Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
***
Oleh: Jennifer Ronaldi
“Aku akan menjadi CEO dan memimpin perusahaan besar!” begitulah cita–citaku sedari kecil. Aku adalah seorang wanita yang ambisius dan bertekad kuat untuk mengejar mimpiku. Seorang individu yang pantang menyerah dan bersemangat untuk menjadi yang terbaik dalam bidang apapun. Aku selalu rajin dan belajar dengan keras, sehingga selalu menjadi juara kelas. Kegigihan dan kemauanku yang keras akhirnya menghantarkanku memperoleh kesempatan masuk perguruan tinggi di Amerika Serikat.
Ketika mendapatan pengumuman bahwa aku diterima pada salah satu universitas di Amerika Serikat, aku berteriak dan melonjak kegirangan. “Ini artinya aku semakin dekat dengan mimpiku!” kataku mengucap syukur.
Perjuanganku belajar keras selama ini tidak sia–sia. Meskipun begitu, hatiku tetap merasa berat karena harus pergi jauh dari orang tuaku dan saat itu komunikasi antar negara sulit karena belum tersedia internet. Namun, aku berjanji kepada mereka bahwa sepulang dari Amerika, aku akan membuat mereka bangga dengan menjadi seorang yang sukses.
Selama menempuh pendidikan di Amerika, kebiasaanku rajin belajar tidak padam. Aku merupakan murid yang tekun dan selalu berhasil mendapat nilai yang memuaskan sehingga berhasil masuk dalam buku Dean’s List. Buku tersebut berisikan nama–nama mahasiswa seluruh Amerika yang memiliki prestasi akademik diatas rata-rata. “Tunggulah aku, mama dan papa, selangkah lagi impianku akan terwujud!” ucapku di dalam hati. Aku tidak menyia-nyiakan hasil kerja keras orangtuaku yang telah memberikan kepercayaan padaku untuk bersekolah di luar negeri.
Aku sangat fokus pada studiku sehingga urusan percintaan luput dari perhatianku. Tiba–tiba, ketika aku sedang belajar di perpustakaan, seorang pria berbeda kebangsaan menawarkan tumpangan untuk pulang bersama. Aku dengan spontan mengiyakan saja, toh aku tidak ada perasaan apa–apa dengan pria ini. Aku juga tidak mau memiliki hubungan romantis karena akan memecah konsentrasiku di bidang akademik.
Beberapa hari setelah mengajakku pulang bersama dengan mobilnya, dia memintaku mengajarkan naik transportasi umum. Aku pun dengan senang hari membantunya serta menasehatinya untuk mengunakan transpotasi umum agar lebih hemat. Ternyata oh ternyata, pria ini memiliki nilai akademik yang lumayan mengkhawatirkan. GPA atau IPK nya saja di bawah 3, sehingga terancam tidak lulus. Sebagai orang yang suka menolong, aku selalu mengingatkannya untuk belajar dan mengajaknya untuk belajar bersama. Aku juga tidak berhenti–henti untuk memberitahunya untuk selalu bersyukur karena dia adalah sosok yang beruntung bisa bersekolah di luar negeri dan berlatih hidup sederhana karena pria ini termasuk pribadi yang cukup boros.
Usaha dilandaskan semangat yang membara berhasil menghantarkan kami berdua lulus tepat waktu. Di saat acara kelulusan, pria ini bertemu dengan kedua orangtuaku dan kami sekeluarga pergi travelling bersama–sama. Setelah itu, kami pun pulang ke negara masing–masing, aku pulang ke Malaysia dan pria tersebut kembali ke Indonesia. Komunikasi antar kami bisa dikatakan hampir putus karena saat itu telepon antar negara biayanya mahal dan aku fokus meniti karir. Aku ingin cepat–cepat untuk mewujudkan mimpiku sebagai CEO perusahaan, sehingga urusan percintaan menjadi prioritas terakhir.
Di sisi lain, pria itu terus menerus menghubungiku dan mengajakku untuk bertemu. “Huh, bikin kesal saja!” jawabku ketus.
Mengubah Prioritas
Aku memang tipikal wanita karier yang berambisi untuk meraih posisi tertinggi. Akhirnya, karena pria itu sangat persisten dan gigih mencariku, aku pun luluh dan mengajaknya bertemu di Singapura. Seperti kata pepatah yang mengatakan jodoh tak lari ke mana memang benar adanya, aku yang salah memberikan alamat kepada pria itu, namun tetap secara tak sengaja kami berhasil dipertemukan. Dia bercerita hampir putus asa untuk mencari alamatku hingga berjam–jam berkeliling menggunakan taksi karena saat itu belum ada handphone. Aku yang mendengar pengakuannya jadi ikut terharu.
Akhirnya aku dan pria itu memutuskan untuk menikah dan telah dikaruniai seorang anak perempuan. Berat bagiku untuk meninggalkan segala kehidupan dan karier yang sudah aku bangun di Malaysia. Aku harus melepaskan semua itu dan memulai semuanya dari nol lagi. Aku harus rela menguburkan impianku menjadi seorang CEO yang selalu aku idamkan sejak kecil, untuk pindah ke tempat baru.
Pelajaran berharga yang aku dapatkan dari kisah cintaku ini adalah keikhlasan merupakan level tertinggi dari jatuh cinta. Apabila kita benar–benar mencintai orang tersebut, maka kita akan ikhlas dalam menjalani hidup bersama orang yang cintai baik di waktu susah dan senang. Aku ikhlas untuk melepas kehidupan yang lama dan memulai perjalanan baru dengan pria yang aku cintai. Hanya dengan keberanian dan komitmen yang kuat, barulan keikhlasan bisa diraih.
#ElevateWomen