Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.
***
Oleh: Pramudita Kurnia
Ini adalah Ramadan tahun keempat aku lalui dengan sendu. Sejak tanggal 10 April tahun ini, aku menerima kabar buruk. Muridku yang kuharapkan akan melanjutkan kontrak belajar bahasa Indonesianya akan kembali ke negaranya. Kontrak yang tadinya akan ditandatangani pun dibatalkan. Aku mencoba merasa baik-baik saja tapi tidak bisa. Aku tidak bisa menyembunyikan rasa kecewa, khawatir, dan sedih. Rencana lebaran dengan gaji yang masih ada pun pupus.
Aku sadar sudah empat tahun, Ramadan kulalui dengan pilu dan sendu. Tahun 2018, 2019, 2020 dan tahun ini. Empat tahun setelah aku lulus, aku semakin merasa aku adalah sarjana tanpa karier yang jelas dan masa-masa konstan nan bahagia. Semuanya dimulai Ramadan tahun 2018.
Saat Ramadan tahun 2018, aku bekerja di sebuah perusahaan sertifikasi. Pekerjaan yang berat dan kolega yang galak mengisi bulan Ramadan pertamaku sebagai seorang pekerja. Pikiran yang mulai terbebani mempengaruhi keadaan fisikku. Hal ini disebut psikosomatis. Gejala maag akut dan batuk yang tidak sembuh-sembuh pun timbul. Puncaknya adalah hari sebelum libur lebaran atau hari terakhir aku bekerja. Perusahaan itu memutus kontrak kerjaku. Aku merasa kacau.
Berlanjut dengan tahun setelahnya, Ramadan tahun 2019. Aku sempat bekerja di sebuah museum terkenal di Jakarta. Tapi ketika ada masalah, aku rehat sejenak. Aku mengisi masa rehatku dengan mencari pekerjaan lain. Ada sebuah lowongan pekerjaan Walking Tour. Karena tak ada pilihan lain aku pun melamarnya. Namun ada syaratnya, aku harus ikut pelatihan selama tujuh kali. Meski berat aku jalani. Setelah aku jalani, ternyata pelatihan ini menguras uang, waktu dan tenaga. Aku pernah dimarahi di depan tamu tanpa alasan yang jelas. Padahal aku tak dibayar sama sekali. Sungguh menjengkelkan!
Dan Ramadan tahun 2020 masih berlanjut. Tahun ini saat dimulainya pandemi. Keadaannya sama seperti sekarang. Aku hanya punya satu murid dan pertengahan Ramadan, kontrak belajar pun berakhir. Aku seperti hilang arah dan keluar rumah pun tak mau. Para tetanggaku pasti bertanya, apakah aku bekerja atau tidak? Meskipun terlihat biasa tapi itu menjatuhkan mentalku.
Terakhir Ramadan tahun ini. Aku bingung aku harus apa. Sudah berkali-kali bernasib seperti ini. Teman-teman seusiaku sedang asyik menikmati THR dan waktu bersama keluarga. Aku merasa aku mengecewakan keluargaku terutama orang tuaku. Sebagai anak yang sudah dibiayai pendidikannya malah tidak berguna di masa depan. Tidak bisa bantu perekonomian keluarga. Hanya jadi beban saja.
Beberapa Petuah Indah dalam Buku
Aku mencoba menenangkan hidupku lewat jalan yang aku sukai yaitu dengan membaca buku. Ada tiga buku yang selalu kubaca berulang-ulang. Tiga buku itu yaitu Grit karya Angela Duckworth, The Socrates Express karya Eric Weiner dan Loving the Wounded Soul karya Regis Machdy. Pertama aku membaca buku Grit untuk mengembangkan potensi bakatku yang harus diselingi usaha serta ketabahanku dalam setiap cobaan yang mendera. Kedua aku membaca The Socrates Express untuk mempelajari filsafat yang mempengaruhi kebijaksanaan dan psikologi dalam hidup. Terakhir aku membaca Loving the Wounded Soul karena aku seorang penyintas gangguan mental, untuk menghadapi dan mengatasi depresi.
Petuah dari buku yang pertama, Grit, yaitu “Tunjukkan kebulatan tekad, daya tahan dan keuletan. Gunakan kesalahan dan masalah sebagai peluang untuk menjadi lebih baik dan bukan alasan untuk menyerah. Karena kesuksesan tidak pernah final, kegagalan tidak pernah fatal dan yang paling penting adalah keberanian.” Aku membaca dan terngiang akan petuah ini saat waktu Subuh setelah Sahur untuk mengingat semua kegagalan yang aku perbuat.
Petuah dari buku yang kedua, The Socrates Express, ada dua petuah menarik. Pertama dari filsuf Marcus Aurelius yaitu “Tanggapilah kesulitan, baik nyata maupun khayalan tanpa mengasihani diri sendiri tapi hanya dengan memulai kembali.” Petuah kedua dari filsuf Epicurus yaitu, “Kemakmuran kita tidak terdiri dari apa yang kita miliki tapi apa yang kita nikmati.” Aku membaca kedua hal ini setelah Dzuhur dan menjelang senja. Pada saat itulah saat yang tepat untuk belajar keterampilan baru, melamar pekerjaan, membaca buku dan bersyukur melihat keluargaku lengkap dan sehat.
Dari buku terakhir, Loving the Wounded Soul, aku dapat banyak informasi tentang kesehatan fisik dan mental bahwa penyakit di perut adalah tanda bahwa kita belum mencerna pahitnya kehidupan dunia dewasa. Agar kita lebih memacu hormon kebahagiaan yang ada dalam sistem pencernaan atau perut, kita sebaiknya memakan makanan yang mengandung prebiotik seperti tempe, asparagus dan yoghurt. Cara lain untuk tenang menghadapi krisis hidup adalah dengan mindfulness yaitu meditasi dengan fokus terhadap satu hal dan berlatih pernapasan. Aku membacanya menjelang buka puasa sampai setelah berbuka puasa. Karena informasi ini, aku memakan makanan yang sehat penuh serat untuk memacu hormon yang baik dan meditasi.
Apakah Ini Cobaan, Tantangan, atau Keajaiban?
Aku bingung pada titik ini. Ada sebuah dua kejadian. Lowongan mengajar bahasa Jepang datang. Aku ragu melamarnya. Aku punya kegagalan dalam mengajar bahasa Jepang lebih dari satu kali. Sangat traumatis untukku. Namun karena tidak ada pilihan lain, aku mencoba melamarnya. Kedua lamaran itu diterima, aku masih tidak yakin.
Beberapa hari sebelum mengajar, aku mencoba meyakinkan diri sendiri. Aku ingat filosofi Tabula Rasa atau filosofi kertas kosong. Hidup manusia yang tadinya kosong harus diisi dengan berbagai hal, agar kita bisa tahu yang mana yang baik atau yang buruk. Aku berpikir kita tak akan tahu sampai kita mencoba. Aku juga mencoba menguatkan diri jika sesuatu buruk akan terjadi. Itu akan membuatku kuat. Aku akan menyesal pada akhirnya jika tidak mencoba sama sekali. Aku tidak ingin membuang masa mudaku untuk diam saja dan tak mengisinya dengan berbagai hal walaupun bisa saja itu pahit pada akhirnya.
Allah suka dengan hamba-Nya yang berusaha, hal ini juga untuk mencari rezeki dan membahagiakan orangtua. Ya, aku akan mencobanya! Ramadan yang berat dari tiga tahun sebelumnya. Tak apa, aku kuat! Berjalan dari cobaan, tantangan hingga keajaiban. Aku siap menanti.
#ElevateWomen