wajahku, dan bersiap-siap.
Kembali di pagi hari sebelum acara mulai, calon suamiku mendapat telepon dari rumah sakit, dan berkata neneknya dalam keadaan kritis. Calon suamiku, hanya bisa terdiam dan berusaha tegar, aku yang mendengar cerita itu dari teman-temanku hanya bisa duduk terdiam, sudah tak bisaku ingat adakah senyum yang tergores di wajahku. Aku meminta teman-temanku saat itu menemani calon suamiku, mengingat tak banyak teman dan keluarga yang dibawa oleh calon suamiku.
Acara pun dimulai, kami berdua hanya berusaha tersenyum dan tegar, sambil berdoa dalam hati agar seluruh acara bisa selesai dengan lancar tanpa ada hambatan, dan Tuhan mendengarkan doa kami. Rangkaian acara pun berhasil terlaksana dengan baik, di tengah segala keterbatasan.
Dengan bangga, aku melihat, dan menyebut dia suamiku. Laki-laki yang aku temui secara singkat, dengan perjalanan yang begitu terjal, kami yakin apa yang terjadi pada kami, semua punya alasan. Tuhan menguji kami, hanya agar kami kuat, dan menguatkan satu sama lain, mulai dari sekarang, sampai nanti.
#ElevateWomen