Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
***
Oleh: Ida Umy Rasyidah
Mempunyai sebuah privilege adalah hal yang selalu aku impikan ketika dahulu, mempunyai orang tua yang latar pendidikannya tinggi, tempat kerjanya bergengsi, uangnya berlimpah sehingga aku bisa mendapatkan pendidikan yang layak lebih dari sekarang. Mungkin jika aku mempunyai privilige seperti itu dengan usaha keras dan kerja cerdas bisa seperti Maudy Ayunda yang sudah lulus S2 di kampus bergengsi dunia.
Tapi itu hanyalah sebuah pikiran, sebuah angan-angan yang tak mungkin terjadi. Aku terlahir dari keluarga yang sederhana, mungkin bisa dikatakan sangat sederhana. Ketika aku SD, bisa makan saja sudah bersyukur. Pada saat itu ekonomi keluarga sangat terpuruk karena ayahku sakit selama 3 tahun sehingga tidak bisa bekerja, perekonomian keluarga tak kunjung naik sampai aku lulus SD.
Ketika aku SMP, petualanganku tentang kerasnya hidup dimulai. Pada saat itu aku diajak bibiku untuk tinggal bersamanya di Jakarta. Ketika itu aku hanya seorang bocah naif yang berpikiran bahwa hidup di Jakarta itu enak seperti sinetron, akhirnya aku mengiyakan meskipun orang tua tidak mengizinkan tapi aku tetap pergi.
Bayanganku hidup bak siswa yang tergabung di geng populer layaknya di sinetron seketika sirna ketika aku mulai bersekolah. Bahkan di hari pertama, aku belum mendapatkan teman, mungkin karena mukaku tidak cantik dan penampilanku seperti orang desa.
Hari terus berlanjut tapi aku belum juga menemukan kenyamanan tinggal di Jakarta. Tinggal di komplek sederhana dengan rumah satu kamar, berbeda sekali dengan gedung-gedung tingkat yang pertama kali kulihat di kawasan Kuningan. Kesenjangan sosial di Jakarta sangatlah terasa. Masyarakat kalangan elit tinggal di apartemen atau perumahan mewah, tapi di sisi lain banyak perumahan kumuh yang bahkan rumahnya saja terbuat dari kayu di atas rawa-rawa.
Bibiku memang tidak termasuk ke dalam kalangan bawah, tapi tidak juga termasuk kalangan atas. Pekerjaan bibiku setiap hari adalah penjual makanan ringan dan alat tulis di salah satu sekolah, dan pamanku adalah seorang olahragawan.
Hidup menumpang memang tidak sebebas tinggal dengan orang tua, di mana harus ada timbal balik. Ketika aku diberikan makan, disekolahkan, dan diberikan tempat tinggal maka aku harus membalasnya dengan tenagaku.
Mensyukuri Setiap Perjuangan yang Ada
Setiap jam 4 pagi aku bangun untuk membuka kantin, lalu paginya sampai jam istirahat pertama ikut menjaga kantin, setelah itu aku membereskan rumah, barulah bisa berangkat sekolah. Setelah pulang sekolah, tidak ada kata santai aku masih harus mencuci baju.
“Prihatin,” kata bibiku, dia memang orang sangat judes menurutku, bahkan aku takut kepadanya. Dia berkata, semua yang aku jalani di sini adalah bentuk keprihatinan yang kemungkinan di masa depan akan dibayar dengan kebahagiaan.
Capek rasanya setiap hari melakukan aktivitas seperti itu, sampai-sampai ketika aku lulus SMP, aku ingin pindah kembali ke kampung bersama orang tua, tapi sangat disayangkan tidak ada yang membantu orangtuaku untuk mengurus kepindahanku.
Dengan terpaksa aku kembali sekolah di Jakarta dengan aktivitas yang sama, sebelum sekolah harus membantu di kantin sekolah dulu. Di SMK aku belajar dengan sungguh-sungguh dan mendaftar kuliah dengan beasiswa, syukur aku diterima.
Tapi masalah lain muncul, keluarga besarku semuanya menentang aku untuk kuliah, karena melihat keadaan orang tuaku miskin, mereka bahkan mengatakan, “Kalau ada apa-apa, saya tidak akan bantu!” sakit rasanya mendengar itu, karena tidak ada sedikit pun aku ingin meminta bantuan mereka, bahkan dalam menyiapkan pendaftaran kuliah saja aku berusaha sendiri, dengan uang yang kutabung untuk membayar keperluan pendaftaran.
Karena tekadku yang kuat, aku tetap kuliah dan terbukti sampai sekarang aku menginjak semester akhir, aku mampu bertahan. Aku berharap setelah lulus ini, aku mendapatkan pekerjaan terbaik dan perlahan-lahan menaikan perekonomian keluarga agar keluargaku tidak lagi dipandang sebelah mata.
Tapi terkadang, sampai saat ini aku menyesal kenapa aku mengiyakan ke Jakarta dan menjalani kehidupan yang berat di umur masih belasan tahun, tapi setelah dipikir kembbali jika aku tidak ke Jakarta mungkin aku tidak akan kuliah, bahkan tidak bersekolah di SMK karena keterbatasan biaya.
Untuk itu, aku sangat bersyukur Jakarta menjadi setengah bagian jalan hidupku. Mungkin aku tidak seperti Maudy Ayunda yang lulus dari kampus bergengsi dunia, tapi aku bangga terhadap diriku sendiri karena mampu bertahan sejauh ini meskipun sulit.
#ElevateWomen