Fimela.com, Jakarta Batasan gender menjadi semakin tak terlihat dalam industri fashion karena terdapat peningkatan ketertarikan orang-orang pada pakaian tanpa gender atau genderless.
Bahkan tren fashion ini semakin diminati. Baru-baru ini, aktor indonesia Jefri Nichol mengunggah fotonya di Instagram dengan menggunakan dress berwarna merah muda dan rok satin warna baby blue dilengkapi dengan kalung putih yang melingkari lehernya.
Hal ini serupa dengan yang dilakukan oleh Harry Styles, seorang penyanyi asal inggris yang juga merupakan ex anggota One Direction beberapa waktu lalu, tepatnya pada Desember 2020 yang lalu.
Dilansir dari Lifestyleasia.com, saat itu dirinya menjadi sampul majalah Vogue US, dengan mengenakan gaun Gucci dan juga tas Jackie 1961 Gucci, yang merupakan salah satu tas unisex paling populer.
Oleh karena itu, tidaklah mengejutkan ketika mengetahui bahwa pakaian dan aksesori tanpa gender sedang booming dan jadi tren fashion di seluruh dunia.
Disebut Sebagai Gaya Berpakaian Baru
Gaya inilah yang bergerak terus dalam mencapai adanya pembebasan preferensi maskulin dan feminin. Hal inilah yang disebut sebagai genderless fashion atau gaya berpakaian androgini.
Gaya berpakaian seperti ini sudah sering digunakan sejak tahun 1970-an oleh musisi seperti Annie Lenox, David Bowie, dan Prince. Namun, seperti yang kita tahu adanya gaya berpakaian seperti ini tidak dengan mudah dapat diterima oleh kalangan masyarakat dan masih dianggap tabu untuk digunakan dan dipopulerkan.
Realita di Tengah Masyarakat
Gaya berbusana seseorang dapat dipilih dan ditanggapi secara terbuka oleh masyarakat. Genderless fashion ini telah menyingkirkan norma yang bisa dibilang sudah ketinggalan jaman karena terlalu mengkotak-kotakkan gender pada cara berpakaian yang kaku, dan baru bisa diterima di tengah masyarakat.
Eric Marechalle, CEO Marc Jacobs International mengemukakan bahwa saat ini merek miliknya sedang memperjuangkan mode gender-fluid, unisex, atau polisexual agar bisa diterima oleh konsumennya sekaligus masyarakat.
“Aku percaya bahwa pakaian itu sendiri tidak kaku secara inheren gender. Norma-norma masyarakat sebelumnya yang telah menentukan pakaian tertentu untuk orang-orang tertentu, dibedakan secara gender,” ungkapnya, dikutip dari Fashion United.
Diperjuangkan Oleh Kaum LGBT dan Non-biner
Genderless fashion ini menjadi gerakan yang diperjuangkan oleh kaum LGBT, terutama yang mengidentifikasikan dirinya sebagai non-biner atau dengan kata ganti “they/them/their”. Para perancang busana yang juga non-biner juga memfokuskan koleksi mereka pada genderless fashion ini.
Hal ini dikarenakan di banyak bagian dunia, komunitas LGBT dan netral gender masih menghadapi permusuhan dan kekerasan.
Eric Marechalle juga mengungkapkan bahwa saat ini banyak anak muda melihat bahwa ‘aturan’ yang membatasi itu semakin tidak lagi relevan. Dengan melihat banyak harapan itu, harapannya merek modenya dapat membantu merealisasikannya dengan harapan mendorong mereka bisa menjadi diri sendiri.
“Saya menganggap diri saya bertanggung jawab untuk terus mengadvokasi dan memperjuangkan hak-hak pemuda trans dan non-biner karena saya memliki hak istimewa untuk itu,” ujarnya.
Pandangan Psikolog
Dilansir dari The Fashion Globe, seorang psikolog mode dan sekaligus pendiri dari Fashion Psychology Institute, Dawn Karen, menjelaskan bahwa evolusi dalam mode ini menunjuk pada wanita yang berkarir di bidang pekerjan pria.
Dawn Karen memberikan contoh, penerapan hal tersebut bisa dilihat dari profesi sebagai polisi. “Seragam polisi terlihat seperti dibuat untuk laki-laki. Jika dahulu perempuan tidak bisa menjadi polisi, sekarang perempuan bisa menjadi polisi dan terlihat wajar ketika memakai seragam itu,” ujarnya, dikutip dari The Fashion Globe.
Dia menekankan bahwa begitu evolusi tersebut diterima dalam kehidupan profesional, maka akan lebih mudah langkah berikutnya untuk menerapkan hal tersebut menjadi mode.
“Jika kita mulai melihat dan melakukan pendekatan dengan baik, maka semua hambatan bisa dilewati dan dapat dijalankan dengan lancar,” tambahnya.