Fimela.com, Jakarta Setiap kali kita melakukan perjalanan, selalu ada cerita yang berkesan. Bepergian atau mengunjungi sebuah tempat memberi kenangan tersendiri di dalam hati. Tiap orang pastinya punya pengalaman atau kisah tak terlupakan tentang sebuah perjalanan, seperti tulisan Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba My Trip Story: Setiap Perjalanan Selalu Memiliki Cerita berikut ini.
***
Oleh: Nur Isna Aulya
Dentang waktu menunjukkan pukul dua belas malam. Jalanan kampungku lengang, hanya geraman pungguk di pekarangan samping rumah yang sesekali terdengar.
Ayah, Ibu, adik, dan putri kecilku—sebut saja Nandy namanya—tengah terlelap dalam tidurnya, dan aku masih memandangi Nandy dari tepi ranjang dengan air mata yang menggenang. Aku masih tak percaya akan meninggalkan bayi dua tahunku selama tiga hari, berjauhan dengan suami selama tiga tahun tak lebih menyakitkan dari ini. Sebab putri kecilku sangat bergantung padaku, tiada hari yang ia lewati tanpa belaian tanganku. Kami tak pernah berpisah selama ini.
Bagaimana jika saat bangun tidur ia menangis dan tak mendapati aku berada di sampingnya? Bagaimana jika ia tak mau makan tanpa suapan dari tanganku? Apakah ia akan baik-baik saja tanpa bundanya? Pikiran itu berkecamuk dalam otakku, seperti sebuah teriakan yang menggaung di telinga. Tidak, aku harus membuang pikiran buruk itu. “Semua demi kebahagiaanmu, Nak,” bisikku sembari mengelus rambut lembutnya.
Sejam lagi mobil travel yang aku pesan akan menjemputku menuju bandara Surabaya. Beberapa pakaian, surat kesehatan, dan dokumen-dokumen telah tertata rapi dalam tas ransel dan koper kecil yang akan kubawa menuju Jakarta, kota metropolitan yang tak pernah kupikirkan untuk mengunjunginya. Sebab bagiku kota itu terlalu jauh dari Blitar—tempat tinggalku—dan kupikir aku tak akan pernah ada urusan di kota yang penuh hiruk-pikuk itu . Tetapi cinta dan cita membawaku ke sana.
What's On Fimela
powered by
Perjuangan untuk Bisa Bersama
Empat tahun lalu aku menikah dengan sahabatku sejak di bangku SMA. Sebulan setelah itu, ia meninggalkan aku dan janin dalam kandunganku untuk melanjutkan studi masternya selama beberapa tahun di Prancis—dan itu adalah mimpinya sejak awal kami bertemu. Aku tahu, menjalani hubungan jarak jauh dengan pasangan memang bukan perkara mudah, apalagi saat mengandung anak pertama. Mual-mual, mengidam, hingga waktu melahirkan tiba telah kulewati tanpa dampingannya. Tetapi aku percaya bahwa cinta dan cita akan membawa kita menuju bahagia, aku percaya Tuhan selalu memberikan sepaket masalah beserta jalan keluarnya.
Tiga tahun setelah menjalani hubungan jarak jauh, saat Nandy berusia dua tahun, aku dan suami bersikukuh untuk segera mengurus keberangkatanku dan Nandy ke Prancis, agar kami segera bertemu kembali, meskipun pandemi sedang melanda negeri ini. Bagaimanapun, rindu adalah utang yang harus dibayar lunas. Kami tak mau anak kami tumbuh dan melewati masa-masa emasnya tanpa seorang ayah. Kami ingin menikmati setiap momen tumbuh kembangnya bersama.
Tujuh belas Juli 2020, tepat di hari pernikahan kami yang ketiga, dengan tekad yang kuat aku dan suami memutuskan untuk bertemu di Jakarta. Ia berangkat dari Prancis, sementara aku berangkat dari Blitar. Kami mengurus dokumen pengajuan visa schengen untukku dan Nandy di kantor urusan imigrasi di Jakarta. Bepergian seorang diri di tempat yang tak pernah kukunjungi terasa menegangkan, sebab aku harus lebih teliti dalam membaca setiap informasi jika ingin sampai tujuan tanpa tersesat.
Malam itu, saat semua orang rumah tengah tertidur lelap, aku menyiapkan diri untuk menghadapi hari berat. Bukan karena aku pergi seorang diri, tetapi karena ada rasa ngilu di hati tanpa kehadiran Nandy selama tiga hari ke depan. “Dik, selama aku di Jakarta, jangan hubungkan aku dengan Nandy kalau dia tidak mencariku, ya. Aku nggak mau lihat dia menangis. Salamku untuk Ayah-Ibu,” tuturku kepada adik perempuanku saat ia tengah terbangun dan membawakan koper kecil ke dalam mobil Elf yang berderum memecah sepi di halaman rumah.
Perjalanan dimulai. Di waktu yang sama, pesawat yang ditumpangi suamiku telah lepas landas dari bandara Charles de Gaulle Paris, sementara mobil Elf yang kutumpangi telah melaju menuju Surabaya.
Jarum jam menunjukkan pukul dua pagi, tetapi mataku tak bisa terpejam, sebab wajah dan tawa Nandy membayangi pikiranku. Di satu sisi aku senang akan bertemu suami yang telah lama tak kutemui, di sisi lain hatiku ngilu karena meninggalkan putri kecilku, meskipun aku tahu ia akan baik-baik saja bersama adik dan Ayah-Ibuku. Seorang ibu baru pasti tahu bagaimana rasanya berpisah dengan anak satu-satunya yang masih bayi, meskipun hanya dalam hitungan hari.
Perjalanan dari Blitar menuju Surabaya berlangsung selama lima jam, sebab sopir travel harus menjemput dan menurunkan dua belas penumpang di tempat yang berbeda-beda, dan hal itu membuat perjalanan menjadi lebih lambat.
Sesampainya di bandara Juanda Surabaya, aku segera menuju terminal penerbangan domestik untuk melihat jadwal cek in pesawat yang akan kutumpangi. Sesekali kutengok sekitar, semua orang berlalu lalang dengan barang-barang bawaannya. Aku merasa sedikit gugup sebab ini adalah kali pertama aku berada di tempat ini seorang diri. Sembari menunggu waktu cek in, aku kembali memastikan berbagai dokumen pengajuan visa dan surat-surat lain telah siap kutunjukkan.
Perjalanan Baru
Tiga jam berlalu, akhirnya waktu cek in tiba. Petugas bandara telah berjejer di pintu masuk ruang cek in untuk memeriksa surat bebas Covid-19 dan suhu badan setiap calon penumpang. Barisan para calon penumpang sudah terlihat mengular di loket maskapai pesawat yang akan kutumpangi. Setelah menunggu di gate selama kurang lebih satu jam, akhirnya pesawat yang kutumpangi lepas landas menuju ibukota.
Selama menempuh perjalanan, kembali bayangan Nandy muncul di jendela tempat dudukku. Mungkin sekarang ia baru selesai sarapan, biasanya ia bermain bersamaku saat ini. Ah, betapa rindunya. Padahal baru beberapa jam aku tak melihat wajahnya. Tak ada yang aku lakukan selain berdoa, semoga putri kecilku tetap ceria tanpa aku, dan semoga suamiku sampai dengan selamat hingga kami bisa bertemu kembali.
Sesampainya di bandara Soekarno-Hatta Tangerang, rasa gugupku muncul saat pengambilan bagasi, sebab ada beberapa nomor tempat yang aku tak tahu di mana letak bagasiku. Beruntung seorang petugas menyapa dan menunjukkanku tempat pengambilan bagasi sesuai maskapai penerbanganku. Tak berhenti sampai di situ, rasa gugup masih kurasa saat mencari keberadaan pintu keluar yang harus kulewati. Banyaknya orang berlalu-lalang membuatku semakin bingung, hingga aku memutuskan untuk mengikuti beberapa orang yang tak kukenal. Semoga firasatku—jalan keluar—benar, pikirku.
Rasa gugupku hilang seketika saat seorang perempuan berambut ikal sebahu menyambutku. Ialah teman suamiku yang baru pertama kutemui saat itu, aku memanggilnya mbak Maya. Suamiku meminta tolong mbak Maya untuk menemaniku selama di bandara, ia takut aku tersesat di tempat ‘asing’ ini. “Suamimu turun di terminal tiga kan? Ayok kita ke sana,” ucapnya setelah kami saling berkenalan. Kami kemudian menuju terminal tiga—tempat penerbangan internasional—dengan shuttle bus yang disediakan bandara secara gratis untuk berpindah antar terminal.
Satu-dua jam aku dan mbak Maya menunggu di pintu keluar, suamiku tak kunjung terlihat. Saat itu aku juga tak bisa menghubunginya, sebab tak ada jaringan internet maupun jaringan telepon pada gawainya. “Kamu tunggu di sini ya. Aku coba menunggu di lantai atas. Harusnya dia sudah sampai satu jam yang lalu,” ucap mbak Maya santun padaku.
Dengan perut yang sesekali meraung-raung, dan mata yang mulai terasa pedih, aku duduk di sebuah kursi panjang dekat pintu keluar. Pandanganku tak pernah luput dari barisan orang-orang asing dan pribumi keluar dari salah satu sudut pintu. Degup jantungku mulai tak karuan, ingin rasanya aku segera bertemu belahan hatiku saat itu.
Tubuhku mulai lemas, wajahku semakin lesu saat barisan orang-orang yang keluar dari pintu itu semakin sedikit, hanya satu-dua orang yang muncul dari pintu itu setiap beberapa menit. Di mana suamiku? Apakah dia baik-baik saja?
Aku coba terus menghubunginya meskipun aku tahu teleponku tak akan tersambung dengannya. Aku semakin gelisah saat mbak Maya kembali menemuiku tanpa kabar apa pun dari suami. Kami hampir putus asa, sebab segala cara telah kami lakukan; bertanya pada petugas, memeriksa setiap pintu keluar, dan menghubunginya berkali-kali.
Setitik air mata mengambang di pelupuk mata, aku menyerah. Degup jantungku kembali lesu. Aku menunduk sembari menggeser-geser layar gawaiku tanpa tahu apa yang sedang kucari, berharap mbak Maya tak melihat kesedihanku. Saat melihat beberapa foto Nandy di layar gawai, tak terasa air mataku jatuh. Dunia seperti sedang menjauh dariku, aku merasa sendiri. Ingin rasanya aku kembali pulang saat itu juga, memeluk erat Nandy, meluapkan kegelisahanku saat itu. Ah, nyatanya aku yang justru menangis merindukan bayi perempuanku.
“Itu dia!” teriak mbak Maya memecah lamunanku; ia menunjuk lelaki berkacamata yang sedang menarik sebuah koper hitam besar dengan tas ransel di punggungnya. Mataku tertuju pada lelaki itu, senyumku merekah, dan degup jantungku kembali berdetak kencang. Ia menatapku dari kejauhan dengan senyuman lepas.
Langkahku dan langkahnya semakin mendekat cepat, lalu pelukan hangat kembali kami rasakan setelah hampir tiga tahun kami menabung rindu. Aku tak bisa membendung air mata—bahagiaku. Akhirnya aku dan suami berhasil mengajukan permohonan visa, dan pengajuan itu diterima oleh Kedutaan Prancis sebulan setelahnya. Kini kami hidup bahagia bersama di negeri ini, menikmati tumbuh kembang Nandy bersama, seperti apa yang kami impikan. Perjalananku telah tuntas, rinduku telah terbayar, lunas.
#ElevateWomen