Penelitian Ungkap Fakta Gangguan Tidur Selama Covid-19

Anisha Saktian Putri diperbarui 19 Mar 2021, 11:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Masyarakat di kawasan Asia-Pasifik dan di seluruh dunia, mengalamisetidaknya satu atau lebih tantangan tidur sejak awal mula COVID-19, dengan hampir dua pertiga (62%) responden menyatakan pandemi telah berdampak secara langsung terhadap kemampuan mereka untuk tidur nyenyak. Apakah sahabat Fimela juga merasakan hal yang sama?

Temuan masalah tidur selama Covid-19 tersebut diumumkan oleh Royal Philips (NYSE: PHG, AEX: PHIA), melalui studi tidur tahunannya yang ke-6 bertajuk, “Seeking Solutions: How COVID-19 Changed Sleep Around the World”.

Studi tidur global Philips 2021 tersebut dirilis dalam rangka World Sleep Day 19 Maret 2021, masyarakat di APAC melaporkan bahwa mereka tidur lebih banyak, dengan rata-rata 7,2 jam per malam dibandingkan 7,1 jam pada studi di 2020, tetapi 1 dari 4 merasa tidak puas dengan tidur mereka.

Dr. Andreas Prasadja, RPSGT dari Snoring and Sleep Disorder Clinic di RS Mitra Kemayoran Jakarta, untuk mengungkap situasi kesehatan tidur di Indonesia. Telah terjadi perubahan komposisi masalah tidur pada pasiennya. Sebelum pandemi, 50 persen pasien yang datang mengalami insomnia, sementara 50 persen lagi sleep apnea.

"Sekarang, 70 persen pasien adalah pasien insomnia dan 30 persen sleep apnea,” jelas Dr. Andreas.

Padahal, dr. Andres mengatakan kurang tidur dapat mengakibatkan produksi hormon stress yang meningkat, sehingga melemahkan sistem imun tubuh. Selain itu, bisa juga menyebabkan pembengkakan pada tubuh. Karenanya, mendapatkan tidur berkualitas menjadi lebih penting lagi di tengah pandemi ini.

Lalu apa saja fakta seputar gangguan tidur di masa Covid-19? Berikut ulasannya.

 

2 dari 3 halaman

Masyarakat di Asia-Pasifik menghadapi hambatan untuk dapat tidur nyenyak tiap malam

Dampak Covid-19 mengakibatkan gangguan tidur/dok. Philips

Bagi setengah dari responden survei di APAC, pola tidur mereka telah berubah Ketikapandemi melanda – hampir seperempat 22 persen menyatakan bahwa waktu tidur malam merekaberkurang setiap malam, dengan hanya 35 persen mengaku merasa cukup istirahat ketika bangunpagi, dan 44 persen mengalami kantuk di siang hari.

Mendapatkan tidur yang nyenyak hingga pagi merupakan tantangan bagi banyak orang. Responden studi mengalami kesulitan seperti terbangun di tengah malam 42 persen, kesulitan tertidur 33 persen, dan sulit untuk tetap tertidur 26 persen. Kekhawatiran dan stres menjadi alasan utama mengapa orang dewasa di APAC kurang tidur 21 persen, disusul oleh penggunaan gawai seperti ponsel dan tablet 17 persen serta lingkungan tidur 16 persen.Masyarakat di Asia-Pasifik yang kerap terjaga akibat kekhawatiran/stress, mengatakan bahwa hal yang paling mereka khawatirkan adalah masalah finansial 54 persen, tanggung jawab pekerjaan 52 persen, kesehatan diri dan keluarga 38 persen, dan kondisi keluarga secara umum 34 persen.Hampir setengah 43 persen juga khawatir dengan pandemi COVID-19 yang masih berlanjut.

3 dari 3 halaman

Penggunaan ponsel berakibat kebiasaan tidur yang tidak konsisten

Ilustrasi Mendapat Mimpi Buruk Credit: pexels.com/pixabay

Bagi yang terbiasa menggunakan ponsel di tempat tidur, 50 persen menyatakan bahwa itu adalah hal terakhir yang dilakukan sebelum tertidur dan pertama setelah terbangun (51%). 49 persen menggunakan untuk hiburan, 37 persen mengisi daya ponsel semalaman persis disamping tempat tidur, dan 22 persen bahkan menjawab pesan dan panggilan telepon yang membuat mereka terbangun.

78 persen responden yang menggunakan ponsel sebelum tertidur mengaku bahwahal itu menyebabkan mereka tertidur lebih larut dari waktu yang seharusnya, 75 persen akibat scrolling media sosial, 67 persen menonton video, 39 persen mengecek email, 37 persen berbalas pesan, 45 persen  membaca berita terkait pandemi COVID-19.

“Pandemi ini telah mengubah kehidupan sehari-hari kita, termasuk kebiasaan tidur kita.Banyak orang tidak mendapatkan tidur yang cukup dan berkualitas di malam hari karena berbagai tantangan, mulai dari stress masalah keuangan, tekanan dari keluarga, koneksi internet yang tidak stabil, bekerja dari rumah, hingga membantu anak sekolah online,” papar Pim Preesman, Presiden Direktur Philips Indonesia.

#elevate women