Menikah dengan Teman Sendiri, Sungguh Jodoh Itu Begitu Dekat

Endah Wijayanti diperbarui 02 Mar 2021, 10:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.

***

Oleh: Raistamala Nediasani

Namanya Teja, lelaki yang kukenal sejak di bangku SMA, tapi hanya sekedar kenal saja. Tapi sejak 12 tahun lalu kami bertemu saat ospek kuliah, kami mulai bersahabat. Berbeda jurusan namun fakultas yang sama membuat kami tetap sering ketemu, sering menyempatkan duduk dan ngobrol berdua di sela-sela jam kuliah.

Dia juga yang membantuku menyelesaikan skripsi, padahal saat itu kuliahnya sedang berantakan sekali. Setelah skripsi selesai, namanya tertulis jelas di bagian ucapan terima kasih di skripsiku. Sebelas tahun berlalu, aku menyadari kebodohanku menulis nama Teja di skripsiku sambil menggerutu, "Aduh, ini kalau sampai calon suamiku tahu, bisa dikira ada sesuatu nih antara aku sama Teja."

Ya, aku dan Teja hanya sekadar sahabat, tidak pernah punya hubungan khusus meskipun semua orang mengira kami berpacaran. Kami dengan lantang bilang, "Nggak mungkin kami pacaran. Kami dekat sebagai sahabat," dan kalimat itu tetap kami ucapkan dengan lantang sampai bertahun-tahun kemudian. Bahkan kami punya pacar masing-masing dan berencana menikah dengan pasangan masing-masing. 

What's On Fimela
2 dari 3 halaman

Hanya Berteman

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/blanscape

Sejak 12 tahun yang lalu, aku memanggilnya Bibib. Ya, itu panggilan khususku untuk dia. Sedekat apa kami? Sangat dekat. Setiap kali menelepon, pasti lebih dari 1 jam. Tapi sejak aku memutuskan kerja di Surabaya, hubungan kami agak renggang bahkan sempat kehilangan kontak 1-2 tahun.

Aku fokus dengan pekerjaanku, dia fokus menyelesaikan kuliah pasca sarjananya. Meskipun rumah kami hanya berjarak 2 km, kami tidak pernah bertemu dan berkomunikasi. Akhir 2018 Tuhan mempertemukan kami lagi lewat salah satu teman. Kami dekat lagi, nostalgia dengan kisah kami yang dulu.

Hampir setiap hari dia menelepon hanya untuk curhat. Akan selalu ada pesan masuk, "Nggak sibuk? 10 menit lagi kutelepon. Biasa, radio rusak." Pembicaraan kami melalui telepon tidak pernah sebentar, minimal 1 jam. Dia tidak berubah sedikit pun sejak 12 tahun yang lalu. Masih tetap asyik sebagai teman. 

Awal 2020 kami sering sekali pergi berdua, bahkan hanya sekadar mencuci mobil, kami perginya berdua. Setiap salah satu pergi keluar kota, pasti laporan. Mei 2020, salah seorang sahabatku yang baru mengenal Teja bilang, "Udah, kalian nikah aja," dan dengan lantang kami menyangkal pernyataan itu. Kami menolak dalam hati jika kami akan menikah nantinya.

Kami tetap yakin kami akan selalu bersahabat sampai kapan pun. Dua bulan kami ada di masa penyangkalan itu. Semakin hati kami menolak, semakin Tuhan tunjukkan sesuatu.

30 Agustus 2020, saat itu Teja mengantar aku berkerja. Aku sudah tidak kuat menyetir karena baru saja pulang dari Jawa Tengah. Dalam perjalanan ditemani radio dengan volume cukup kencang dan aku yang mulai menuju alam mimpi, Teja tiba-tiba bilang, "Ayo nikah, yuk."

Seperti sejak 12 tahun yang lalu, kami tidak pernah serius, jadi kutanggapi itu dengan bercandaan, "Ayok. Mampir toko cincin, yuk," dan kami tertawa bareng. Aku tidak kaget sih dengan ajakan dia saat itu, karena sejak 2-3 bulan sebelumnya, kami sering ngobrol tentang pernikahan.

Tentu saja perspektifnya bukan kami yang menikah, tapi kami menikah dengan orang lain. Sejauh apa kami ngobrol soal pernikahan? Sejauh dia nanya aku kalau nikah mau mahar berapa, mau nikah indoor atau outdoor, mau bulan apa, mau konsep acara seperti apa, tapi selalu kujawab tanpa terbesit pikiran dia yang akan menikahiku. 

3 dari 3 halaman

Menikah dengan Teman Sendiri

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/id/g/Meogia

Beberapa hari kemudian, hampir jam 12 malam dia tiba-tiba mengirim pesan teks, "Mau dilamar kapan?" Seketika otak dan hatiku tahu kalau ini bukan bercandaan. Aku tahu ini sisi seriusnya dia. Dan dengan campur tangan Tuhan, aku dengan mantap menjawab, "Secepatnya." Tidak ada sedikit pun keraguan.

Kenapa tidak ragu dan takut? Karena aku tahu, sejak 12 tahun yang lalu dia tidak berubah, dia orang baik. Dia tidak pernah marah, sering mengalah, tidak pernah membentak sedikit pun, dia selalu mendukung apapun yang aku lakukan selama itu baik, tidak pernah membatasi mobilitasku.

Tiga bulan kemudian kami bertunangan dan beberapa bulan lagi kami akan menikah. Kami bukan pasangan dengan pribadi yang sama. Aku yang perfeksionis, dia yang santai. Aku yang bawel, dia pendiam. Aku yang lebih bekerja dengan praktek, dia lebih ke teori, aku suka film drama dia suka film action, aku anak mall dia anak pecinta alam, tapi kami bisa memahami satu sama lain jadi kami tidak pernah meributkan perbedaan itu. Kadang aku yang mengalah, kadang dia. 

Siapa yang menyangka kalau aku akan menikah dengan sahabatku sendiri. Kalau di Jakarta ada Ayudya dan Dito, si Teman Tapi Menikah, di Malang ada aku dan Teja yang Teman Tapi Menikah. Siapa sangka dulu aku pernah menyesal menulis nama Teja di skripsiku, namun ternyata saat itu Tuhan sudah ngasih sinyal, tapi dikasih jalan berbelok dulu.

Siapa yang sangka dulu aku ingin punya suami dari luar kota biar kalau mudik bisa perjalanan jauh, tapi ternyata calon suamiku rumahnya 2 km dari rumahku. Jodoh memang selalu jadi misteri yang cuma Tuhan yang tahu.

Pacaran bertahun-tahun bukan jaminan akan berjodoh. Seperti aku, jodoh di pelupuk mata tak nampak. Sudah dikasih sinyal oleh Tuhan pun hati masih menyangkal. Sebegitu mudahnya Tuhan membolak balikkan hati manusia, sampai tiba-tiba kami menerima satu sama lain tanpa ada keraguan sedikit pun. 

#ElevateWomen