Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.
***
Oleh: Robi'atul Andawiyah
Wajahnya yang menua itu tampak murung. Menampakkan kesedihan yang mendalam sebab mungkin hari-hari miliknya tidak akan sama dia lalui sebagaimana dia melalui hari-hari sebelumnya. Entah bagaimana perasaannya kala menyambut bulan Ramadan tahun ini. Tapi aku yakin bahwa Bapak akan menyambut Ramadan ini dengan bahagia dan lapang dada. Dan aku pun seharusnya begitu.
“Saya sekarang tidak bisa berpuasa seperti tahun lalu. Salat tarawih dengan posisi tubuh normal, pergi ke masjid meski hanya kadang-kadang karena kondisi tubuh yang tidak terlalu kuat jika makmum di masjid, bahkan biasanya saya menggantikan Kyai Faizi jika beliau berhalangan menjadi Imam. Saya juga biasanya diminta menjadi Imam di musalanya Rizki. Tapi sekarang saya tidak bisa.”
Dadanya bergetar. Air matanya pun menetes perlahan. Bapak mengungkapkan perasaannya tepat setelah azan Maghrib di malam pertama salat tarawih akan dilaksanakan. Sedang aku membantunya memakai baju, dadaku pun terasa sesak meski hanya dengan lewat ekspresi wajahku yang sendu.
“Kan, Bapak bisa salat di kamar,” tuturku sembari tersenyum, ingin menenangkan hati Bapak yang pasti sedih itu.
“Ndak usah nangis,” senyumku aku buat semakin lebar.
Bapak lekas menghapus air di sudut matanya dan kembali menampakkan wajahnya yang lebih tenang. “Iya. Saya mau coba salat di sini saja sambil duduk. Kalau kuat mau salat 8 raka’at.”
Bapak selalu begitu. Sikapnya tidak pernah berlama-lama untuk bersedih dan merasa putus asa. Dia selalu kuat meski aku belum pernah melihatnya menangis di depan mataku sendiri seperti ini. Namun, semenjak bapak didiagnosa terkena penyakit stroke ringan 2 bulan yang lalu, dia pernah beberapa sesekali menangis.
Bapak yang Terus Berjuang
Bapak menangis bukan karena penyakit yang dikaruniakan Allah terhadapnya, tapi dia merasa bahwa dia tidak bisa beraktivitas seperti sedia kala karena kakinya yang tidak kuat berjalan terlalu lama. Tidak bisa bermakmum di masjid, mengikuti pengajian rutinan, atau bersilaturahmi ke rumah saudara-saudaranya.
Bapak pun tetap ingin berpuasa setiap hari meskipun kami sekeluarga melarangnya atau puasa secara selang-seling saja. Bapak juga selalu ingin menjaga wudunya agar bisa membaca Al-qur’an setiap waktu dan mengkhatamkannya. Dia selalu resah jika membaca Al-qur’an tidak sebanyak dari hari sebelumnya. Dia pasti akan membacanya terus menerus dan istirahat jika lelah saja.
Mungkin kondisi fisik bapak saat ini berbeda dari sebelumnya. Namun, aku tetap bisa melihat rasa semangat dan kekuatannya dalam manjalani suka duka kehidupan sama seperti biasanya. Aku menjadi tertampar atas perjuangan dan rasa ingin sembuh bapak yang tak pernah padam. Kakinya yang tak lagi kuat menopang badan, tetap ingin melangkah untuk wudu atau hanya sekedar latihan berjalan. Tangan kirinya yang tak lagi kuat menahan beban, tetap saja memegang Al-qur’an dan merapikan setiap kertasnya dengan tangannya yang kanan.
Bulan Ramadan tahun ini memang berbeda. Dengan segala rasa kekhawatiran kami atas kesehatan bapak, pun dengan segala doa yang selalu kami panjatkan untuk kesembuhannya. Bulan Ramadan tahun ini memang berbeda. Atas segala perjuangan Bapak untuk bisa pulih, atas segala kesabaran Bapak untuk sembuh kembali.
Sebagaimana firman Allah Swt bahwa prasangka Allah adalah sebagaimana prasangka hamba kepada-Nya. Maka aku pun tidak akan pernah berhenti berprasangka baik atas penyakit yang diderita oleh Bapak saat ini. Allah yang Maha Mengetahui. Allah yang Maha Menyembuhkan.
#ElevateWomen