Sebelum Memutuskan Menikah, Pastikan Sudah Siap Lahir dan Batin

Endah Wijayanti diperbarui 30 Jun 2021, 07:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.

***

Oleh:  Anita Kasifah

Sebagai seorang perempuan, bagiku pernikahan adalah suatu hal penting dalam hidup. Kita bisa melihat bagaimana meriahnya perayaan pernikahan di Indonesia. Apalagi jika kedua orangtuanya merupakan orang penting, tamu yang diundang bisa sampai ribuan orang, bisa menghabiskan uang ratusan bahkan milyaran rupiah hanya untuk satu malam.

Bahkan, ada beberapa orang yang melakukan perayaan pernikahan berkali-kali. It’s like one of the biggest celebrations in your life ever. Bahkan aku rasa perayaan hari raya Idul Fitri saja tidak semeriah itu. 

Ketika seseorang memutuskan untuk menikah, hal tersebut merupakan salah satu keputusan penting dalam hidup. As we know, pernikahan itu adalah penyempurna agama. When I was a teenager, I think marriage is something that I want to do tapi aku tidak tahu pasti kapan itu terjadi. Dulu aku ingin menikah di umur 25. Dulu ketika aku masih remaja tipe ideal suami aku adalah laki-laki yang tampan, putih, dan tinggi. 

Berbicara mengenai pernikahan, permasalahan umur yang terlalu muda dan terlalu tua untuk menikah itu juga sampai sekarang aku tidak tahu karena kebetulan orangtua aku bukan termasuk orangtua yang meminta anaknya untuk segera menikah. Bahkan hal-hal yang berhubungan dengan lawan jenis itu bukan sesuatu yang kita perbincangkan.

Kedua orangtua ku selalu memberi dukungan untuk menjalani hidup sebaik mungkin. You have to focus on yourself in terms of education, career, and you have to be independent. Jadi, kedua orangtuaku beranggapan bahwa nanti juga akan dipertemukan dengan orang yang tepat di waktu yang tepat pula.

Menurutku, kalau kamu belum siap tak apa. Jangan berkomitmen dengan seseorang yang tidak serius dan tidak membuatmu bahagia. Lebih baik melajang daripada berada dalam suatu hubungan yang toxic. Hubungan terakhir mengajarkanku bahwa tidak peduli sedekat apa pun, seberapa banyak kita berbagi dan berjuang, ternyata sekuat apa pun digenggam, kalau bukan takdir tetap akan terlepas juga.

2 dari 2 halaman

Menikah Dilakukan dengan Kesadaran Penuh

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/oduaimages

Di usia 25 tahun, saat ini aku merasa santai dan tidak kebelet menikah atau kebelet punya anak. Karena, aku merasa tidak ada waktu terlalu telat untuk menikah atau terlalu telat untuk punya anak. Dan aku melihat orang-orang diluar Indonesia, banyak orangtua yang terlihat sudah tua tapi masih memiliki anak kecil. Aku melihat mereka tidak masalah menghadapi itu bahkan mereka lebih dewasa, lebih bisa menghadapi tentrumnya anak dan lebih bisa berkomunikasi dengan anak.

Pernikahan bukan hanya perihal istri mengurus suami, “mengurus” di sini seperti memasak untuk suami, menyetrika baju suami, dan lain sebagainya. Sekarang kalau urusan memasak, laki-laki juga sudah bisa memasak. Well, berbicara tentang “mengurus suami” kita bisa saling mengurus satu sama lain. Tidak hanya istri yang mengurus rumah tangga, mengurus keluarga. tapi kita bisa jadi satu tim. Kalau misalnya suami tidak bisa melakukan sesuatu, istri bisa menggantikannya. Begitu juga sebaliknya.

When I think about marriage, I think about pilot and copilot. Suami tetap menjadi pilot karena ia jadi imam dalam keluarga dan copilotnya adalah istri. Ketika suami mengambil keputusan, suami harus tetap respek ke istrinya, mendengarkan istrinya. Tidak boleh meremehkan istrinya.

Sebagai pasangan seharusnya understand each other, listen to each other, compromise, saling menginspirasi satu sama lain, serta yang terpenting adalah being present. Present di sini artinya kedua belah pihak harus memberikan effort yang sama. I think this goes to every relationship.

Setiap orang hanya ingin menikah sekali seumur hidup. Ketika kita menjalani kehidupan rumah tangga ke depannya akan banyak naik turunnya dalam berbagai aspek. Akan ada saatnya kita bosan, akan ada saatnya kita merasa you have enough with this person, akan ada saatnya shifted dari yang awalnya romantis menjadi biasa saja, akan ada saatnya dimana pemasukan tidak sebanding dengan pengeluaran harian, akan ada saatnya di mana yang pada masa awal pernikahan merasa spesial akan berubah menjadi terbiasa hidup dengan orang tersebut, melakukan banyak hal dan mengambil keputusan dengan orang tersebut.

Lalu, kapan waktu terbaik yang tepat untuk menikah? Sejujurnya, pertanyaan itu adalah pertanyaan yang seharusnya hanya kamu yang menanyakan ke diri kamu. Bukan orangtua kamu, bukan teman kamu, bukan bibi kamu yang suka gengges ketika kumpul keluarga, bukan juga paman kamu, bukan sepupu-sepupu kamu, bukan siapa pun.

Aku berharap orang-orang yang memutuskan untuk menikah, entah itu aku, entah itu kamu yang sedang membaca tulisanku, entah itu teman kamu, atau siapa pun, memutuskan untuk menikah benar-benar karena panggilan. Bukan karena tekanan dari siapa pun, baik itu dari orangtua kamu, teman kamu, tidak dari siapa pun.

Aku harap itu benar-benar keputusan yang diambil oleh diri sendiri. Karena kelak ketika kamu menghadapi masalah dalam pernikahan kamu, yang menghadapi masalah itu adalah kalian berdua yakni istri dan suami. Orang-orang yang tadinya menuntut kamu untuk menikah, mereka tidak akan ikut campur dan tidak peduli.

#ElevateWomen