Lebih Baik Mengakhiri Hubungan, daripada Bertahan tapi Mengorbankan Kebahagiaan

Endah Wijayanti diperbarui 26 Feb 2021, 15:15 WIB

Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.

***

Oleh: Hadyanna Prathita R

Bukan rahasia lagi jika pernikahan kerap dianggap sebagai obat manjur menuju kebahagiaan di masyarakat. Namun, tidak demikian dengan pengalaman pernikahan pertamaku. 

Sebelas tahun hubungan pacaran kami ternyata tidak cukup membuatku mengenalnya luar dalam. Seperti yang dialami perempuan 20 tahunan pada umumnya, dengan segala kenaifan yang dialami banyak gadis seusiaku dulu, mengalahkan logika dan tanda-tanda bahaya toxic relationship aku putuskan untuk menerima pinangannya pada Oktober 2011 lalu. 

Kalau boleh jujur, kalimat-kalimat seperti "Kapan kalian menikah, pacaran toh sudah lama," atau "Apa lagi si yang kamu cari? Toh kalian sudah cukup mapan dan saling kenal lama." sedikit banyak berpengaruh terhadap keputusanku dulu. Nyatanya kekhawatiran terburukku terjadi. Walaupun tidak terlalu kaget dengan polahnya, tentu saja kegagalan ini meninggalkan bekas luka yang lumayan. Perlu waktu bagiku untuk menyembuhkan luka dan membuka hati kembali.

Awal 2018 tepat dua tahun palu Pengadilan Agama mengantarkan pergantian status KTP-ku menjadi cerai hidup. Dengan penuh pertimbangan, kuterima ajakan seorang laki-laki yang sudah setahun kukenal untuk berpacaran. Seorang duda dengan satu orang anak yang semula adalah salah satu representasi klien dari perusahaan tempatku bekerja.

Belajar dari kegagalan terdahulu, aku tak mau lagi terperdaya oleh stereotip pola hubungan romantis dengan lawan jenis. Budaya patriarki yang masih mengakar di Indonesia, mengajarkan resep kebahagiaan pasangan berasal dari pengabdian seorang perempuan terhadap pasangannya sebagai imbal balik tanggung jawab dan bimbingan laki-laki sebagai nahkoda dalam pernikahan. Namun, dengan pengalaman yang kualami dan banyak perempuan yang telah kudampingi, rasanya resep ini tak lagi relevan.

Maka sedari awal dengan lugas dan jelas kukatakan apa yang menjadi bayanganku tentang ciri hubungan yang sehat dan harmonis, tentunya dengan saling menjaga dan menghormati prinsip dan batasan masing-masing pihak, serta mengedepankan komunikasi asertif dalam hubungan kami. Pribadinya yang tenang dan dewasa tentu banyak berpengaruh terhadap hubungan kami yang hangat dan jauh terasa lebih stabil dibanding pernikahanku dulu.

Tak terasa dua tahun hubungan kami berjalan, tuntutan profesi yang mengharuskan kami terpisah jarak tak menjadi halangan berarti. Kualitas dan kuantitas komunikasi berhasil membangun pondasi hubungan ini. Hubungan kami semakin intim, sampai pada titik di mana kami telah berbagi visi tentang bagaimana hubungan pernikahan kami kelak. Intensitas komunikasi serta janji temu sebulan sekali juga membuat kami lebih mengenal satu sama lain. Bersama kami mulai membuat target menikah yang rencananya akan terlaksana setelah kuselesaikan pendidikan S2-ku.

Pandemi covid-19 membuat kami harus beradaptasi dengan pola pertemuan yang hampir mustahil. Rasa rindu cukup harus cukup ditambal dengan pesan dan telepon. Untung saja kami hidup di zaman teknologi sudah begitu majunya. Bayangkan jika kami masih harus menunggu pak pos mengantar surat untuk tetap terhubung. Namun, rupanya jauh di dalam hatinya, pola pikir patriarki masih tak dapat ditolaknya.

 

2 dari 2 halaman

Memilih untuk Merentangkan Sayapku

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/prostock_studio

Orang ketiga dalam hubungan tak selalunya bermula dari hati yang terbagi. Desakan ibunya yang meminta kami segera menikah karen khawatir akan pendidikan cucunya membuat dirinya tiba-tiba berubah keputusan. Apa yang telah kami bicarakan jauh-jauh hari termentahkan sudah. "Kita nikah tahun ini atau lebih baik putus," ujarnya siang itu, beberapa hari setelah 14 Februari 2021. Tambahan syarat baru bahwa diriku harus menjadi IRT penuh waktu juga jauh berbeda dengan kesepakatan kami sebelumnya.

Ultimatum yang begitu tiba-tiba dan begitu menyudutkan ini tentu saja amat mengagetkan. Sama-sama berkeras pada pendirian, akhirnya kami putuskan untuk tak lagi berjalan beriringan. Aku sadar dia lelaki yang baik, hanya saja jalan kami tak lagi searah. Alur waktu yang telah kami susun tak lagi sepadan.

Beberapa teman menyayangkan keputusanku. Kekhawatiran mereka tak jauh seputar bagaimana jika penolakan itu membuatku melepaskan calon suami terbaik? Namun keputusan tak bisa ditawar lagi. Apalagi ultimatumnya dilontarkan 5 hari setelah konfirmasi penerimaan S2 yang telah sebulan terakhir kuusahakan. Bagaimana mungkin aku merelakan kesempatan emas yang telah kucita-citakan sirna begitu saja? Bagaimana pula dia berkeras mengebiri peranku sebagai makhluk sosial di saat sedari awal hal ini sudah kami bahas bersama?

Kecewa sudah pasti. Namun pil pahit ini kutelan dengan ikhlas. Pahit di awal tentu akan lebih baik ketimbang menelan penyesalan sepanjang sisa hidup. Bagaimanapun aku tak mau lagi kehilangan diriku untuk membahagiakan orang lain dengan hidup sesuai standar teori bahagia kebanyakan orang.

Aku memilih untuk merentangkan sayapku dan terbang tinggi ketimbang sangkar emas yang nyaman namun perlahan mengamputasi mimpi-mimpiku. Aku yakin suatu saat nanti orang yang tepat akan berjalan bersisian bersamaku tanpa harus banyak mimpi dan cita-cita yang kukorbankan. Hubungan ini mengajarkanku untuk merelakan apa yang telah kami pupuk bersama hanyut di tengah badai tuntutan sekitar. Tapi yang terpenting, tak seperti dulu, aku tak lagi mengorbankan keutuhanku hanya demi sebuah titel "istri" yang juga tak dapat memberi jaminan kebahagiaan hakiki.

 

 

#ElevateWomen