Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
***
Oleh: Fanny Anggraeni
Malam selalu menjadi waktu yang istimewa bagiku. Waktu yang tepat untuk merenung tentang diri sendiri, keluarga kecilku bersama suami dan anak, juga semua hal yang Pencipta izinkan terjadi dalam kehidupan, terutama dalam satu hari yang telah dijalani.
Suatu ketika, memandang wajah suamiku dalam tidurnya, membuatku bertanya, “Tuhan, kebaikan apa yang telah aku lakukan hingga Engkau memberikan seseorang yang begitu mencintai istri yang memiliki banyak kekurangan sepertiku?” Tak terasa air mata pun mengalir. Mengembalikan ingatanku pada kejadian di masa lalu yang pernah membuat aku berpikir untuk tidak akan pernah terikat dalam sebuah pernikahan.
Saat masih menduduki bangku sekolah menengah atas, aku pernah melantukan permintaan dalam sebuah doa, memohon pada-Nya untuk memberikan jodoh yang adalah pacar pertama dan terakhirku. Mengingat saat itu aku belum pernah menjalin kasih dengan pria manapun.
Hingga sampai di bangku universitas, beberapa kali kenal dan dekat dengan lawan jenis tidak serta merta membuat aku yakin bahwa mereka adalah jodohku. Pada suatu hari ada momen saat kami dipertemukan untuk sama-sama menjadi panitia dalam sebuah acara di kampus.
Obrolan kami tidak lebih dan tidak kurang seputar tugas-tugas sebagai panitia. Satu bulan berlalu sejak acara kampus selesai, dia mulai intens berkomunikasi denganku melalui sebuah pesan/chat, mulai mengikuti akun media sosialku, bahkan pernah mengirimiku sebuah rekaman dirinya yang bernyanyi seolah memberikan semangat saat aku berkata bahwa moodku sedang tidak baik karena suatu hal. “How sweet you are," pikirku saat itu.
Dunia Pernikahan
Bulan Mei tahun 2012, hari itu kami resmi “mengikat hubungan”. Pria ini mulai mengajakku untuk berkomitmen. Dia mengatakan bahwa aku adalah wanita pertama yang didoakan untuk menjadi pasangan hidupnya.
Dia jujur bahwa yang dicari adalah sosok kekasih yang juga akan menjadi pendamping hidupnya kelak. Tidak dapat dipungkiri, dari rasa yang tidak lebih dari sekedar teman, mulai muncul menjadi rasa sayang yang menggebu-gebu. Namanya pun sudah menjadi keharusan untuk selalu kusebut dalam doa. Seiring berjalannya waktu menjadi sepasang kekasih, membuat kami sama-sama belajar menerima kekurangan dan kelebihan satu sama lain. Lebih tepatnya dia yang begitu menerima banyak kekuranganku.
Titik saat aku melihat secara langsung pertengkaran hebat kedua orangtuaku. Seorang ayah yang menikahi ibu dengan berlandaskan cinta, kemudian dengan mudahnya juga melayangkan tangan mengenai bagian tubuh ibuku.
Tidak terhitung berapa jumlah piring yang sudah hancur lebur karena dilempar saat itu, pintu kamar yang bolong karena ditendang ayah yang berlaku seperti orang tidak sadar. Marah, kalut, dan kecewa bercampur aduk dalam diriku. Menangis, hanya itu yang bisa aku lakukan sembari memeluk ibuku.
Ternyata bukan sekali dua kali ayah bersikap kasar dan itu dilakukannya saat tidak ada anak-anaknya di rumah. Ayahku pergi dengan membawa rasa emosinya yang entah karena apa bisa membuat dia begitu gelap mata. Aku ingat perasaan sesak itu yang membuatku berucap dalam hati untuk tidak akan pernah mau menikah. Aku sangat takut aku trauma melihat seorang suami yang bersikap kasar pada pasangannya.
Kejadian itu rupanya membawa dampak yang cukup besar terhadap hubunganku. Aku menjadi pribadi yang mudah curiga, mudah takut, dan mudah marah tanpa sebab atau jika karena kesalahan kecil, bisa diluapkan dengan emosi yang berlebihan. Seringnya aku mudah menangis di depan pasanganku. Aku sadar hal seperti itu hanya akan menyakiti hati pria yang tulus mencintaiku.
Aku memberitahukan kondisi kedua orangtuaku padanya. Mengatakan dengan jujur bahwa aku tidak bisa percaya lagi dengan laki-laki manapun. Aku memintanya untuk mengakhiri hubungan kami. Aku tidak ingin ia menghabiskan sisa hidupnya dengan wanita yang salah satu orangtuanya memiliki sifat temperamen.
Aku takut dalam diriku mewarisi sifat itu. Oh Tuhan, bahkan saat mengetik ini pun aku ingin menangis membayangkan kejadian menyakitkan itu. Aku benar-benar trauma. Bagaimana tidak, bayangan pernikahan dalam benakku adalah dua manusia yang saling mencintai dalam keadaan apapun bukan hanya satu pihak yang memiliki rasa paling mencintai dan yang lainnya mampu dilukai.
Kesedihan dalam hati sebagai anak perempuan yang melihat perlakuan kasar ayah terhadap ibu membuatku ragu apakah ada cinta yang benar-benar tulus di dunia ini selain dari cinta Sang Pencipta terhadap ciptaan-Nya? Mungkin pertanyaan itu akan terjawab saat benar-benar ada seseorang yang membuktikan bahwa cinta bukan sekadar untaian kata-kata tapi nyatanya terwujud dalam perbuatan. Dan seiring berjalannya waktu, cinta yang kuat dari ibuyang dengan kebesaran hatinya mau membuka pintu maaf untuk ayahku membuatku belajar bahwa cinta hadir bukan untuk balas menyakiti tetapi menjadi “obat” untuk membasuh lukabatinmu yang terdalam sekalipun.
Menjaga Cinta dan Pernikahan
Ibuku mengatakan bahwa aku tidak perlu takut saat menjalin hubungan dengan seorang pria, apalagi jika sudah yakin bahwa ia adalah sosok yang tepat untuk menjadi calon kepala keluarga. Nasihat ibu yang terus aku ingat bahwa cinta harus dipupuk setiap saat supaya ketika mulai terasa layu, ia tidak akan hilang apalagi sampai tak bersisa. Lagipula tak seharusnya aku menyamaratakan pasanganku kelak akan memiliki sifat dan sikap yang sama dengan sosok ayahku.
Ketulusan hati, perhatiannya, dan waktu yang diberikan dari pria ini saat aku melalui berbagai waktu terburuk dalam kehidupanku, membuat hati luluh untuk tetap mempertahankan hubungan kami. Dia tidak pernah mengiyakan permintaanku untuk mengakhiri semuanya. Dia justru mengajariku bagaimana bentuk cinta yang sebenarnya.
Mengasihi tanpa kenal lelah, mengampuni saat dilukai, belajar menerima keadaan pasangan saat tidak baik sekalipun. Dengan keyakinan itulah, diri ini siap menerima ajakannya berumahtangga di Agustus 2018. Menginjak tahun ketiga pernikahan dan telah dikarunia seorang anak, membuat kami terus belajar untuk memupuk cinta terutama sebagai orang tua. Betapa aku bersyukur atas kehadiran suamiku, menjalani peran sebagai seorang bapak sekaligus memiliki tanggungjawab sebagai pekerja kantoran, saat sudah larut malam tiba di rumah, dia melihatku masih menggendong anak kami, setelah membersihkan diri dan mengisi tenaga dengan makanan yang aku masak untuknya, dia masih menawarkan bantuan untuk bergantian menggendong putri kecil kami dan menyanyikan lagu tidur untuknya hingga dia tertidur lelap. Itu hanya satu contoh dari sekian banyak hal lain yang dilakukan suamiku untuk keluarga kecil kami.
Tidak ada manusia yang sempurna, begitu pun dengan suamiku. Tetapi sejauh aku mengenalnya, aku merasa dia adalah salah satu malaikat yang penuh cinta yang Tuhan kirim untukku. Sedari masa kami pendekatan, merajut hubungan dalam bentuk berpacaran, sampai pada berkomitmen seumur hidup dalam pernikahan, saat aku sedang mengandung, setelah anak kami lahir ke dunia, sampai dengan detik ini, dia selalu berusaha melakukan yang terbaik dan aku melihat hal itu sebagai bentuk cintanya pada kami, anak dan istrinya.
Sepenggal kalimat darinya yang tertanam di pikiranku, "Aku ini adalah milik Tuhan, begitu pun kamu. Jika aku menyakiti kamu itu sama dengan aku menyakiti ciptaan-Nya dan aku tidak mau Tuhan berduka karena hal itu. Dunia ini harus dipenuhi dengan orang-orang yang penuh cinta. Aku mencintaimu karena Tuhan lebih dahulu mencintai aku."
Aku mencintaimu, suamiku. Terima kasih karena sudah mencintaiku sebagaimana kamu ingin belajar mengasihi pasanganmu sesuai dengan ajaran Sang Pencipta. Terima kasih untuk kesabaranmu yang tidak ternilai, untuk lelahmu mencari nafkah, untuk selalu berusaha menggapai cita-cita kita supaya suatu saat bisa memiliki rumah sendiri, untuk tenagamu yang merawat saat aku sakit, dan banyak lagi hal yang ingin aku lakukan hingga kita menua bersama dan menikmati sore sambil bermain dengan para cucu.
Jika suatu hari tulisan ini terbaca oleh kedua matamu, aku ingin engkau mengetahui bahwa air mata yang menetes malam ini adalah air mata bahagia yang penuh dengan rasa syukur karena aku diizinkan Tuhan dan semesta untuk dicintaimu tanpa syarat.
#ElevateWomen