Fimela.com, Jakarta Bisnis kopi memang sangat populer beberapa waktu belakangan. Saat ini, kopi tidak hanya jenis minuman yang cuma bisa dinikmati orang-orang tertentu saja, namun sudah menjadi gaya hidup dari banyak orang, apakah kamu salah satunya, Sahabat FIMELA?
Diary Fimela kali ini berkenalan dengan Agung, founder sekaligus owner dari kedai kopi Couvee. Jika kamu adalah orang Jogja atau sering bepergian ke Jogja, mungkin nama Couvee sudah tidak asing lagi.
Ya, Couvee hadir pada tahun 2017 dalam bentuk kedai kecil di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sejak awal kemunculannya, Couvee sudah menarik minat masyarakat Jogja, terutama mereka yang memang penikmat kopi.
Agung sendiri adalah penikmat kopi. Awalnya ia bekerja di Jakarta sebagai IT di salah satu e-commerce besar.
Keputusan Agung untuk pulang ke Jogja adalah karena ingin membangun bisnis sendiri, di mana ia bisa memiliki lebih banyak waktu untuk keluarga. Kebetulan di saat yang sama, seorang sahabat dekatnya yang bernama Patrick juga memutuskan untuk pulang ke Jogja.
"Jadi, kita memutuskan untuk jalanin bisnis bareng, tapi waktu itu belum ketemu mau bisnis apa, kita cari lewat internet. Tadinya, mau bisnis IT, tapi kita tahu kalau IT cash-flownya itu nggak bagus," cerita Agung ketika dihubungi oleh Tim FIMELA.
Agung dan Patrick kemudian melirik bisnis yang sedang menjadi trend di Jakarta sekitar tahun 2017. Jika kamu ingat, di tahun 2017, bisnis kopi memang sedang sangat naik daun, salah satunya yang paling populer pada saat itu adalah Kopi Tuku.
Pemasaran dan branding Couvee berbeda dari bisnis kedai kopi lainnya
"Yaudah, akhirnya kita coba juga untuk buka kedai kopi, karena aku kebetulan juga penikmat kopi, waktu di Jakarta juga suka nyobain kopi di mana-mana. Waktu itu, Jogja ini belum punya kopi kayak Kopi Tuku, jadi kiblat kita sebenarnya adalah menghadirkan rasa seperti Kopi Tuku, tapi bisnisnya kita ingin seperti Starbuck yang bisa bertahan sangat lama, dengan harga yang jauh lebih terjangkau."
Ya, saat itu, Agung dan Patrick tidak sehari dua hari melakukan riset sebelum akhirnya membuka kedai kopi Couvee. Mereka melakukan survei ke kafe-kafe untuk melihat apa yang orang-orang beli ketika nongkrong.
Mengapa kiblatnya harus Kopi Tuku? Karena selain pionir dalam menghadirkan kopi susu, Agung juga melihat kesempatan besar saat itu, ketika ia tahu bahwa masyarakat Jogja memang lebih menyukai kopi dengan rasa yang manis dan di Jogja belum banyak pilihan kedai kopi yang menghadirkan kopi dengan rasa manis.
Akhirnya, di bulan April 2017, kedai kopi Couvee yang pertama dihadirkan dengan konsep takeaway. Tim FIMELA ingat saat itu memang kedai Couvee yang pertama sangat kecil, sehingga orang-orang terbiasa membeli kopinya untuk dibawa pulang.
"Di kedai pertama kita dulu memang brandingnya takeaway. Kita ingin orang-orang itu beli kopi kita lewat ojek online. Jadi, dulu kita sering kasih promo kalau beli online, sedangkan kalau beli langsung di kedai, harganya normal."
Agung mengakui bahwa tantangan terbesarnya saat itu adalah membuat masyarakat memahami bahwa kopinya bukan kopi biasa. Bahwa di Couvee, semua bahan ditimbang dengan seksama.
"Makannya, IG kita (@couvee.idn) itu kontennya adalah tentang produk kita, tentang kopi kita, bukan menunjukkan tempat, karena kita ingin orang itu punya pengetahuan tentang kopi kita."
Mimpi dan kerja keras Agung dan Patrick dalam menjalankan dan mempertahankan bisnis kedai kopinya sampai sekarang
Usaha yang tidak sia-sia. Walaupun pada awalnya, orang-orang banyak yang lebih menyukai menu Couvee yang non-kopi, yaitu Red Velvet, Agung dan Patrick terus berusaha mengedukasi penikmat kopi mereka tentang kopi-kopi yang dihadirkan di Couvee, salah satunya dengan menghadirkan menu Java.
"Kopi Java di Couvee itu dulu yang nolongin kita ngenalin ke orang-orang bahwa menu kopi di Couvee itu enak. Dari Java itu orang-orang baru mulai banyak yang beli menu kopi kita."
Sampai saat ini, Agung dan Patrick sudah membuka 5 kedai Couvee; 4 di Jogja dan 1 di Jakarta Barat. Dalam beberapa waktu ke depan, keduanya sedang fokus untuk membuka kedai baru di kota lainnya, di luar Jogja dan Jakarta.
Mungkin Sahabat FIMELA juga penasaran, bagaimana cara Agung dan Patrick bisa bertahan dengan sangat baik di tengah persaingan bisnis kopi yang masih sangat ramai saat ini. Menurut Agung, kuncinya adalah tidak hanya sekedar melihat dan mengikuti trend, tapi juga harus memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan pasar.
"Jujur, kalau sekarang lihat bisnis kopi di Jogja ini lebih mengandalkan tempat. Nah, untuk bisnis, memang kita harus pandai melihat trend, melihat kesempatan, membaca bisnis apa yang kira-kira bisa berumur panjang. Lalu, harus bisa beradaptasi dengan perilaku pasar. Dulu, kopi yang laris itu kopi pahit, lalu beralih ke kopi manis dan rasa yang unik-unik. Sekarang, sudah mulai balik lagi ke kopi pahit."
Keputusan untuk pulang ke kampung halaman, mimpi memiliki bisnis sendiri, serta kerja keras Agung dan Patrick yang berbuah manis tentu bisa menjadi inspirasi bagi semua Sahabat FIMELA yang memiliki keinginan sama. Mengapa tidak dimulai dari sekarang?
"Kalau ditanya lebih enjoy mana dulu waktu masih bekerja kantoran dan sekarang ketika sudah punya bisnis sendiri, ya jelas sekarang. Sebenarnya bukan cuma masalah penghasilan, tapi ya itu, sesuai dengan keinginanku waktu pulang ke Jogja dulu, sekarang aku punya waktu yang fleksibel, bisa aku habiskan untuk keluarga dan diri sendiri," tutup Agung di akhir wawancara dengan Tim FIMELA. Bagaimana menurutmu, Sahabat FIMELA?
#Elevate Women