Seribu Cinta Seorang Guru, Berharap Pandemi Segera Berlalu

Endah Wijayanti diperbarui 04 Jul 2021, 13:10 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.

***

Oleh:  Anna Fitri

Decit rem minibus memecah keheningan pagi. Aku turun perlahan seraya mengucapkan terima kasih pada pak sopir yang telah mengantarkanku dari rumah menuju sekolah. Jarak tiga puluh kilometer kutempuh hanya dalam waktu tiga puluh lima menit. Melewati jalan menanjak dan berliku, sungguh suatu perjuangan yang menguras energi. Untunglah ada minibus bertuliskan Lintas Bukit Barokah dengan Pak Paeran Diponegoro sebagai sopirnya, yang setia mengantarku setiap pagi.

Minibus berlalu meninggalkan asap tipis. Bersabar kutunggu jalanan lengang untukku menyeberang. Masih lekat dalam ingatanku Pak Wagimin staf tata usaha sekolah kami patah kaki karena diterjang pengendara motor yang kumat hipertensinya. Waktu itu Pak Wagimin sedang menyeberang di zebra cross ini, zebra cross yang setiap pagi kuseberangi. Untunglah jalanan belum terlalu ramai sehingga aku bisa menyeberang dengan tenang.

Gerbang sekolah masih tertutup, namun tidak terkunci. Kubuka dengan mengerahkan segenap energi. Untung sudah sarapan nasi. Sarapan nasi adalah hal wajib bagiku. Jika belum sarapan nasi, resah rasanya. Maklum, orang Jawa, susah berpisah dengan nasi. Meskipun gaya hidup kekinian adalah mengurangi asupan nasi, tetapi aku belum bisa. Biarlah, syukuri apa yang ada. Toh latar belakang keluarga mertuaku petani. Jadi aneh rasanya kalau aku menjauh dari produk olahan dari tumbuhan bernama ilmiah Oryza sativa itu.

Melewati gerbang sekolah, aku berpapasan dengan penjaga malam yang akan kembali ke rumah setelah menunaikan tugas menjaga sekolah semalaman. Kami sama-sama tersipu malu. Dia malu karena belum mandi, dan aku malu karena sudah sampai sekolah di pagi buta. Pasti pak penjaga malam itu berpikir, istri dan ibu macam apa aku, pagi buta sudah meninggalkan rumah. Suami dan anak sarapan apa? Tapi semoga itu hanya kekhawatiranku saja. Semoga pak penjaga malam tidak berpikir seburuk itu padaku.

Setelah mencuci tangan di kran air terdekat, kusapa barisan pinus dengan dedaunan jarumnya, kelompok pohon jambu mete yang baru tumbuh metenya namun belum tumbuh jambunya, dan beberapa pohon palem putri yang tampak berat menyangga buah cantiknya yang lebat. Mereka berbaris dengan gagahnya di sisi jalan utama masuk sekolahku. Tak lupa kusapa juga tanaman bunga pukul delapan yang berbunga indah ketika jam menunjukkan pukul delapan pagi, namun selepas itu dia menguncup lagi, kalem, tidak menarik perhatian sama sekali. Sungguh tumbuhan yang humble. Cantik, namun tidak mau menyombongkan kecantikannya.

Kulirik juga deretan pohon pucuk merah yang seakan menyambut para tamu dengan ramahnya, walaupun beberapa bulan terakhir mereka menganggur, karena sekolah kami sepi pengunjung. Memasuki lobi sekolah, kuucapkan salam keras-keras, karena aku tahu mas Wasiyo sedang bersih-bersih di dalam sana. Lalu aku presensi sesuai aturan. Kutulis nama dan tanda tanganku di baris teratas. Pukul 06.03 WIB. Wow... pantas aku nomor satu. Sejak kecil aku memang terbiasa datang awal. Tertib, disiplin, kaku. Itulah aku. Tapi dengan catatan kalau ingat dan harus sudah sarapan nasi. Hihihi.

Sebelum memasuki ruang guru, ucapan salam selamat pagi good morning mengagetkanku. Mas Wasiyo sedang mengepel tangga. Tangga menuju ruang pertemuan di lantai dua adalah salah satu spot favorit kami. Di setiap anak tangga itu tertulis kata-kata motivasi, yang diharapkan akan tertanam pada diri siswa kami. Kata-kata yang tertulis antara lain : stay humble, give more, live simply, keep your promise, believe in yourself, smile more, be thankful, love often, worry less, think positively. Kata favoritku adalah stay humble. Rendah hati. Ya, rendah hati seperti aku. Aku memang harus rendah hati karena aku tidak punya apa-apa yang bisa dibanggakan. Ternyata rendah hati dan rendah diri hanya beda tipis ketika diterapkan pada diriku.

Aku memasuki ruang guru yang masih sepi. Segera kubuka lapakku. Handphone andalan dengan chargernya, laptop kesayangan beserta chargernya juga, daftar hadir siswa, serta berbagai alat tulis segera memenuhi mejaku. Beberapa menit berselang teman-temanku datang satu per satu. Berbagi salam tanpa berjabat tangan. Tawa canda penuh keceriaan di pagi yang bersemangat. Sama-sama berusaha membangkitkan dan menjaga mood kerja, seperti pesan Dory Harsa kepada Nella Kharisma di salah satu lagunya.

Kepala Sekolah, guru senior, guru junior, ASN, tenaga bantu, pegawai Tata Usaha semua hadir tepat waktu. Setelah berdoa bersama, ruang guru berangsur senyap. Seisi ruang guru sibuk dengan laptop dan handphonenya, mulai membuka kelas maya, menyapa para siswa nun jauh di sana. Mengajar jam pertama sungguh penuh tantangan. Kadang siswa belum siap, belum mandi, belum sarapan, baru disuruh mencuci baju, mengasuh adik, atau bahkan belum bangun tidur.

Grup kelas maya, voice note, virtual meet menjadi jembatan cintaku kepada siswa-siswaku. Berharap koneksi internet kami sama-sama lancar. Tanpa koneksi internet yang lancar, semua persiapan pembelajaran yang sudah dirancang akan sia-sia. Sama halnya ketika belajar secara bertatap muka dengan mereka, tanpa chemistry antara aku dan mereka, materi pelajaran tidak akan tersampaikan dengan baik.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Merindukan Suasana Mengajar di Kelas

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/mangpor2004

Kadang terjadi hal-hal lucu. Salah kamar contohnya. Seharusnya masuk grup kelas XII MIPA 1 malah keliru masuk XII MIPA 2. Malah kadang malah salah masuk ke grup Ibu-ibu dasawisma RT. Duh... malunya sampai ke ubun-ubun.

Tak jarang kumat usilku, menanyakan siswa sarapan apa kemudian pamer hasil masakanku. Kadang memberikan tugas konyol kepada siswa untuk sekadar menghilangkan kebosanan. Kadang siswa kuhubungi secara pribadi. Kalau sudah kuhubungi secara pribadi mereka kaget dan bertanya, “Ada apa, Bu?” Kujawab, “ Tidak ada apa-apa.” Mereka lega. “Ooh.... kirain ada apa.“ Hahaha... mereka takut ditagih mengumpulkan tugas.

Tapi tak jarang ada siswa iseng. Ketika kuhubungi pribadi, dia jawab, “Kangen ya, Bu?” Kujawab, “Banget, tapi kangennya sama tugasmu. Mana tugasmu, segera kumpulkan!” Haha.

Ada juga ketika aku memberi semangat kepada seorang siswa, “Semangat ya Nak!” Dia jawab, “Terima kasih. Ibu juga semangat ya biar jadi presiden!” Aku kaget. “Hah? Kok presiden? Presiden apa yang cocok buat Ibuk?” Dia jawab, ”Presiden Swedia, soalnya Ibuk sweet banget!” Hahaha....digombalin siswa. “Hush... rayuan gombalmu tidak mampu menggantikan tugas-tugasmu yang belum terkumpul. Cepat kumpulkan tugasmu!”

Ah, betapa aku merindukan bertemu dengan siswa-siswaku. Di mana kalian, Nak? Kapan kalian bisa ke sekolah lagi?

Setahun sudah sekolah ini sepi. Hanya guru dan karyawan yang ada di sini. Tidak ada kalian. Saat ini memang aku bisa menjumpaimu lewat dunia maya. Tetapi sangat berbeda rasanya. Kelas-kelas kalian kosong tak berpenghuni. Perpustakaan dan laboratorium merana dalam keheningan. Sungguh menyedihkan.

Memberikan materi ajar hanya lewat media online betul-betul menyiksa. Berbagai platform pembelajaran tidak mampu sepenuhnya menjembatani curahan kasih sayangku kepada kalian. Berbagai platform pembelajaran yang modern dan canggih itu hanya mesin yang dingin dan kaku. Tidak sehangat interaksi langsung antara kami dengan mereka, para siswa. Ternyata benar kata Dilan, bahwa rindu itu berat.

Sekolah yang senyap. Sesenyap hati ini. Masjid sekolah yang longgar menjadi tempat pelarian gundah kami. Bermunajat kepada Sang Pemilik Kehidupan ini, supaya berkenan segera mengakhiri ujian Pandemi Covid-19 ini. Allah yang kuasa menciptakan virus corona, organisme peralihan antara makhluk hidup dan tak hidup. Allah pula yang kuasa menghilangkan makhluk parasit obligat itu.

Tiba-tiba terngiang lagu Andmesh Kamaleng. “Bukannya diri ini tak terima kenyataan. Hati ini hanya rindu.” Ya, semoga getar cinta dan kerinduanku ini sampai kepadamu, Anak-anakku. Dan semoga rindu ini dapat membangkitkan semangat baru, menyambut hari baru yang insya Allah akan lebih baik.

#ElevateWomen