Hampir Menikah dengan Melangkahi Kakak Perempuan, Kualami Hal Tak Terduga Ini

Endah Wijayanti diperbarui 07 Jul 2021, 09:12 WIB

Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.

***

Oleh: Nur Isna Aulya

"Bagaimana pun, harga diri seorang lelaki adalah ketika ia bertanggung jawab memberi dan menjamin kehidupan yang layak bagi keluarganya kelak.”

Pagi itu, tanggal 16 Juli 2017, sebuah dekorasi pernikahan sederhana dengan papan putih dan hiasan bunga-bunga mawar merah muda telah terpasang di depan rumah. Semua orang terlihat bahagia melihat dua pasang pengantin yang duduk di pelaminan dengan gaun cantik sewarna dekorasi dan jas hitam yang membuat mempelai lelakinya terlihat tampan.

Sepasang pengantin itu adalah aku dan suamiku, sepasang lagi adalah kakak perempuanku dan suaminya. Perjalanan menjadi pasangan sah bukanlah perkara mudah bagi setiap orang, banyak perjuangan yang dilakukan untuk memulai  ibadah terlama ini, tak terkecuali aku dan suami. Ada banyak ujian yang kami lewati hingga sampai pada titik ini, begini kisahnya.

 

2 dari 4 halaman

Lika-Liku Hubungan Asmaraku

Ilustrasi. (Gambar oleh Lenny Rogers dari Pixabay)

Pada awal tahun 2014, bunga-bunga cinta tumbuh antara aku dan suami setelah kami bersahabat selama lima tahun—sejak menginjak bangku SMA. Rasa cinta dan nyaman itu tumbuh setelah lika-liku persahabatan jarak jauh kami lalui hingga akhirnya kami memiliki mimpi yang sama, yaitu melanjutkan studi ke luar negeri setelah lulus sarjana. Sejak saat itu pula kami berusaha menjadi pribadi yang lebih baik dalam menimba ilmu dan meraih prestasi, demi mewujudkan mimpi itu bersama.

Perjalanan cinta kami terasa menyenangkan, meskipun berbagai jalan terjal silih berganti kami hadapi dalam menjalani hubungan jarak jauh. Sebab cinta, cita, dan doa yang selalu memguatkan kami.

Saat itu aku sedang menempuh studi sarjana di Malang, sementara suami di Yogyakarta. Aku masih ingat betul bahwa aku pernah menuliskan prinsip yang akan aku dan suami pegang hingga hari pernikahan tiba, bahkan hingga hari ini. “Don’t let love breaks our dreams. Let dreams build up our love.” Jangan biarkan cinta menghancurkan mimpi-mimpi kita. Biarkan mimpi-mimpi itu membangun cinta kita.

Di akhir tahun 2016, saat kami telah lulus sarjana, sebuah ujian baru datang. Saat itu aku dan suami tengah berjuang bersama mengikuti seleksi beasiswa nasional di Yogyakarta, agar kami berhasil melanjutkan studi di luar negeri. Ia ingin menempuh studi lanjut di Prancis, sementara aku di Malaysia.

Dengan semangat dan usaha maksimal kami belajar dan mempersiapkan semua persyaratan dan ketentuan untuk bisa lolos seleksi. Sayangnya, sebulan setelah seleksi itu dilaksanakan, kami dinyatakan tidak lolos hingga membuat kami sangat kecewa. Sebab segala usaha telah kami lakukan; belajar tentang keilmuan yang kami minati untuk mempersiapkan seleksi substansi, melengkapi syarat administrasi, dan berdoa pada Sang Ilahi. Tetapi apalah daya, Tuhan memberikan jalan terbaik-Nya dengan kegagalan itu.

Belum lepas dari kekecewaan karena tidak lolos seleksi beasiswa, berbagai ujian berat datang lagi. Kontrak kerja suami yang saat itu bekerja menjadi staf di bagian kemahasiswaan kampusnya tidak akan diperpanjang sementara ia harus tetap bekerja tanpa digaji.

Tak berselang lama, orang tuaku yang mengetahui kedekatanku dengan suami meminta kepastian darinya; apakah ia serius atau tidak menjalani hubungan denganku. Jika iya, maka tak lama lagi orang tuaku akan mendatangi orang tuanya untuk bersilaturahmi, dan jika tidak, orang tuaku akan mencarikan lelaki lain yang pasti dan siap menikah dalam waktu dekat. Sebab saat itu usiaku menginjak dua puluh empat tahun, sebuah aib bagi keluarga di desa jika putrinya belum menikah pada usia itu.

Permintaan ayah dan ibu terhadap suamiku itu membuat pikirannya semakin kacau. Bagaimana tidak? Ia belum sempat menyembuhkan kekecewaannya karena gagal studi ke Prancis, di sisi lain ia harus memperjuangkan kontrak kerjanya, belum lagi ia harus memberi kepastian kepada orang tuaku tentang keseriusannya.

Lelaki mana yang tak kalut jika dihadapkan dengan situasi seperti itu dalam satu waktu, sebab ia juga tak rela melepaskanku. “Kamu adalah salah satu mimpiku,” katanya. Kami memang berencana akan menikah, tetapi tidak secepat itu. Aku yang saat itu tak bisa berbuat banyak atas keputusan orang tua, hanya bisa berdoa, semoga Allah melembutkan hati orangtuaku dan orangtuanya agar kami tetap bisa bersatu.

 

3 dari 4 halaman

Menikah Lebih Dulu daripada Kakak Perempuan

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/dmitrimaruta

Februari 2017, dengan hati yang pasrah, akhirnya suami menyatakan keseriusannya dan menyetujui keinginan orang tuaku untuk bersilaturahmi ke rumahnya, Kediri. Pertemuan itu berlangsung tanpa kehadiranku maupun kehadiran suami, sebab saat itu ia sedang bernegosiasi dengan pihak atasan tempatnya bekerja agar ia bisa memperpanjang kontrak kerja, sementara aku memang tak diizinkan untuk ikut menemui orang tuanya. “Ini urusan Ayah dan Ibu. Kamu di rumah saja,” kata ayah sebelum hari pertemuan itu tiba.

Pertemuan antara kedua orangtuaku dan orangtuanya telah terlaksana. Hasilnya, kedua orang tua suami menerima dengan pasrah keputusan orang tuaku untuk segera merencanakan pernikahanku dengan suami. Mereka juga akan mendatangi orang tuaku pada bulan Maret—istilah Jawanya adalah mengembalikan atau menjawab lamaran—meskipun saat itu keadaan ekonomi keluarga sedang sulit. Mereka percaya jika segala sesuatu diniatkan ibadah kepada Allah, maka Allah akan memberikan jalan-Nya.

Lalu bagaimana dengan keadaan suami saat itu? Ia masih dalam kebingungan, sebab pada akhirnya kontrak kerjanya tak bisa diperjuangkan lagi. Setelah pertemuan kedua orang tua kami, justru ia menjadi pengangguran. Sungguh tak mudah menjalani keadaan itu, ia takut orang tuaku akan menuntutnya banyak hal, terutama soal pekerjaan. Tetapi ia tak mau menyerah. Ia yakin banyak jalan menuju Roma, dan Allah akan memberikan jalan bagi yang berusaha.

Selama menunggu hari pengembalian lamaran di rumah orang tuaku pada bulan Maret, suami mencari lowongan kerja menjadi wartawan di berbagai media massa. Ia habiskan sisa tabungannya untuk pulang-pergi Yogjakarta-Jakarta demi mendapatkan pekerjaan itu.

Selain itu, ia juga mencoba mendaftar beasiswa luar negeri dari berbagai situs: Mesir, Prancis, dan Arab. Ia tak mau menikah dalam keadaan ‘tangan kosong’ tanpa pekerjaan, entah sebagai pelajar maupun pekerja. Bagaimanapun, harga diri seorang lelaki adalah ketika ia bertanggungjawab memberi dan menjamin kehidupan yang layak bagi keluarganya kelak.

Hari pengembalian lamaran tiba, suami beserta keluarga besarnya mendatangi orang tuaku. Ini adalah momen yang mendebarkan bagi kami, untuk kali pertama suami berhadapan langsung dengan keluarga besarku, begitupun aku yang baru pertama kali melihat keluarga besarnya. Dari pertemuan itu, keluarga besar kami menentukan hari pernikahan yang akan dilaksanakan pada tanggal 16 Juli dengan sederhana. Artinya, kami semua memiliki waktu empat bulan untuk mempersiapkan acara sakral itu.

Sebenarnya ia sungguh takut, sebab hingga hari pertemuan itu tiba, ia belum mendapat kabar tentang lamaran pekerjaan maupun lamaran beasiswa yang telah ia ajukan. Tetapi ketakutannya mereda saat orang tuaku menerima apa pun keadaannya saat itu.

Ayah dan Ibu yakin bahwa suamiku adalah orang yang bertanggungjawab. “Menikahlah, maka Allah akan membukakan pintu rezeki-Nya dari jalan yang tak disangka-sangka. Dan tugas terakhir kami sebagai orang tua adalah mengantar anaknya ke gerbang pintu pernikahan. Jangan khawatir, dulu saya juga tak punya apa-apa sebelum menikah,” begitu kata ayah saat pertemuan itu berlangsung.

Dan, benar kata Ayah, Allah mulai menunjukkan satu per satu jalan-Nya untuk kami. Seminggu setelah hari pengembalian lamaran itu, suami dinyatakan lolos masuk salah satu universitas di Lyon, Prancis. Tak lama berselang, dua media massa tempat suami melamar pekerjaannya juga memberikan pernyataan bahwa ia dinyatakan lolos seleksi menjadi wartawan, ia hanya harus melengkapi beberapa syarat tes kesehatan saja.

Kabar gembira itu seperti sebuah oase di tanah yang kering; menyegarkan, menggembirakan, dan memulihkan jiwa-jiwa yang sudah mulai layu, meskipun saat itu suami sedang menjalani perawatan di rumah sakit karena kondisi fisik dan pikiran turun pasca pertemuan itu.

Aku paham, ia masih kalut dalam ketidakpastian tentang lamaran beasiswa dan pekerjaannya, apalagi hari pernikahan semakin dekat. Ia bahkan tak tahu apa yang harus ia berikan padaku selain seperangkat alat salat. Tetapi kabar gembira itu benar-benar membuatnya cukup lega, begitupun denganku.

Dihadapkan dengan pilihan yang cukup sulit antara menjadi pelajar atau pekerja (wartawan), akhirnya suami memilih untuk mengambil peluang menjadi pelajar di Prancis, sesuai saran kedua orang tua kami. Sebab belajar di luar negeri adalah kesempatan besar yang tak boleh disia-siakan, dan itu adalah salah satu mimpinya.

Kami bersyukur, akhirnya ada satu titik kepastian langkah yang akan kami lakukan setelah menikah, meskipun kami tahu bahwa kami akan menjalani hubungan jarak jauh—lagi. Tetapi kami yakin, semua demi masa depan yang lebih baik, dan kami akan tetap berpegang teguh pada prinsip hubungan kami, membangun cinta di atas mimpi-mimpi.  

 

4 dari 4 halaman

Menikah di Hari yang Sama dengan Kakak

Menikah./Copyright Nur Isna Aulya

Lalu, apakah ujian telah selesai? Tidak. Satu ujian besar harus kami hadapi lagi. Kakak perempuanku yang saat itu belum menemukan jodohnya, menjadi pribadi yang pemarah terhadapku, sebab ia tak rela jika adiknya menikah lebih dulu. Kami bahkan seperti orang asing di rumah sendiri, aku tak tahu apa yang harus kulakukan selain berdoa yang terbaik untuknya.

Aku paham, perempuan mana yang tak terpukul jika adik perempuannya harus menikah lebih dulu? Jadilah saat itu aku dan suami berunding untuk memberikan hadiah kepada kakakku agar bisa sedikit meringankan kekecewaannya. Aku dan suami juga berusaha membantu mencarikannya lelaki yang pantas menjadi pendampingnya, barangkali Allah memberikan petunjuk.

Hari demi hari berlalu dengan rasa bahagia bercampur sedih karena kakakku tak kunjung mendapatkan calon suami, tetapi lagi-lagi Allah menunjukkan kuasa-Nya. Sebulan sebelum hari pernikahanku dengan suami, seorang lelaki berusia 35 tahun datang ke rumahku bersama pamannya. Ia bermaksud menemui perempuan yang kata pamannya sedang mencari jodoh, yaitu kakakku.

Paman lelaki itu adalah teman kerja Ayah, dan ternyata Ayah sudah mengetahui niat baik lelaki itu sebelum ia datang. Tak berpikir panjang, Ayah, lelaki itu, dan pamannya segera menentukan hari lamaran untuk mempertemukan kakakku dengan lelaki itu. Sebab Ayah ingin melangsungkan pernikahan kedua putrinya secara bersamaan, meskipun sederhana. Kakakku menerima lamaran itu dengan hati yang pasrah dan cukup lega, ia yakin lelaki pilihan Ayah adalah orang baik dan bertanggungjawab.   

Hingga hari itu tiba, akhirnya kebahagiaan tiga keluarga menyatu dalam satu acara; keluargaku, keluarga suami, dan keluarga suami kakakku. Sanak saudara lain dan kerabat juga turut merasakan kebahagiaan dengan kehadiran dan doa-doanya dalam acara sakral itu.  

Empat tahun telah berlalu, aku dan suami hidup bahagia di Prancis bersama putri kecil kami setelah melewati masa hubungan jarak jauh selama tiga tahun. Suamiku benar-benar menjaga harga dirinya dengan bertanggungjawab memberikan kehidupan yang layak bagi keluarga kecilnya. Tak harus mewah, tak harus megah, yang terpenting bagi kami adalah berkah dalam setiap ibadah.

Prancis, 6 Juli 2021

#ElevateWomen