Fimela.com, Jakarta Pada suatu pagi di bulan Oktober yang dingin, Kelly Perry dan suaminya berdiri di lobi rumah sakit anak-anak, menunggu dipanggil untuk akhirnya melakukan aborsi. Saat itu, Kelly hamil 23 minggu dan dunianya baru saja hancur.
Petugas kesehatan memanggil dan mengantarkan mereka kembali ke ruang tunggu khusus. Kelly dipanggil untuk janji pertamanya hari itu, MRI perut yang akan memakan waktu sekitar 1 jam dan karena pandemi, ia harus pergi sendiri, tidak boleh ditemani oleh sang suami.
Kelly berada di dalam tabung logam raksasa. Film sedang diputar di latar belakang untuk mengalihkan perhatian pasien dari kebisingan mesin dan Kelly yang telah melihatnya berkali-kali tetap merasa asing.
Sisa hari itu dipenuhi dengan kamera, kabel, dan ruangan gelap dengan layar yang terang. Perawatan ini invasif dan tidak nyaman, serta ada ketegangan yang tak terucapkan.
Lalu, Kelly dan suami berjalan perlahan ke ruang konferensi yang jauh. Tim yang terdiri dari dokter dan spesialis sangat cerdas yang semuanya perempuan menjelaskan apa yang mereka ketahui dan memprediksi apa yang mereka bisa lakukan tentang produser aborsi.
Kelly diberi tahu ia harus melakukan aborsi
Kelly menangis dan mengajukan pertanyaan, lalu duduk diam menunggu diberi tahu apa yang harus mereka lakukan. Melihat kesedihan dan kebingungan di wajah keduanya, salah satu dokter bertanya apakah Kelly ingin mengobrol berduaan dengan suaminya.
Kemudian, dokter itu memberi nasihat yang membuat Kelly yakin untuk maju. "Pikirkan, ulangi, bicarakan, dan buat keputusan, karena setelah Anda membuat keputusan dan sudah final, Anda tidak bisa kembali. Jangan mencoba menegosiasikan kembali masa lalu. Putuskan dan jangan pernah melihat ke belakang."
Mereka akhirnya yakin melakukannya. Keesokan harinya, Kelly dan suaminya berada di rumah sakit yang berbeda.
Mereka dipanggil kembali ke sebuah ruangan kecil dan berbaring di atas meja seperti sonogram lainnya. Seorang dokter dan asistennya seperti tidak menatap wajah Kelly atau mungkin begitulah rasanya.
Setiap hari kita hidup dengan keputusan yang dibuat, keputusan yang dicapai hanya setelah mengalami kesedihan yang tak terbayangkan dan membuat putus asa. Pada akhirnya, Kelly berpikir tentang apa yang akan ia pilih dalam kondisi lain dan dengan yakin mengatakan bahwa ia tidak akan memilih hidup penuh penderitaan untuk dirinya sendiri dan jelas orang lain.
Ya, pilihan Kelly untuk melakukan aborsi memang sangat menghancurkan, tapi setidaknya ada jalan cukup jelas baginya. Hal yang sama tidak berlaku bagi banyak perempuan lain yang sedang mempertimbangkan untuk melakukan aborsi, seringkali keputusan mereka dipersulit oleh faktor-faktor di luar kendali mereka.
Menurut Kelly, semua perempuan harus berani memilih dan memutuskan apa yang bisa membahagiakannya
Pada akhirnya, ini adalah pilihan Kelly, keputusan yang dibuat antara Kelly, suami, dan dokternya. Jika ada orang yang berpikir ini mudah atau menyenangkan untuk membuat keputusan yang tidak terpikirkan atau dibuat dengan tergesa-gesa, mereka salah.
Terlepas dari mengapa seseorang mengalami apa yang baru saja dialami oleh Kelly, mereka harus memiliki pilihan. Mereka memiliki hak.
Sekarang, sudah 5 bulan sejak aborsi tersebut dan Kelly asih menangis setiap hari. Ia belum kembali bekerja dan ia sedang menjalani terapi, meskipun ia tahu ia tidak akan pernah lagi menjadi dirinya yang sebelumnya.
Kamar bayi yang telah selesai masih tidak tersentuh, seperti kapsul waktu dari saat semuanya masih baik-baik saja dan ia tidak dapat menggambarkan rasa sakit yang sangat menyayat ketika ia masuk ke dalam ruangan tersebut. Kelly dan suaminya mulai tidak terlalu memikirkan apa yang telah terjadi dan lebih banyak memikirkan tentang apa yang akan terjadi selanjutnya.
Pandemi telah menjadi alasan yang tepat untuk tidak mencoba hamil lagi, namun akhirnya Kelly menemukan bahwa dirinya memang belum siap lagi. Kelly ingin memberi tahu kepada semua perempuan di luar sana, yang pernah atau sedang mengalami hal yang sama, bahwa tidak ada jawaban yang benar atau adil dari semua ini, mereka hanya harus berani untuk memilih dan memutuskan.
#Elevate Women