Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
***
Oleh: Nur Alifah
Sebagai seorang perempuan, kita begitu banyak dilekatkan dengan berbagai stigma yang ada dalam hidup bermasyarakat. "Ngapain sekolah tinggi-tinggi ujung-ujungnya cuma di dapur." "Perempuan yang baik itu yang diam di rumah." "Jadi perempuan itu harus bisa segalanya, bisa masak, ngurus rumah, pandai rawat diri." "Perempuan yang keluyuran, pulang malem, temennya sama cowok, itu perempuan yang nggak bener."
Dan masih banyak stigma lain yang melekat pada seorang perempuan, seolah-olah hidup sebagai perempuan memiliki banyak batasan. Namun, di zaman yang sudah semakin modern ini, banyak perempuan yang berani mematahkan stigma tersebut dengan membuktikan bahwa pendidikan yang tinggi adalah faktor pendukung untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Perempuan yang diam di rumah tanpa inisiatif untuk pengembangan diri adalah cerminan bahwa perempuan tidak berdaya. Memang apa salahnya kalau perempuan keluar rumah? Bukankah sebagai manusia baik perempuan atau laki-laki juga perlu namanya bersosialisasi? Mencari ilmu tidak selalu dalam bentuk formalitas, bukan? Yang harus diperhatikan itu bagaimana cara menyikapi sesuatu supaya tidak melampaui batas. Pergaulan yang sehat juga ditentukan oleh individu masing-masing, itulah pentingnya mawas diri dan selalu memperluas wawasan, supaya kita sebagai seorang perempuan bisa berpikir dengan sehat bagaimana bersikap dengan bijak.
Berarti perempuan nggak harus bisa masak, ngurus rumah, dan lain-lain dong?
Menurut saya kodrat perempuan itu menstruasi, mengandung, melahirkan dan menyusui. Sisanya tidak wajib, tetapi alangkah lebih baik kalau bisa dilakukan. Karena perempuan adalah contoh perwujudan seorang ibu, apa yang bisa diberikannya nanti adalah proses apa yang dilakukannya saat ini.
"Pengen banget seperti laki-laki, punya kebebasan dalam menentukan keputusannya masing-masing.."
Siapa bilang perempuan tidak memiliki kebebasan? Contohnya saya sendiri, saya adalah perempuan muda usia 20 tahun tapi saya mengambil keputusan untuk kuliah rantau dari Tangerang Selatan menuju Pontianak, Kalimantan Barat.
Saya menyadari betul, keputusan seperti apa yang saya buat. Saat kita tahu begitu banyak batasan yang ada untuk perempuan, saya berani untuk menerobos batasan itu, bukan hal yang mudah memang. Saya mendapat 3 kali penolakan walaupun sudah berusaha dengan keras. Kepercayaan adalah suatu hal yang sulit didapatkan, apalagi dalam sudut pandang orangtua tentunya khawatir melepas anak perempuannya yang masih muda pergi jauh ke luar pulau.
Saya memetakan konsep dengan matang. Mengapa saya pilih kuliah di sana? Perjalanannya seperti apa? Akan tinggal di mana? Biaya hidupnya berapa? Risiko yang akan dihadapi bagaimana? Dan banyak pertimbangan lain yang sudah saya analisa.
Pada akhirnya tepat saat pengumuman penerimaan saya di universitas dengan bantuan pendidikan penuh itu telah didapatkan. Orangtua saya kembali membuat pertimbangan, saya pun kembali meyakinkan dengan menjelaskan rencana yang sudah saya konsep tersebut, dan berjanji untuk bertanggungjawab atas keputusan yang saya buat. Akhirnya orangtua saya memberi kepercayaan untuk melanjutkan pendidikan dengan beberapa perjanjian yang telah disepakati bersama.
Kepercayaan yang diberikan tidak serta merta didapatkan dalam satu waktu. Saya sudah mulai berani keluar dari zona ‘pembatas’ sejak lulus SMK 2 tahun lalu, selama itu pula saya membuktikan tindakan atau keputusan yang saya lakukan dapat dipertanggungjawabkan.
Banyak Pengalaman Baru
Pernah sekali waktu saya pamit untuk pergi ke Jawa Timur selama 2 minggu, tujuan utama memang untuk mendaki Gunung Semeru. Saya ingin merasakan suasana berbeda dengan merayakan 17 Agustusan di Gunung tertinggi pulau Jawa tersebut, tujuan lain saya ingin mengenal lebih dalam tempat baru yang saya kunjungi mulai dari teman baru yang saya kenal saat pendakian bersama, budaya ditempat itu seperti apa dan lain sebagainya. Setelah saya mendapat cuti kerja, masalah selanjutnya adalah izin orangtua karena sebelumnya tidak pernah mendaki di luar Jabodetabek, tapi akhirnya saya mampu mengatasi hal itu.
Sejak saat itu orangtua saya perlahan memberi kesempatan atas keputusan yang saya buat selama saya dapat mempertanggungjawabkan keputusan tersebut. Akhirnya setelah gap year saya memutuskan untuk kembali melanjutkan pendidikan. Awalnya saya berusaha mencari di sekitar domisili, tapi universitas yang saya tuju tidak bisa menerima pendaftaran saya karena kualifikasi SMK tidak mumpuni untuk masuk prodi SAINTEK. Mungkin terdengar mustahil, banyak yang meremehkan terlebih saya menunda setahun dan langsung mencoba SBMPTN dimana persaingan jauh lebih ketat.
Tapi akhirnya saya membuktikan dengan diterimanya saya di Universitas Tanjungpura dengan bantuan pendidikan penuh. Meskipun saya harus merantau, pergi jauh dari orangtua, tidak ada sanak saudara. Tidak ada yang menyangka saya bisa lolos PTN. Hidup bukan soal praduga, puan. Saat kita memiliki tekad diiringi dengan usaha penuh dan doa yang tiada henti dipanjatkan, percayalah Tuhan akan memberikan yang terbaik.
Dan saat ini, saya resmi menjadi mahasiswi semester 2. Menetap di kota orang memang tidak mudah. Awalnya cukup sulit, mulai dari perbedaan budaya, nilai kehidupan sehari-hari, pergaulan sampai makanan.
Sebagai mahasiswi rantau saya mempunyai teman yang juga berasal dari daerah yang berbeda, setelah saya tahu kisah sebenarnya dari kedua belah pihak yang dapat saya simpulkan adalah di mana pun kita berada, akhlak adalah hal yang utama. Tidak akan terjadi perpecahan jika keduanya bisa saling menghargai.
Pesan dari saya yang perlu diingat:
· Tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini, jangan fokus dari justifikasi masyarakat atau hal apapun yang menghalangi impianmu.
· Jangan menilai sesuatu hanya dari satu sisi.
· Jangan menyamaratakan semua hal yang belum pasti kebenarannya.
· Beranilah mengambil keputusan dan berani bertanggungjawab.
Sekian dulu cerita dari saya, nantikan kisah selanjutnya. Terima kasih Sahabat Fimela sudah mau membaca kisah ini, dan ada satu kutipan yang ingin saya bagikan sebagai kata penutup.
"Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?" – Pramoedya Ananta Toer
#ElevateWomen