Benarkah Kematian Pasien Covid-19 Akibat Interaksi Obat? Berikut Faktanya

Anisha Saktian Putri diperbarui 12 Jul 2021, 10:00 WIB

Fimela.com, Jakarta Hingga saat ini masih ada segelintir orang yang menyebutkan bahwa Covid-19 itu tidak ada, bahkan baru-baru ini yang sedang viral di media sosial mengatakan jika kematian pada pasien Covid-19 diakibatkan interaksi obat.

Sontak hal itu menimbulkan pertanyaan dan keresahan masyarakat, karena hal itu bertentangan dengan fakta-fakta yang selama ini dipercaya mengenai Covid-19. Lalu sebenarnya apa itu interkasi obat?

Prof Zullies Ikawati, PhD, Apt - Guru Besar Farmasi UGM menjelaskan interaksi obat ialah adanya pengaruh suatu obat terhadap efek obat lain ketika digunakan bersama-sama pada seorang pasien. Secara umum, interaksi ini dapat menyebabkan meningkatnya efek farmakologi obat lain (bersifat sinergis atau additif), atau mengurangi efek obat lain (antagonis), atau meningkatkan efek yang tidak diinginkan dari obat yang digunakan. Karena itu, sebenarnya interaksi ini tidak semuanya berkonotasi berbahaya, ada yang menguntungkan, ada yang merugikan. 

“Jadi tidak bisa digeneralisir, dan harus dikaji secara individual,” ujarnya. 

Kapan interkasi obat menguntungkan? Prof. Zullies menyampaikan banyak kondisi penyakit yang membutuhkan lebih dari satu macam obat untuk terapinya, apalagi jika pasien memiliki penyakit lebih dari satu (komorbid). Bahkan satu penyakitpun bisa membutuhkan lebih dari satu obat. 

Contohnya hipertensi, pada kondisi hipertensi yang tidak terkontrol dengan obat tunggal, dapat ditambahkan obat antihipertensi yang lain, bahkan bisa kombinasi 2 atau 3 obat antihipertensi.

Dalam kasus ini, memang pemilihan obat yang akan dikombinasikan harus tepat, yaitu yang memiliki mekanisme yang berbeda, sehingga ibarat menangkap pencuri, dia bisa dihadang dari berbagai penjuru. Dalam hal ini, obat tersebut dapat dikatakan berinteraksi, tetapi interaksi ini adalah interaksi yang menguntungkan, karena bersifat sinergis dalam menurunkan tekanan darah. Memang tetap harus diperhatikan terkait dengan risiko efek samping, karena semakin banyak obat tentu risikonya bisa meningkat.

Bagaimana dengan terapi Covid-19? Memang penyakit ini unik di mana kondisi satu pasien dengan yang lain dapat sangat bervariasi. Pada Covid-19 yang bergejala sedang sampai berat misalnya, maka dapat terjadi peradangan paru, gangguan pembekuan darah, gangguan pencernaan, dan lain-lain.

Karena itu, sangat mungkin diperlukan beberapa macam obat untuk mengatasi berbagai gangguan tersebut, di samping obat antivirus dan vitamin-vitamin.

“Justru jika tidak mendapatkan obat yg sesuai, dapat memperburuk kondisi dan menyebabkan kematian. Dalam hal ini, dokter tentu akan mempertimbangkan manfaat dan risikonya dan memilihkan obat yang terbaik untuk pasiennya,” paparnya

2 dari 3 halaman

Kapan interaksi obat merugikan?

Ilustrasi obat Covid-19 Credit: shutterstock.com

Prof. Zullies mengatakan interaksi obat dapat merugikan jika adanya suatu obat dapat menyebabkan berkurangnya efek obat lain yg digunakan bersama. Atau bisa juga jika ada obat yang memiliki risiko efek samping yang sama dengan obat lain yang digunakan bersama, maka akan makin meningkatkan risiko total efek sampingnya. 

“Jika efek samping tersebut membahayakan, tentu hasil akhirnya akan membahayakan. Seperti contohnya obat azitromisin dan hidroksiklorokuin yang dulu digunakan untuk terapi Covid-19 atau azitromisin dengan levofloksasin, mereka sama-sama memiliki efek samping mengganggu irama jantung. Jika digunakan bersama maka bisa terjadi efek total yang membahayakan,” ujarnya.

Selain itu, interaksi obat dapat meningkatkan efek terapi obat lain. Pada tingkat tertentu, peningkatan efek terapi suatu obat akibat adanya obat lain dapat menguntungkan, tetapi juga dapat berbahaya jika efek tersebut menjadi berlebihan. Misalnya efek penurunan kadar gula darah yang berlebihan akibat penggunaan insulin dan obat diabetes oral, bisa menjadi berbahaya.

Bagaimana menghindari interaksi obat? Kadangkala dalam terapi tidak bisa dihindarkan untuk menggunakan kombinasi obat, bahkan bisa lebih dari 5 macam obat.

Untuk itu, perlu dipilih obat yang paling kecil risiko interaksinya. Banyak buku-buku teks tentang Interaksi Obat yang dapat digunakan sebagai panduan dalam memilih obat yang akan dikombinasikan untuk meminimalkan interaksi obat.

Faktanya, tidak semua obat yang digunakan bersama itu menyebabkan interaksi yang signifikan secara klinis. Yang artinya aman-aman saja untuk dikombinasikan atau digunakan Bersama.

Pada dasarnya, interaksi obat dapat dihindarkan dengan memahami mekanisme interaksinya. Mekanisme interaksi obat itu sendiri bisa melibatkan aspek farmakokinetik (mempengaruhi absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat lain), atau farmakodinamik (ikatan dengan reseptor atau target aksinya).

“Untuk obat yang interaksinya terjadi jika mereka bertemu secara fisik, seperti obat antibiotika golongan kuinolon dengan calcium yang membentuk ikatan kelat misalnya, maka pemberian dengan jeda waktu yang lebar dapat menghindarkan interaksinya,” tuturnya.

Tetapi jika mekanismenya adalah mempengaruhi metabolisme obat sehingga menyebabkan kadar obat lain meningkat atau berkurang, maka pengatasannya adalah dengan penyesuaian dosis obat, karena hanya memberi jeda waktu pemberian tidak akan mengurangi dampak interaksinya.

Jika pemberian jeda pemberian dan penyesuaian dosis tidak dapat mencegah dampak interaksi, maka cara lain menghindari interaksi obat adalah dengan mengganti obat yang berinteraksi dengan obat lain yang kegunaannya sama, tetapi kurang berinteraksi. “Sekali lagi, dampak interaksi obat tidak bisa digeneralisir dan harus dilihat kasus demi kasus secara individual, sehingga pengatasannya pun berbeda-beda pada setiap kasus,” tambahnya. 

3 dari 3 halaman

Tidak semudah itu menyebabkan kematian

Ilustrasi/copyright shutterstock.com/Have a nice day Photo

Prof Zullies menyimpulak, interaksi obat tidak semudah itu menyebabkan kematian. Jika ada penggunaan obat yang diduga akan berinteraksi secara klinis, maka pemantauan hasil terapi perlu ditingkatkan. Sehingga, jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat interaksi obat, dapat segera dilakukan tindakan yang diperlukan, misal menghentikan atau mengganti obatnya. 

Dan hal ini menunjukkan juga perlunya kerjasama antar tenaga kesehatan dalam memberikan terapi kepada pasien (dokter, perawat, apoteker, dll) sehingga dapat memantau terapi dengan lebih cermat, sehingga tidak berdampak membahayakan bagi pasien.

“ Jadi, jika ada yang menyebutkan bahwa kematian pasien Covid-19 adalah semata-mata akibat interaksi obat, maka pernyataan itu tidak berdasar dan tidak bisa dipertanggungjawabkan,” tutupnya.

#elevate women