Kasus COVID-19 Menurun, Isu Kesehatan Mental Meningkat, Simak Pemaparan Dokter Ini

Annissa Wulan diperbarui 03 Mar 2021, 18:30 WIB

Fimela.com, Jakarta Mengenakan masker berlapis dan berada di ruang pemeriksaan bersama pasien yang sedang sesak napas, ia terlihat cemas. Pasien ini menjelaskan kepada Lucy McBride bahwa dadanya terasa sesak.

Ketika Lucy memberitahunya bahwa tekanan darahnya sangat tinggi, pasien tersebut bertanya, apakah ia sedang sekarat. Tidak, ia hanya terlalu stres, cemas, dan mengalami trauma bertumpuk.

Pasien Lucy adalah seorang ibu tunggal dengan pekerjaan yang membuatnya stres. Ia mengakui bahwa kecemasan karena COVID-19 telah memicu kebiasaannya mengonsumsi alkohol.

Ibu ini bukan pemabuk, ia hanya menggunakan alkohol sebagaimana kebanyakan orang saat pandemi, yaitu untuk menenangkan rasa khawatir, ketakutan, dan otaknya yang berisik di malam hari. Meskipun putus asa ingin berhubungan dengan manusia lain, ia terlalu takut mengunjungi orangtuanya yang telah mendapatkan vaksin COVID-19, ia takut membuat mereka sakit secara tidak sengaja.

Campuran dari stres, alkohol, dan insomnia telah membuatnya tidak melakukan olahraga dan meningkatkan tekanan darahnya secara berbahaya. Ibu ini memiliki risiko terkena serangan jantung dan stroke.

Ini hampir 1 tahun setelah pandemi dan kita sudah terbiasa hidup dalam ketakutan. Di Amerika sendiri, ada lebih dari 500.000 orang meninggal karena COVID-19, virus ini ada di mana-mana, tidak terlihat, berpotensi mematikan, dan dapat menyerang siapa saja.

 

 

2 dari 3 halaman

Banyak orang menghadapi gangguan kesehatan mental karena kecemasan selama pandemi COVID-19

Lucy McBride melihat kenyataan bahwa di saat kasus COVID-19 berhasil turun, isu kesehatan mental meningkat dan menjadi lebih mengancam hidup banyak orang. Credit: pexels.com/EnginA

Pergolakan sosial dan ekonomi juga tak berhenti, membuat trauma yang unik. Berdasarkan apa yang dilihat Lucy di kantornya setiap hari, kecemasan telah menjadi kondisi kesehatan yang universal.

Bagi banyak pasien, rasa takut telah merenggut nyawanya sendiri, kecemasan karena COVID-19 ini telah membuat banyak orang jatuh sakit. Lucy menyaksikan sendiri krisis kesehatan mental sedang terjadi saat ini.

Coronaphobia dapat didefinisikan sebagai ketakutan yang berlebihan terhadap COVID-19 yang berakar pada kecemasan rasional tentang ancaman COVID-19 yang sangat nyata dan dapat meningkatkan gejala fisik, emosional, kognitif, dan perilaku yang membatasi kualitas hidup seseorang. Untuk memperjelas, kecemasan akan COVID-19 ini normal.

Semua orang terhubung untuk bertahan hidup, tubuh secara alami bereaksi dan melindungi kita dari ancaman. Ketika dihadapkan pada bahaya, mekanisme respon stres akut dipicu untuk melawan, lari, atau membekukan diri.

Hormon stres adrenalin dan kortisol akan melonjak, mengarahkan oksigen ke otot rangka, dan meningkatkan kewaspadaan. Napas akan menjadi lebih cepat, otot menegang, telapak tangan berkeringat, denyut jantung, dan tekanan darah meningkat.

Jika tekanan darah tetap tinggi dalam waktu yang lama, ini dapat merusak pembuluh darah, dan menimbulkan risiko serangan jantung, stroke, dan penyakit kardiovaskular lainnya. Selain itu, kecemasan cenderung mengubah pengambilan keputusan menjadi mode toleransi nol risiko.

Ketakutan tentang virus, vaksin, dan variannya dapat membuat otak cenderung melebih-lebihkan bahaya, dan membuat keputusan yang menghindari risiko sekecil apapun. Risiko kesehatan dari isolasi sosial sudah jelas, mulai dari depresi dan kecemasan, hingga konsentrasi yang buruk, dan insomnia.

3 dari 3 halaman

Kasus COVID-19 memang menurun, namun isu kesehatan mental meningkat

Lucy McBride melihat kenyataan bahwa di saat kasus COVID-19 berhasil turun, isu kesehatan mental meningkat dan menjadi lebih mengancam hidup banyak orang. (Photo by Freshh Connection on Unsplash)

Siklus kecemasan ini dapat diatasi. Tugas Lucy tidak hanya mengatur tekanan darah dan mencegah pasiennya terkena serangan jantung, ia juga memahami hubungan antara stres dan kesehatan fisik.

Lucy bertugas memberdayakan pasien dengan pengetahuan dan alat untuk mengurangi stres, yang pada akhirnya mengakibatkan masalah kardiovaskular dan kesehatan lainnya. Merawat pasien Coronaphobia dimulai dengan menormalkan stres dan kecemasan akan COVID-19 itu sendiri.

Bersama pasiennya, Lucy merumuskan rencana, termasuk olahraga, meditasi, dan berhubungan dengan orang tercinta untuk membantu mengurangi stres dan mengekang kebiasaan minum. Lucy juga mendorong agar pasiennya mau divaksin, mereka bukan anti-sains, mereka hanya membutuhkan penjelasan tentang keamanan dan kemanjuran vaksin yang beredar.

Bagi Lucy, kesehatan lebih dari sekedar tidak adanya penyakit. Tetap hidup itu penting, bukan begitu?

Kita perlu mengenali efek kecemasan yang tak terukur pada pikiran, kebiasaan, keputusan, dan kesehatan fisik sehari-hari. Kita perlu memahami bahwa untuk mencapai kekebalan kelompok adalah dengan vaksin COVID-19, serta mendidik teman, keluarga, dan rekan kerja untuk melakukan hal yang sama.

Kasus COVID-19 menurun, tapi kecemasan ada di mana-mana. Bahkan saat vaksin didistribusikan, tidak ada yang kebal terhadap trauma pandemi. Melindungi kesehatan mental dan fisik bersama-sama dapat membantu kita tetap aman dan waras.

#Elevate Women