Akses Pendidikan 1,2 Juta Anak Perempuan di Asia Terdampak Selama Pandemi COVID-19

Adinda Tri Wardhani diperbarui 15 Jun 2021, 20:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Pandemi COVID-19 yang masih berlangsung di seluruh dunia termasuk Indonesia telah berdampak pada kehidupan anak perempuan dalam berbagai hal, termasuk terganggunya proses belajar dan akses pendidikan.

Selama penyebaran COVID-19 masih tinggi, penerapan pembatasan sosial skala besar dan penutupan sekolah tak dapat terhindarkan sebagai respons terhadap pandemi. Hal ini tentu menciptakan tantangan baru yang memperburuk hambatan bagi anak perempuan untuk mengakses pendidikan.

Dilansir dari rilis yang diterima oleh Fimela.com, Laporan Cerdas, Berhasil, Kuat: Investasi Pendidikan Bagi Remaja Perempuan di Masa Pemulihan COVID-19 memberikan gambaran mengenai kondisi serta data terkait akses anak perempuan terhadap pendidikan di tengah pandemik COVID-19 di Asia Timur dan Pasifik termasuk Indonesia.

Lebih dari 1,2 juta anak perempuan (pra-sekolah dasar hingga menengah atas) dilaporkan mengalami putus sekolah akibat pandemik di Asia Timur dan Pasifik, selain 15 juta anak perempuan yang tidak terdaftar dan dapat mengenyam pendidikan sebelum COVID-19.

Selain itu, 20% dari anak perempuan di wilayah Asia Timur dan Pasifik—40 juta totalnya—tidak terjangkau oleh pembelajaran jarak jauh yang disampaikan secara daring atau lewat TV atau radio akibat kurangnya gawai atau perangkat dan peraturan serta kebijakan yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka.

Di Indonesia, penutupan sekolah di masa pandemi COVID-19 memaksa lebih dari 68 juta kaum muda Indonesia keluar dari ruangan kelas mereka. Bank Dunia menunjukkan bahwa banyak anak tidak dapat mengakses pembelajaran daring di rumah di Indonesia, baik karena beberapa daerah tidak memiliki koneksi internet yang memadai atau karena tidak semua orang mampu membayarnya. 

 

2 dari 3 halaman

Tantangan Belajar Daring

Ilustrasi siswa sekolah di Jepang. Sumber foto: unsplash.com/Ben Mullins.

Sekitar 92% rumah tangga yang disurvei memiliki televisi dan 95% rumah tangga memiliki telepon genggam, dan hanya 10% yang memiliki komputer. Hanya 5% dari rumah tangga yang disurvei melaporkan memiliki koneksi internet, hal yang penting untuk mengakses pembelajaran daring. Selain itu, pandemik dan sulitnya akses pendidikan berkorelasi dengan peningkatan resiko perkawinan anak. Diprediksi akan ada 2,5 juta anak perempuan beresiko mengalami perkawinan anak, dini, serta paksa pada hingga 2025 sebagai akibat dari pandemik COVID-19.

Laporan ini juga mengungkap 8 hambatan pendidikan utama yang dihadapi remaja perempuan di Asia Tenggara dan Pasifik selama pandemik COVID-19, yaitu, lingkungan rumah yang penuh tekanan, penurunan kesejahteraan mental dan emosional, kualitas dan penyampaian pembelajaran jarak jauh, akses yang tidak setara ke teknologi dan gawai/perangkat, meningkatnya risiko kekerasan berbasis gender, pendidikan bagi remaja perempuan bukanlah prioritas, perkawinan anak, dini dan paksa, serta dampak ekonomi.

 

 

3 dari 3 halaman

Beri dukungan penuh terhadap 6 hal ini

Ilustrasi ujian di sekolah. (Photo by Oussama Zaidi on Unsplash)

Berangkat dari berbagai tantangan ini, remaja perempuan di Asia Timur dan Pasifik memberikan rekomendasi agar anak dan remaja perempuan mendapatkan dukungan untuk 6 hal berikut:

  1. Menyelesaikan pendidikan 12 tahun.
  2. Diakhirinya perkawinan anak, dini, dan paksa.
  3. Menjembatani kesenjangan digital.
  4. Menciptakan lebih banyak kesempatan untuk anak perempuan bisa menjadi pemimpin.
  5. Membangun kembali sitem pendidikan yang menjunjung keberagaman dan inklusi.
  6. Bebas dari diskriminasi, kekerasan, dan pelecehan berbasis gender.

Diharapkan laporan ini dapat menambah sumber data dan informasi serta pemahaman tentang pentingnya berinvestasi untuk sistem pendidikan yang inklusif dan setara bagi setiap anak sebagai bagian dari upaya pemulihan dari COVID-19.