Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Layla el Fitri
“Sebagaimana pun kita menginginkan lelaki itu sempurna, jika Tuhan sudah menjadikannya jodoh, tak ada alasan bagi kita untuk tidak mencintainya.”
Sejak dulu, saya punya sebuah angan-angan yang mungkin juga dipikirkan oleh banyak perempuan. Angan-angan yang saya tidak ingin mengalaminya dalam hidup, yaitu tak ingin sekalipun membayangkan punya suami yang perokok, botak, gendut dan gondrong. Entah kenapa, hal semacam itu membuat saya tidak nyaman. Namun Tuhan justru memberi saya itu satu di antaranya.
Empat tahun lalu, Juli 2017 saya dipinang oleh seorang lelaki yang memiliki perawakan besar. Beruntungnya, di balik semua itu dia adalah orang yang sangat bertanggung jawab dan kini saya jatuh cinta dengannya.
Mencintai seseorang yang hanya saya kenal kurang dari sebulan bukanlah hal mudah. Ada kisah luar biasa yang saya rasakan sebelum hari pernikahan. Di usia saya yang menginjak 25 tahun, saya belum merasakan namanya wisuda. Bahkan hampir drop out karena telah menghabiskan waktu tujuh tahun kuliah. Hal ini tentu saja menimbulkan perdebatan batin yang hebat.
Beberapa Pria Hadir
Orang tua ingin saya segera menyelesaikan tugas akhir sebelum habis masa perkuliahan saya, teman-teman seangkatan banyak yang mencibir hingga menyebut saya mungkin tidak akan pernah lulus dan merasakan wisuda. Hal itu biasa bagi saya yang memiliki kepribadian yang santai dan tak terlalu peduli ucapan orang. Mereka tidak tahu bagaimana perjuangan saya menemui dosen pembimbing yang sering ingkar janji, bahkan sering meninggalkan anak didiknya ke luar negeri berhari-hari.
Sering saya berdebat dengan orang tua, sering juga saya menangis karena terus menerus di salahkan, sedang saya tidak bisa berbuat banyak. Saya bisa pahami, orang tua mana yang tak ingin anaknya segera lulus kuliah, sementara adik perempuannya sudah dua tahun lebih dulu lulus.
Rasa gusar dan gundah luar biasa mulai muncul ketika adik saya yang selisih umurnya hanya empat belas bulan dengan saya, sudah menuju ke jenjang lamaran dengan kekasihnya. Meski sebenarnya saat itu saya sedang menjalin hubungan jarak jauh dengan seorang laki-laki, tapi saya tidak yakin dia akan setuju untuk menikah tahun ini.
Sedang ayah berulang kali mengutarakan keinginannya untuk menikahkan saya dan adik saya bersamaan. Adik saya sudah menyebar undangan pernikahan saat saya baru memutuskan hubungan dengan pacar saya. Bukan panik, saya hanya perlu merelakan adik saya menikah lebih dulu waktu itu. Karena saya tidak tahu, siapa orang yang mau menikahi saya kalau hanya tersisa waktu kurang dari dua bulan.
Kebanyakan pria pasti akan berpikir dua kali untuk biaya dan persiapannya, meskipun orang tua saya mengatakan tidak akan membebankan apa pun ke pihak laki-laki kecuali mahar dan seserahan, karena orang tua saya yang akan mengatur semuanya. “Serahkan pada Ayah Ibu. Ini tugas terakhir kami sebagai orang tuamu,” kata ayah.
Pada malam dua puluh empat Ramadan, Ayah saya kedatangan tamu, teman kerjanya yang membawa keponakannya. Teman kerja Ayah itu bermaksud memperkenalkan saya dengan keponakannya.
Saya pikir, mungkin laki-laki keempat yang datang bersama teman Ayah ini sama saja dengan tiga laki-laki sebelumnya. Tidak serius; lelaki pertama menolak dengan alasan weton Jawa yang tidak cocok, lelaki kedua tidak mau memberi kepastian karena terlalu sibuk kerja dan kuliah S2, dan yang ketiga merasa lebih nyaman berteman dengan saya dari pada menikahi saya. Untuk lelaki keempat ini saya merasa kurang cocok karena kembali lagi dengan harapan saya di awal.
Dia berbadan besar dan usianya sepuluh tahun lebih tua dari saya, tetapi setelah berkomunikasi sebentar dengannya saya merasa ada sesuatu yang membuat saya harus menerimanya. Awalnya saya benar-benar terpaksa, karena dorongan orang tua dan keluarga saya. Melihat kepribadiannya yang begitu santun dan dewasa, bahkan mereka tak memandang latar belakang lelaki itu yang hanya lulusan SMK dan seorang pemilik toko kecil.
Tiga hari setelah itu, saya berlanjut komunikasi dengannya via whatsapp. Saya merasa dia orang yang tak banyak bertanya. Sampai saya mengajukan pertanyaan lebih dulu dan membuatnya merespons pertanyaan saya dengan ekspresi panik untuk pertama kalinya.
Saya hanya menanyakan “Apakah kamu siap menikahi saya bersamaan dengan pernikahan adik saya?” Segera dia menelepon saya dan menanyakan tanggal pernikahan adik saya.
Saya jawab, “Adik saya akan akad tanggal 15 Juli.” Dia langsung kaget bukan main karena waktunya kurang dari satu bulan lagi dan untuk pertama kalinya dia mengajak saya buka bersama, hal itu dimaksudkan untuk memperjelas pernyataan saya di telepon.
Jatuh Cinta pada Seseorang yang Menjadi Jodohku
Kami bertemu di sebuah warung makan dan untuk pertama kalinya, orang tua saya mengizinkan saya keluar dengan laki-laki. Di sana dia mengutarakan maksudnya, memperjelas keyakinan saya mau menerima beliau sebagai calon suami atau tidak.
Dia juga mengatakan semua hal tentang kesehariannya sedetail mungkin, mulai dari pekerjaan, keadaan keluarga, hingga apa pun yang mungkin jika perempuan lain mendengarnya akan berulang kali mempertimbangkan. Tapi saya justru merasa senang dengan kejujurannya yang tidak memandang sesuatu sebelah mata.
Meski dia sendiri sempat tidak yakin saya akan menerimanya, mengingat latar pendidikan dan keluarga kami yang sedikit berbeda baginya, semua keluarga saya adalah orang berpendidikan tinggi, tapi siapa pun lelaki yang melamar, semua sama saja untuk saya. Kata ayah, syaratnya hanya satu yaitu 'santri' atau dia pernah belajar di pesantren.
Setelah saling meyakinkan satu sama lain, kami memutuskan untuk mengadakan pertemuan keluarga besok malamnya. Dia bercerita, ayahnya sempat tak percaya dan mengira dia sedang bercanda. Namun semua berjalan sesuai rencana, bahkan dalam pertemuan itu muncul beberapa fakta yang menjadi gurauan para orang tua.
Kakek saya merupakan guru SMP calon ayah mertua saya, calon ayah mertua saya pernah bertugas satu kantor dengan ayah saya, tapi ayah mertua saya pensiun lebih dulu. Dua tahun sebelum pensiun, ayah mertua saya pernah minta tolong pada ayah saya untuk mencarikan calon istri untuk putranya. Bukan tidak mungkin ayah akan mengenalkan saya pada putranya, hanya saja waktu itu saya masih kuliah jadi tidak ada pandangan ingin menikahkan saya sebelum lulus kuliah.
Fakta terakhir, suami saya ini rupanya sudah cukup lama berguru pada adik bungsu kakek saya yang seorang guru ngaji. Dan selama itu pula dia sering ke rumah adik kakek saya yang jaraknya tak jauh dari rumah saya, meski hanya sekedar silaturahmi. Siapa yang tahu jodoh akan sedekat itu, tanpa saya menyadarinya sedikit pun.
Berawal dari hari itu, dua minggu sebelum hari bahagia dia mengantar saya mengurus surat-surat. Saya masih belum merasakan apa-apa, hanya seperti pergi jalan-jalan dengan teman laki-laki. Sampai beberapa jam sebelum akad, saya bahkan tidak merasa gugup atau bagaimana pun seperti yang dirasakan calon pengantin pada umumnya.
Tidak ada rasa was-was, bagi saya semua akan mengalir begitu saja. Hanya rasa tak nyaman yang membuat saya gelisah, tangan dan kaki berkeringat dingin, hingga mata tak dapat membendung sekumpulan air yang memenuhi pelupuknya. Perasaan itu muncul ketika laki-laki di samping saya ini mengucapkan kalimat ijab kabul dengan penuh keyakinan, suaranya lantang, tak bergetar dan serentak semua orang yang hadir mengucapkan kata sah.
Dia masih terasa asing bagi saya, tapi dia begitu yakin memperjuangkan saya hingga ke pelaminan. Saat itu juga saya bersyukur, bisa menikah meski di usia saya yang dibilang terlambat—bagi orang kampung.
Terima kasih untuk hari itu dan kini sudah menginjak empat tahun untuk hubungan kami yang penuh kebahagiaan. Dari perjalanan ini saya sadar, sebagaimanapun saya menginginkan lelaki yang sempurna, jika Tuhan sudah menjadikannya jodoh, tak ada alasan bagi saya untuk tidak mencintainya.
#ElevateWomen