Fimela.com, Jakarta Sebagai seseorang dengan kelainan autoimun, asma, dan berbagai macam penyakit kronis lainnya, Rachel Charlton-Dailey hampir tidak pernah meninggalkan rumah dalam kurun waktu 1 tahun belakangan ini. Saat berita tentang vaksin COVID-19 tersebar, Rachel lega ia akhirnya bisa, suatu hari nanti memeluk keluarganya lagi.
Namun, walaupun rentan, Rachel tidak berada di urutan teratas dalam daftar prioritas vaksinasi di Inggris, ia bahkan belum masuk 5 besar. Karena usianya di bawah 65 tahun, Rachel masuk dalam kelompok prioritas keenam, yaitu orang dewasa berusia 16 hingga 65 tahun dalam kelompok berisiko atau kondisi jangka panjang.
Setelah menunggu lama, akhirnya Rachel mendapatkan giliran vaksinasi. Saat check-in di pusat vaksinasi lokal, Rachel mengkonfirmasi detail data dirinya dengan seorang sukarelawan.
Rachel merasa ia diamati dari atas ke bawah dengan curiga, namun ia mengabaikannya. Sebelum hari vaksin COVID-19 tersebut, Rachel harus menjalani operasi pengangkatan indung telur selama 4 hari, sehingga ia jelas tidak terlihat dalam kondisi terbaiknya.
Rachel terlihat kelelahan dan bingung ketika ditanya, "Apakah kamu pekerja yang termasuk garda depan?" Ketika ia menjawab tidak, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa Rachel mendapatkan jatah vaksin COVID-19 lebih cepat daripada orang lain.
What's On Fimela
powered by
Rachel merasa sangat diremehkan saat melakukan vaksin, karena ia tidak terlihat sakit
Rachel terbiasa dengan orang-orang asing yang tidak cacat, yang berpikir bahwa mereka berhak atas seluruh riwayat kesehatanku. Setelah hampir 20 tahun membuat orang lain terus menerus mencoba mendikte identitasnya, Rachel akhirnya pandai menetapkan batasannya sendiri, sehingga ia tidak lagi memberi detail apapun, ia hanya menjawab, "Aku termasuk dalam daftar rentan."
Ia mengalami nyeri di panggul karena operasi baru-baru ini, jadi ia kesulitan untuk berdiri. Rachel bertanya kepada sukarelawan lain apakah ia boleh duduk di suatu tempat dalam antrean, karena ia tidak bisa bergerak di sekitar ruang tunggu, sukarelawan tersebut menyampaikan informasi dengan suara keras kepada rekan-rekan sukarelawan lainnya, seolah Rachel adalah atraksi, "Perempuan muda ini butuh tempat duduk untuk menunggu vaksinnya! Ia perlu duduk karena ia baru saja menjalani operasi!"
Ketika Rachel akhirnya bertemu dengan praktisi perawat yang baik dan profesional, ia memberinya sejarah singkat, bahkan menerima ungkapan belasungkawa kerena mengalami hal yang sangat buruk di usia muda. Biasanya memang hanya 2 hal itu yang didapatkan oleh Rachel, ketidakpercayaan atau rasa kasihan.
Rachel merasa beruntung bahwa pengaturan vaksinasi adalah satu-satunya tempat ia mempertanyakan kelayakannya. Rachel menghubungan kejadian itu dengan upayanya bertahun-tahun mengkurasi grup pertemanannya dan menyingkirkan siapapun yang meragukan kecacatannya atau membuatnya merasa kecil, bahkan di media sosial, Rachel adalah penggemar berat tombol blokir.
Menurut Rachel, tidak ada cara lain untuk menyelesaikan pandemi selain vaksin
Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk semua orang. Beberapa penyandang disabilitas dengan semangat mengunggah hal-hal tentang vaksinasi yang mereka lakukan. Bagi orang luar, mengajukan pertanyaan seperti yang didapatkan Rachel mungkin tampak seperti keingintahuan yang tidak berbahaya, namun komentar ini hampir selalu berasal dari kemampuan dan asumsi bahwa seseorang yang masih muda tidak bisa cacat atau sakit.
Selain itu, masalah kesehatan adalah pengalaman yang sangat pribadi dan tidak ada yang berhak mengetahuinya. Sebagai penyandang disabilitas yang masih relatif muda, penyakit Rachel memang tidak terlihat, ia terbiasa dengan orang-orang non disabilitas yang tidak percaya bahwa ia benar-benar sakit atau lebih buruk lagi, mengira Rachel berpura-pura untuk mendapatkan perawatan khusus.
Pada akhirnya, kamu tidak dapat mengetahui riwayat kesehatan lengkap seseorang hanya dengan melihatnya dan itu memang bukan urusanmu sejak awal. Satu-satunya cara mengalahkan virus ini adalah jika sebanyak mungkin dari kita divaksin.
#Elevate Women