Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita, pengalaman, dan kesan tersendiri yang dirasakan tiap kali bulan Ramadan datang. Bahkan ada kisah-kisah yang tak pernah terlupakan karena terjadi pada bulan suci ini. Tiap orang pun punya cara sendiri dalam memaknai bulan Ramadan. Tulisan kiriman Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Berbagi Cerita tentang Indahnya Ramadan di Share Your Stories Bulan April ini pun menghadirkan makna dan pelajaran tersendiri.
***
Oleh: Nur Isna Aulya
“Beribadah tidak melulu soal salat dan puasa, berbuat baik dan merawat keluarga juga merupakan ibadah yang disukai Allah.”
Ramadan adalah bulan yang dirindukan setiap muslim di dunia. Ia adalah bulan yang istimewa. Selain karena pintu-pintu ampunan dibuka dan pahala-pahala dilipatgandakan oleh Allah swt, bulan Ramadan juga menjadi waktu yang tepat bagi kaum muslim untuk berkumpul bersama keluarga; tentu momen ini akan terasa menyenangkan jika dijalani bersama orang tercinta.
Begitupun denganku, Ramadan tahun ini sangat istimewa bagiku dan suami. Selain menjadi momen pertama kami menjalani puasa bersama, Ramadan kali ini juga kami jalani dengan suasana yang berbeda dengan Ramadan saat di kampung halaman. Sebelumnya, aku dan suami menjalani ‘Long Distance Marriage’ selama tiga tahun. Sebulan setelah menikah, kami harus berpisah karena suami akan melanjutkan studinya di Prancis, sementara aku tinggal bersama ayah dan ibu.
Keinginan suami untuk menjemputku ke negeri berbendera merah-putih-biru ini selalu gagal karena berbagai kendala; kehamilanku, usia sang buah hati yang masih terlalu dini untuk melakukan perjalanan panjang, dan keadaan pandemi covid-19 yang membuat izin perjalanan ke luar negeri terhambat. Namun pada pertengahan September tahun lalu, akhirnya aku, suami, dan si kecil yang berusia hampir tiga tahun bisa berkumpul kembali dan tinggal bersama di sini—Prancis.
Di negeri yang minoritas muslim ini tidak ada seruan sahur melalui pengeras suara di masjid maupun ronda keliling; tidak ada keramaian anak-anak kecil di masjid saat tarawih; dan tidak ada pula tadarus berjam-jam melalui pengeras suara yang terkadang menentramkan hati dan terkadang membuat telinga gatal karena bacaannya yang keliru. Sebab jumlah masjid di setiap wilayah sangat sedikit, masih bisa dihitung jari.
What's On Fimela
powered by
Ramadan Jauh dari Kampung Halaman
Setiap hari kami harus mengecek aplikasi khusus muslim untuk melihat waktu sahur dan salat lima waktu. Kami juga melaksanakan salat lima waktu dan tarawih di rumah, karena jarak tempuh masjid terdekat adalah lima sampai sepuluh kilometer. Bangunannya pun tidak lebih besar dari masjid di Indonesia pada umumnya, ia lebih mirip seperti musala dan tak pernah sepi saat waktu salat tiba.
Karena negara ini memiliki empat musim, pergeseran waktu salat setiap hari menjadi lebih banyak dari pada di Indonesia. Pada awal Ramadan, waktu subuhnya adalah pukul setengah enam pagi dan waktu berbuka pukul setengah sembilan malam.
Di akhir Ramadan nanti, waktu subuhnya adalah pukul empat lebih seperempat pagi dan waktu berbuka pukul setengah sepuluh malam. Artinya, Ramadan kali ini umat muslim di seluruh Prancis menjalani puasa selama lima belas sampai tujuh belas jam. Bagiku hal ini memang cukup berat, apalagi ini adalah pengalaman pertama. Aku harus benar-benar mengatur waktu untuk aktivitas dan istirahat supaya seimbang. Jika tidak diatur dengan baik, maka akan berimbas pada kesehatan fisik dan tentunya akan menghambat ibadah puasaku.
Pagi hari selepas sahur dan melaksanakan salat subuh, aku dan suami bersama-sama membaca al-qur’an lalu membaca buku koleksi kami sembari menunggu makanan di perut tercerna dengan baik. Setelah berselang satu atau dua jam kami harus beristirahat selama dua jam.
Pengalaman yang Tak Terlupakan
Aktivitas lain baru kami mulai pukul sembilan pagi saat matahari sudah mulai meninggi dan hangat. Suami menyelesaikan tugas tesisnya, sementara aku memanfaatkan waktu untuk membersihkan rumah, bermain, dan belajar bersama si kecil. Saat waktu ashar telah tiba dan suami telah menyelesaikan tugasnya—pukul setengah enam sore—kami menuju taman kecil yang jaraknya hanya lima puluh langkah dari rumah, menikmati hangatnya senja dan segarnya udara tepian sungai Seine hingga pukul tujuh.
Setelah itu, barulah aku menyiapkan menu berbuka sekaligus sahur, sementara suami memanfaatkan waktu berkualitasnya bersama si kecil. Memang tidak mudah menjalaninya, tetapi selama bersama orang terkasih, semua akan terasa menyenangkan. Beribadah tidak melulu soal salat dan puasa, berbuat baik dan merawat keluarga juga merupakan ibadah yang disukai Allah. Kapan lagi menikmati suasana Ramadan di bumi bagian lain? Jika Allah menakdirkan sesuatu, tentu Dia juga menyiapkan kekuatan untuk hamba-Nya.
Di lingkungan tempat tinggalku, para imigran muslim masih cukup banyak, terutama dari Afrika. Setiap bulan Ramadan biasanya ada pasar takjil di beberapa titik wilayah seperti yang ada di Indonesia. Namun, pandemi Covid-19 yang tak kunjung berakhir membuat pemerintah terpaksa melarang kegiatan tersebut untuk mengurangi penyebaran virus, terutama di zona-zona merah. Meskipun begitu, aku bersyukur beberapa swalayan besar menyediakan produk dan layanan khusus bulan ramadan. Di swalayan tersebut terdapat lapak khusus produk-produk Ramadan; berbagai jenis kurma, kismis, dan kacang-kacangan yang disediakan di meja khusus; berbagai olahan daging sapi dan ayam; dan beberapa buah-buahan yang semua harganya lebih rendah dari pada bulan-bulan sebelumnya.
Menjadi minoritas saat menikmati bulan Ramadan di bagian bumi lain memang tak semeriah saat berada di kampung halaman. Tetapi, hal itu tidak membuat semangatku surut. Justru dari perbedaan yang cukup signifikan ini aku belajar menjadi pribadi yang lebih dewasa, kuat, sabar, dan mensyukuri betapa Allah Maha Kaya dengan segala ciptaan-Nya. Semoga kita mendapat keberkahan di bulan suci ini, dan semoga Allah mempertemukan kita kembali pada bulan suci berikutnya.
#ElevateWomen