Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Anna Fitri
“Gegaraning wong akrami
Dudu bandha dudu rupa
Amung ati pawitane
Luput pisan kena pisan
Yen gampang, linuwih gampang
Yen angel, angel kalangkung
Tan kena tinumbas arta”
Kuterima SMS yang tidak biasa itu. SMS itu berisi larik-larik Sekar Asmarandana, salah satu jenis tembang macapat. Di Jawa, khususnya Jawa Tengah dan Jogja, dikenal ada sebelas jenis tembang macapat, yang memiliki makna proses perjalanan kehidupan manusia.
Perjalanan kehidupan manusia digambarkan secara runtut dalam sebelas tembang macapat. Dimulai ketika Tuhan memberikan ruh-Nya di dalam rahim ibunda, dilanjutkan dengan tahap kehidupan berikutnya, hingga berakhir ketika manusia kembali kepada Sang Pencipta.
Sekar Asmarandana yang digubah oleh R.Ng.Yasadipura ini adalah tembang macapat yang menggambarkan tahapan kehidupan manusia ketika sedang jatuh cinta atau sedang kasmaran, dan siap untuk berkeluarga. Ada pun arti larik-larik tembang di atas kurang lebih seperti ini:
“Landasan orang yang hendak berumah tangga
Bukan harta bukan penampilan
Tapi kemantapan hatilah modalnya
Jodoh itu hanya digariskan satu kali
Bila sudah berjodoh akan sangat mudah jalannya
Bila belum berjodoh, sangat sulit terlaksana
Semua itu takkan terbeli dengan harta”
Tembang yang sangat indah, sarat makna serta petuah luhur. Namun membuatku bertanya-tanya. Apa maksud dia mengirim pesan tembang itu.
Seseorang yang Penuh Perhatian
Dia, seseorang yang beberapa tahun terakhir dekat denganku. Hanya teman dekat. Kami kenal ketika sama-sama mengambil program akta mengajar di salah satu universitas swasta di Jogja. Program akta mengajar adalah program untuk mendapatkan surat izin mengajar bagi sarjana non kependidikan namun ingin atau harus mengajar di salah satu jenjang pendidikan.
Kami bertemu di awal semester program akta mengajar. Perkenalan yang lucu dengan pria bertubuh jangkung. Teguh, begitu dia menyebut namanya.
Dia tanya alamatku. Katanya kapan-kapan mau ke rumah untuk pinjam catatan kuliah. Kutanggapi biasa saja. Sejak SMP buku catatanku memang biasa dipinjam teman-temanku. Catatan pelajaran yang lengkap dengan tulisan yang jelas terbaca, pantaslah catatanku selalu menjadi primadona. Sayang hanya catatannya yang jadi primadona. Pemiliknya tidak ikut ketularan jadi primadona.
Beberapa hari kemudian di kampus, aku lihat dia berkenalan dengan teman lain. Bekti, begitu dia menyebut namanya. Dalam hati aku heran. Bukankah namanya Teguh? Kok jadi Bekti? Penasaran. Tiba saat di ruang kuliah, ketika salah satu dosen memeriksa kehadiran mahasiswa dengan memanggil nama satu persatu, aku perhatikan dengan seksama untuk mengetahui siapa namanya.
Dia acungkan tangan ketika dosen memanggil nama Anton Sulendra. Semakin heran. Tidak ada unsur nama Teguh atau Bekti di nama Anton Sulendra. Lalu kenapa mengaku bernama Teguh atau Bekti? Pria yang aneh, namun lucu, riang dan bersahabat, membuatku merasa nyaman berteman dengannya. Usianya lima tahun lebih tua dariku.
Dia supel, senang bercanda dan konyol. Beberapa kali kuliah duduk di dekatnya, buyar konsentrasi belajarku. Sepanjang kuliah diajak ngobrol dan bercanda, hingga aku tidak bisa mengikuti kuliah dengan baik. Dia sering meminjam catatan kuliah dengan syarat mengembalikannya harus datang ke rumah.
Lagi-lagi aneh, aku yang direpotkan, kenapa dia yang memberi syarat? Aku bilang dikembalikan di kampus saja. Namun dia selalu memilih mengembalikan catatanku ke rumah. Memang aneh pria satu itu. Beberapa lama dekat dengannya, aku tahu dia adalah teman yang baik hati dan penyayang.
Setiap saat dia berpesan kepadaku, jangan segan-segan minta tolong padanya kalau sekiranya ada yang bisa dia bantu. Dan setiap kami akan berpisah, selalu dia ucap salam, "Ketemu besok ya." Menghadirkan harapan bahwa ada hari esok untuk kami bertemu kembali. Sederhana, tapi manis menurutku.
Aku kuliah dengan diantar dan dijemput adikku. Ketika tiba saat pulang kuliah namun adikku belum menjemputku, dia sering menemaniku menunggu adikku di depan kampus. Dia tidak bisa mengantarku pulang karena dia berangkat dan pulang kuliah berboncengan dengan saudara sepupunya.
Lepas kuliah akta, kami tetap bersahabat. Dia masih sering ke rumah, meski tidak untuk meminjam catatan kuliah. Kami tidak pernah membahas masalah asmara satu sama lain. Hingga suatu saat dia mengirim pesan larik-larik Sekar Asmarandana tersebut.
Kutanyakan apa maksudnya, dia hanya menuliskan arti larik-larik Sekar Asmarandana yang dia tulis itu, tanpa berterus terang apa maksudnya mengirim untukku. Meski heran, aku tidak berani berharap terlalu jauh. Biarlah, aku tunggu perkembangan selanjutnya.
Beberapa hari kemudian dia ajak aku reuni dengan teman kuliah akta. Aku tanya, siapa saja yang akan datang. Dia jawab cuma kita berdua. Aku geli, reunian model apa, kok yang datang cuma berdua.
Menikah dengan Proses Sederhana
Aku mulai merasa mungkin ini awal kejelasan arah hubungan kami. Yang dia sebut reuni itu, ternyata mengajakku pergi ke rumah salah satu sahabat kami. Waktu itu pertama kali kami berboncengan.
Sepanjang perjalanan menuju tempat tujuan, pembicaraannya mengarah ke pernikahan. Begitu juga di rumah sahabat kami. Pembicaraannya masih seputar pernikahan. Hingga akhirnya di perjalanan pulang, dia bertanya padaku apakah sudah punya calon suami. Kalau belum, bersediakah aku menerimanya sebagai calon suami.
Aku kaget. Masak nembak di tengah jalan, ketika melewati area persawahan di pedesaan. Nggak ada romantis-romantisnya. Karena dalam bayanganku, cowok nembak cewek itu seharusnya di kafe atau resto romantis. Bukan di tengah area persawahan. Tapi ternyata setelah lama bersama dengannya, baru aku tahu bahwa dia sangat mencintai sawah dan pemandangan pedesaan. Ya, sawah dan pedesaan itu romantis menurut dia. Sungguh seorang pria yang sederhana.
Waktu itu sebenarnya aku mau langsung menjawab iya. Tetapi karena gengsi dan harus jaga image, sengaja kugantung jawabanku. Ternyata dia tidak terima kalau aku menggantungnya. Hahaha... dasar kepedean. Dia ingin aku tegas menjawab ya atau tidak. Tapi aku diam saja. Terserah aku dong mau jawab apa. Dia berusaha meyakinkanku bahwa dia serius dan tidak akan mempermainkanku. Dia berjanji akan menjadi suami yang bertanggung jawab. Aku tetap tidak menjawab, namun kurasa dia sudah tahu jawabanku.
Beberapa minggu kemudian dia datang menemui orangtuaku. Dia datang bersama ibu dan kakaknya. Bapaknya tidak ikut karena sedang dalam kondisi sakit.
Proses lamaran yang sangat sederhana. Jauh dari hingar bingar seperti proses lamaran Billar dan Lesti. Tapi tentu saja kebahagiaan kami sama dengan kebahagiaan mereka. Rencana pernikahan dalam waktu dekat ternyata harus tertunda karena terjadi gempa Jogja tahun 2006 dan disusul berpulangnya calon bapak mertua.
Hingga akhirnya 25 Agustus 2007 kami menikah. Cerita pernikahan kami sederhana. Tidak seheboh pernikahan artis-artis terkenal itu. Karena pernikahan kami sederhana, maka urusannya pun tidak rumit. Sangat sederhana, hanya dihadiri kerabat dekat. Tidak ada gaun pengantin mewah berumbai-rumbai, apalagi bridesmaid dan groomsmen lengkap dengan senyum menawan mereka.
Aku sangat bersyukur mendapat suami yang sederhana, penuh perhatian, sabar, penyayang, dan terampil mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Bukan hanya sebagai suami, namun dia juga berperan sebagai sahabatku.
Tempatku berbagi segala cerita, tempatku meminta masukan, usulan dan pertimbangan, tempatku menuangkan segala uneg-unegku. Bersyukur aku punya suami yang juga berfungsi sebagai diary, sehingga aku tidak harus mencurahkan isi hatiku di media sosial.
Cukup hanya suamiku yang tahu isi hatiku. Bahkan kadang tanpa berkomunikasi pun, apa yang ada di pikiran kami sama, apa yang kami lakukan sejalan. Jarang bertengkar. Berselisih paham pun kadang diakhiri dengan banyolan kocak yang justru bikin geli.
Ketika aku memendam kejengkelan yang agak hebat, belum sampai aku mengungkapkan kejengkelanku padanya, tiba-tiba dia tidak enak badan, masuk angin, demam. Wah, aku batal melampiaskan kemarahanku, malah jadi tukang kerok dan pijat. Beberapa kali hal itu terjadi.
Karena itu semakin dewasa usia rumah tangga kami, semakin besar pula toleransiku sehingga tidak mudah jengkel padanya. Lebih baik menghilangkan kejengkelan daripada sedih melihatnya sakit sekaligus harus alih profesi menjadi tukang kerok dan pijit.
Kami hidup dalam kesederhanaaan dan kedamaian. Sesama Virgo mungkin banyak memiliki kesamaan sifat sehingga bisa saling memaklumi. Canda tawa selalu ada dalam keseharian kami. Menyadari hak dan kewajiban masing-masing tanpa tuntutan yang berlebihan untuk pasangan.
Saling menyayangi dan mensyukuri apa yang telah dikaruniakan Allah SWT pada kami. Meski cerita pernikahanku sederhana, tanpa gaun pengantin mewah berumbai-rumbai, serta bridesmaid dan groomsmen lengkap dengan senyum menawan mereka, kami berharap semoga sakinah mawadah warohmah selamanya.
#ElevateWomen