Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
***
Oleh: Vianelda Loretta Liyn
Tak pernah terbayangkan bahwa kisah cintaku akan terhalang gara-gara masalah bibit bebet bobot. Aku pernah membaca tentang apa itu bibit bebet bobot tapi aku pikir di zaman ini sudah tidak berlaku lagi. Kalaupun ada, mungkin hanya di beberapa daerah (desa kecil) yang masih menganut prinsip itu. Ternyata aku salah.
Oya, aku bertemu dengan suamiku saat kami kuliah di salah satu universitas di Bandung. Suami berasal dari Solo sedangkan aku dari Kupang, Nusa Tenggara Timur. Dilihat dari asal daerah masing-masing, jelas bahwa ada perbedaan yang mencolok di antara kami baik dalam karakter maupun kebiasaan. Tapi akhirnya kami merasa cocok dan memutuskan untuk menjalin cinta.
Di tahun kelima, secara resmi aku diperkenalkan dengan keluarga dari suami (mereka tinggal di Tangerang). Waktu itu kami sudah selesai kuliah dan aku bekerja di Jakarta sedangkan suami di Tangerang. Ternyata keluarga dari pihak suami tidak mendukung tali kasjh di antara kami dengan alasan bibit bebet bobot tadi. Suami adalah anak bungsu dari enam bersaudara dan kelima kakaknya telah menikah dengan pasangannya yang juga satu suku.
Tentu saja aku merasa sedih sekali. Hubungan kami sudah cukup lama dan pihak keluargaku sudah setuju. Mereka berharap aku segera menikah. Aku tidak menceritakan alasan yang sebenarnya kenapa kami belum juga menikah ke keluargaku. Aku hanya bilang belun waktunya saja. Sampai tahun ketujuh, aku kembali ditanya kapan menikah. Masalahnya dua adik perempuanku telah menikah dengan pasangan pilihannya. Wajar saja mereka bertanya demikian mengingat hubungan kami sudah lama sekali.
What's On Fimela
powered by
Meluluhkan Hati Keluarga Kekasih
Aku tetap tidak memberi tahu keluarga tentang belum ada restu dari keluarga suami sehingga kami belum juga menikah. Sampai suatu ketika Mama meneleponku dan mendesakku untuk jujur. Akhirnya aku menceritakan ke mama semuanya. Sebagai seorang ibu, mama tetap memberi semangat dan menasihatiku agar aku tetap berusaha untuk mendapatkan restu dari keluarga suami: ORA ET LABORA (berdoa dan bekerja/berusaha).
Singkat cerita, mulai tahun kedelapan, aku memutuskan untuk mengunjungi keluarga suami setiap Sabtu atau hari libur. Awalnya aku merasa bahwa kehadiranku tak disukai walaupun sikap mereka tidak kasar. Tapi aku tetap pada komitmenku untuk mengunjungi mereka tiap kali ada hari libur.
Aku juga mulai bersikap lebih supel (biasanya jarang bicara kalau tidak ditanya mereka),belajar tentang kebiasaan mereka dan mencari tahu kesukaan mereka. Lambat laun, sikap keluarga suami mulai berubah. Aku mulai merasa bahwa mereka menerima kehadiranku dengan senang hati. Suasana pertemuan kami yang dulunya kaku, sekarang menjadi menyenangkan.
Akhirnya di tahun kesepuluh kami mendapatkan restu dan kami menikah. Syukur pada Tuhan, semua acara berjalan dengan lancar dan aku bahagia sekali melihat senyuman Mama dan Papa yang datang ke Jakarta menghadiri pernikahan anak perempuan pertama mereka.
Aku jadi ingat peribahasa sekeras-kerasnya batu, jika tertimpa hujan terus-menerus akan retak/hancur juga. Mungkin bisa diasosiasikan dengan perjalanan cintaku bahwa sekeras-kerasnya hati keluarga suami, dengan kesabaran dan usaha yang dilakukan dengan tulus hati akan meluluhkan hati yang keras itu. Bagi siapa pun yang mengalami hal yang sama dengan aku, tetap berjuang dan jangan menyerah.
#ElevateWomen