Fimela.com, Jakarta Persiapan pernikahan seringkali dipenuhi drama. Ada bahagia, tapi tak jarang juga ada air mata. Perjalanan menuju hari H pun kerap diwarnai perasaan campur aduk. Setiap persiapan menuju pernikahan pun selalu punya warna-warninya sendiri, seperti kisah Sahabat Fimela dalam Lomba Share Your Stories Bridezilla: Perjalanan untuk Mendapat Status Sah ini.
***
Oleh: Indah Praditha
Usia yang terpaut 13 tahun bedanya membuat ibu pada awalnya kaget. Sebab sepupu jauhku dari keluarga ayah ingin meminangku yang kala itu masih berusia 19 tahun. Ibu hanya berpesan kepada kami agar tidak terburu-buru dan menyarankan untuk saling mengenal satu sama lain sebelum saling mengikat dan memiliki.
Rasanya canggung berat pada awalnya. Satu tahun kami saling mengenal, aku dan calon suamiku kala itu sering berkunjung ke rumah sanak saudara di luar Bali. Ada di Surabaya dan Jakarta. Hatiku merasa nyaman padanya, mulai yakin dan menanam perasaan perlahan. Dia memang orang yang bertanggung jawab kepadaku. Tak pernah melecehkanku dan selalu menghormatiku sebagai perempuan.
Hatiku semakin dibuat berdebar, ia mengagetkanku atas separuh dari iencana persiapan pembangunan rumah yang sudah berjalan untuk kami tinggali nanti. Persiapan pernikahan kami cicil sedikit demi sedikit.
Kemantapan hati ibu semakin kuat, ia tak pernah ragu dengan kejujurannya. Keluarga besar ibu mengundang kami dan ibu untuk membahas hari pertunangan, dan bagaimana rencana pernikahan kami. Mereka sangat antusias.
H-14 pernikahan kami, ia ingin berbicara suatu hal padaku, nadanya pun terdengar cemas dan pilu. "Kita sepertinya tidak berjodoh," katanya. Deg! Aku hampir tidak bisa bernapas dan berpikir keras akan kalimat itu.
What's On Fimela
powered by
Tuhan Pasti Sudah Menyiapkan Jodoh Terbaik
Aku tanya baik-baik dan dia berlutut di hadapanku. Dia memohon ampun karena ada wanita hamil yang sedang menunggu pertanggungjawabannya. Aku sungguh tak mempercayai kegilaan ini. Ia bersumpah atas ucapannya di depanku, ibu juga kakakku bahwa dia benar-benar khilaf.
Telah dipastikan pernikahanku gagal. Hatiku buyar. Pikiranku Kacau. Satu bulan aku tidak menghadiri kampus, tak menemui satu pun keluarga yang mengunjungiku ke rumah, tidak bicara bahkan keluar dari kamar. Merenungi apa yang menjadi salahku padanya, bagaimana sikapku terhadapnya sehingga setega dan sebodoh itu perilakunya di belakangku.
Dalam rapat keluarga besar, hanya ibu dan kakak yang hadir membahas kejadian itu. Ibu dengan tegas menyampaikan bahwa ini bukan tentang ketertarikan ibu dan diriku terhadap asal calon suami yang berasal dari keluarga berada. Namun ini tentang rasa percaya dan hormat diberikan sepenuh hati mengingat mereka adalah saudara. Keluarganya hanya tertunduk memohon maaf, mengutarakan rasa malu atas sikap yang dimiliki calon suamiku.
Hari pernikahannya pun tiba dengan perempuan tersebut. Aku tak sanggup menghadirinya agar tidak ada rasa sakit hati atau perasaan dendam mengiringi prosesi pernikahannya. Namun, ada doa yang tetap mengalir di hatiku.
Dengan terjadinya ini, tak kubiarkan diriku tumbang. Kuwujudkan rencana melancongku dan menikmati masa lajangku. Aku mencoba ikhlas atas takdir yang tak terelakkan dalam hidupku.
Di sisi lain aku percaya Tuhan menyiapkan kebahagiaan setelah ini karena jodoh tak akan pernah tertukar dengan pemiliknya yang sejati. Tak masalah jika terjebak dalam kereta yang salah karena tanpa disadari ia mengantarkanmu pada salah satu tujuan yang kau impikan.
#ElevateWomen