Setiap Kepergian Perlu Diikhlaskan, Setiap Kehidupan Butuh Diperjuangkan

Endah Wijayanti diperbarui 30 Apr 2021, 09:55 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.

***

Oleh: Ratna Purnamasari

Tahun 2017 adalah tahun yang paling memiliki kesan mendalam untukku. Tahun di mana aku merasa kehidupanku layaknya roller coaster.

Awal tahun aku merasakan kebahagiaan dan rasa bangga, karena aku dapat terpilih untuk mengikuti pelatihan kerja dari program pemerintah setelah proses seleksi juga aku dapat magang di Balai Kota Bogor. Bayangan untuk bisa memiliki karier yang baik dan masa depan yang cemerlang terbentang di hadapan.

Aku sudah tidak memiliki bapak sejak masih SMP. Kini yang mengurus dan merawatku juga adik, selain ibu, ada Ua Yayat kakak dari bapakku yang tidak memiliki anak. Kami tinggal serumah beserta dengan istrinya. Ua mengambil alih tanggung jawab sebagai pengganti bapak. Dia bertanggung jawab layaknya ayah untukku dan adik. Beliau juga yang bantu membiayai biaya kuliah dan lesku hingga selesai.

Tahun 2017 adalah masa penantian aku wisuda, karena aku sudah dinyatakan lulus tinggal menunggu undangan wisuda. Sambil menunggu waktu luang aku mengisi kegiatan dengan mengikuti pelatihan kerja dan magang di instansi pemerintah.

Tapi terkadang hidup berjalan tak selalu seperti apa yang di harapkan. Setelah beres pelatihan  dan berakhir pula magang di Balai Kota, janji yang diucapkan saat peresmian bahwa kemungkinan akan diangkat menjadi pegawai honorer Balai Kota, seperti menguap begitu saja. Apalagi Ua Yayat memiliki harapan agar aku bisa meneruskan cita cita almarhum bapak, menjadi seorang PNS. Beliau berkata agar aku bersabar dan pengalaman magang tersebut dijadikan bekal untuk kehidupanku di masa yang akan datang.

Saat itu selesai magang, aku sempat mendapat surat keterangan lulus dari kampus. Saat itu Ua yang menerima dan membaca suratnya seraya berkata, “Alhamdulillah Nana sudah lulus. Tapi kayanya nanti Ua gak bisa nemenin datang ke wisuda. Nana sama ibu sama Ua nenden saja yah." Saat itu aku marah! Aku selama ini selalu memimpikan untuk bisa didampingi wisuda bersama ibu dan Ua Yayat, karna Ua adalah pengganti almarhum bapak. Tapi saat melihat reaksi ku yang marah, Ua tidak menanggapi apa-apa.

Di saat yang bersamaan, sahabatku Aya, juga masuk rumah sakit. Dia mengidap diabetes sejak SMA. Dan saat ini dokter memvonisnya untuk cuci darah.

Bulan April selesai magang, aku lebih sering bolak-balik rumah sakit untuk menjenguk sahabatku. Menjelang Ramadan tradisi beberes dan bebersih rumah selalu dilakukan oleh ua. Biasanya Ua akan memangkas rumput halaman rumah yang sudah mulai tinggi, merapikan pohon atau mencat ulang rumah agar tampak baru dalam menyambut ramadhan. Tapi kali ini beda, Ua juga merapikan jalan depan rumah yang biasa dilalu lalang oleh orang orang.

Biasanya ada orang yg sembarangan membuang sampah di depan jalan rumah. Aku menyuruh Ua untuk menulis peringatan “Dilarang buang sampah!” tetapi Ua malah berkata, “Biarkan saja lebih baik jalannya kita rapikan kita cat ulang. Kalau rapi dan bersih nanti orang akan segan untuk membuang sampah lagi." Bahkan beliau turut mengganti cat dapur dan ruang makan, serta teras agar rumah benar benar rapi dan tampak seperti baru.

Kondisi sahabatku agak memburuk setelah dokter memvonisnya untuk cuci darah, di saat itu Ua selalu mengingatkan aku untuk menjenguk sahabatku di Rumah sakit. Sempat ada firasat ketakutan sahabatku akan pergi untuk selamanya. Namun nyatanya takdir berkata lain.

28 April 2017 tepat sepuluh tahun sudah almarhum bapak pergi meninggalkan kita semua, pada saat itu aku berkata kepada Ua “Ua hari ini bapak sepuluh tahun lho." Ua hanya menjawab, “Tidak terasa ya." Ua Yayat memang tidak banyak bicara. Tapi pada hari itu Ua lebih banyak diam.

Kami sempat menonton TV bersama dan Ua menyatakan harapannya agar aku bisa segera kembali bekerja agar bisa meneruskan bapak. Harapan Ua Yayat sederhana, aku bisa lulus kuliah dengan nilai baik, wisuda, kemudian bekerja dengan gaji yang layak agar bisa menghidupi keluarga, masalah jodoh beliau selalu berkata, “Ada saatnya nanti juga ketemu yang baik dan berkualitas di tempat kamu bekerja."

Entah mengapa hari itu Ua Yayat terlihat berbeda sekali saat melaksanakan salat Magrib. Anehnya aku sempat memerhatikan beliau salat begitu khusyuk dan damai sekali. Aku tidak memiliki perasaan apa pun, sampai akhirnya esok hari tepat sepuluh tahun sehari setelah kepergiaan bapakku, Ua Yayat menyusulnya di tanggal 29 April 2017, sama sama di hari Sabtu seperti saat bapak meninggal 10 tahun yang lalu.

Aku hancur! Hatiku remuk! Rasanya aku tidak pernah menyangka akan ditinggalkan Ua Yayat secepat ini. Aku menangis sejadi-jadinya. Rasanya begitu banyak penyesalan yang terjadi dalam hidupku karena Ua Yayat belum sempat melihatku sukses dan membahagiakan beliau. Sakit!

Hidupku seperi kiamat. Kehilangan dua orang yang aku cintai, bapak dan Ua Yayat. Belum sembuh luka masa laluku saat kepergian bapak 10 tahun yang lalu, ditambah dengan kepergiaan Ua Yayat. Ya Allah apa aku bisa kuat menghadapi semuanya? Selama ini Ua adalah support system terbesar dalam hidupku. Terlalu banyak kebaikan yang beliau beri selama ini kepadaku dan adikku.

Pantas saja beliau tidak dapat menemaniku datang ke wisuda November nanti, karena beliau sudah memiliki firasat akan pergi untuk selamanya. Aku selalu berdoa agar ketika aku wisuda dan ketika nanti aku menikah, aku ingin Ua Yayat hadir mendampingi ku di acara wisuda, beliau pasti bangga bisa melihatku menyelesaikan pendidikan.

Beliau selalu berkata, “Almarhum bapak pengen Ratna bisa jadi sarjana."  Aku juga ingin Ua Yayat yang menjadi wali pernikahanku menggantikan bapak, tapi nyatanya beliau harus pergi terlebih dahulu sebelum aku membahagiakan beliau.

Beliau tidak sempat melihatku wisuda atau kelak aku menikah. Kemudian aku tersadar mungkin tugasnya sudah selesai. Mengantarku hingga menyelesaikan pendidikan. Saat hari kepergian beliau, kulihat langit cerah tapi sejuk, dan banyak orang yang datang untuk mendoakan beliau serta mengantar ke tempat istirahatnya yang terakhir.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Kepergian Orang-Orang Tercinta

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/November27

Sayup-sayup aku mendengar seseorang pelayat berkata, “Orangnya baik pantas meninggalnya dimudahkan, almarhum merawat dua orang anak yatim anak adiknya." Memang benar 10 tahun lalu saat bapakku meninggal, Ua Yayat yang pertama memelukku sambil berkata, “Rat yang sabar ya tenang ada Ua yang bakal gantiin bapak."

Janji yang diucapkan olehnya bukan sekedar janji, beliau membuktikannya dengan menjadi peran pengganti ayah yang baik untukku dan adikku. Beliau telah membuktikan itu dengan sangat baik. Aku bisa menjadi sarjana berkat jasa Ua Yayat. Mungkin tugasnya untuk menjaga anak yatim, yaitu aku dan adik telah selesai. Aku yakin surga yang terindah telah Allah siapkan untuk Ua Yayat.

Sebulan berlalu, kemudian Ramadan datang. Hari-hariku masih dirundung oleh duka. Menjalani Ramadan tanpa kehadiran Ua Yayat adalah hal berat bagiku. Karena selama 23 tahun dari aku kecil hingga dewasa, Ua Yayat selalu hadir dalam setiap momen Ramadanku.

Tentu berat bagiku dan keluarga terutama sang istri, menjalani Ramadan tanpa kehadiran beliau. Tapi kami yakin bahwa rencana Allah adalah yang terbaik. Minggu pertama puasa, hampir setiap malam aku selalu menangis mengingat almarhum ua.

Aku teringat dengan segala kebiasaan kami yang lakukan setiap Ramadan, seperti sahur dan berbuka bersama serta pergi ke masjid untuk melaksanakan tarawih. Tahun ini Ramadan terasa sangat berbeda karena kehilangan salah satu anggota keluarga, mungkin berat tapi kami semua berusaha menjalaninya dengan ikhlas dan sabar.

Hingga suatu ketika aku berniat untuk menemani sahabatku Aya, selama Ramadan ini untuk cuci darah. Aku hanya ingin membuang semua perasaan negatif yang ada dan melupakan dukaku dengan mengisi waktu luang, daripada terus berlarut dalam kesedihan. Aya menyambut baik niatku. Jadwal cuci darah Aya setiap hari Senin dan Kamis.

Hari pertama aku menemani Aya cuci darah awalnya aku hanya berniat untuk menemaninya selama Ramadan saja, agar mengisi waktu luangku sambil menunggu wisuda dan panggilan kerja. Ternyata aku cukup kaget saat melihat kondisi ruangan  tempat sahabatku cuci darah.

Di sana aku bisa bertemu dengan banyak pasien gagal ginjal yang sedang berjuang antara hidup dan mati untuk bisa melawan penyakitnya. Cuci darah bagaikan final destination, kita tidak pernah tahu sampai batas kapan pasien cuci darah dapat bertahan. Selanjutnya selama Ramadan, seminggu dua kali aku sering menemani Aya.

Di sana begitu banyak pelajaran hidup dan informasi yang aku dapatkan. Di sana aku menemukan keluarga baru. Ya, para perawat yang bertugas di ruang hd untuk merawat pasien cuci darah, mereka ramah dan baik bahkan akrab layaknya teman karna sering bertemu, para keluarga pasien yang datang untuk menunggu anggota keluarganya cuci darah, juga para pasien.

Aku menemukan dunia baru yang membuatku sadar untuk lebih banyak bersyukur dan ikhlas. Terkadang aku sering membantu untuk mendorong kursi roda sahabatku hingga ke lobi atau membantu mendorong kursi roda pasien lain yang keluarganya telat menjemput, membantu sahabatku atau pasien lainnya yang butuh minum, minta dibelikan makan, menyisir rambut mereka, mengambil obat di farmasi atau sekedar menyapa dan mengajak ngobrol untuk menumbuhkan semangat mereka.

Tanpa disadari duka, rasa sakit, kesedihan, kesepian  yang aku rasakan karena ditinggal selamanya oleh Ua Yayat perlahan sembuh. Aku seperti memiliki energi baru dan banyak pelajaran berharga yang aku dapat selama menemani aya cuci darah di bulan ramadhan.

Aku merasa cobaan yang aku alami tidak sepadan dengan cobaan yang aya dan para pasien hemodialisa lainnya. Mereka berjuang antara hidup dan mati, membiarkan diri dicuci darah seminggu 2-3 kali tanpa tahu sampai kapan, antara bisa sembuh lagi atau bertahan seumur hidup dengan kondisi divonis cuci darah selamanya.

Tak sedikit pasien yang tidak kuat dan meninggal dunia meski baru beberapa bulan cuci darah. Dari situ aku sangat bersyukur atas hidupku yang jauh lebih beruntung dari mereka.

Hingga Ramadan berakhir, aku masih melanjutkan kebiasaan untuk menyempatkan diri datang menjenguk sahabatku cuci darah, bahkan setelah aku mulai bekerja di rumah sakit. Sejak Aya cuci darah, itulah yang menjadi perjalanan untuk aku sembuh dari rasa dukaku. Titik awal aku kembali mencoba dan semangat menata hidup lagi setelah duka yang kurasakan. Aku melihat mereka para pasien cuci darah begitu ikhlas menjalani takdirnya dengan sabar dan tetap semangat. Masya Allah aku merasa beruntung bisa mengenal mereka dan mereka mengajarkan arti keikhlasan untukku.

Saat ini sahabatku Aya, telah menyusul Ua Yayat berpulang ke rahmatullah. Setelah 3 tahun lamanya berjuang dengan penyakitnya, 25 Januari 2020 Aya menyerah akan penyakitnya dan meninggal dunia dalam keadaan yang husnul khotimah. Insha Allah segala kebaikan, kesabaran, keikhlasan yang dimiliki oleh Aya dan Ua Yayat akan menjadi bekal untukku dalam menjalani hidup.

Aku yakin mereka sudah bahagia di sana. Kini aku masih bercita-cita untuk bisa bekerja lagi di rumah sakit, meski aku bukan medis. Karena setiap kali aku membantu melayani pasien, aku selalu teringat akan Aya sahabatku yang sama-sama berjuang melawan sakitnya. Di sinilah aku menemukan panggilan jiwaku untuk bisa bekerja bukan hanya untuk uang tapi menolong sesama. Terima kasih Aya atas segala pelajaran baik yang kau berikan yang membuatku semakin kuat.

Ramadan di tahun 2017 adalah Ramadan yang paling berkesan yang mengajarkan arti keikhlasan untukku.

#ElevateWomen