Fimela.com, Jakarta Kita semua pernah punya pengalaman atau kisah tentang cinta. Kita pun bisa memaknai arti cinta berdasarkan semua cerita yang pernah kita miliki sendiri. Ada tawa, air mata, kebahagiaan, kesedihan, dan berbagai suka duka yang mewarnai cinta. Kisah Sahabat Fimela yang diikutsertakan dalam Lomba Share Your Stories Februari 2021: Seribu Kali Cinta ini menghadirkan sesuatu yang baru tentang cinta. Semoga ada inspirasi atau pelajaran berharga yang bisa dipetik dari tulisan ini.
***
Oleh: A
Kau pernah jatuh cinta? Bagaimana rasanya? Apa kau bahagia? Apakah itu kisah cinta yang indah? Atau... sebaliknya? Aku pernah merasakan dua-duanya. Bagaimana lelahnya menunggu seseorang yang hatinya begitu rumit. Seseorang yang mudah datang dan pergi. Seseorang yang sangat lihat membolak-balikkan hati. Ah... aku pikir akan memakan waktu lama untuk menceritakannya. Tapi aku harap kalian bisa mendengarnya. Ini cerita cintaku.
Kembali ke masa 7 tahun lalu ketika aku masih kelas 8 SMP, kepada kenangan pertama yang aku miliki dengan seseorang yang bernama Haru. Entah angin apa yang tiba-tiba membuatku satu kelompok dengannya dan sumpah demi apa pun itu seperti aku baru pertama kali bertemu dengannya. Aku tidak tahu apakah aku amnesia, pikun atau semacamnya tapi demi coklat Willy Wonka aku sama sekali tidak ingat kenangan bersamanya saat masih kelas 7 SMP. Sungguh! Aku bahkan sempat linglung apakah aku memang punya teman seperti ini di kelas?
Aku bahkan bertanya dengan sinisnya kepada salah satu teman perempuanku, “Kenapa harus dia? Kenapa kita tidak milih yang lain saja?” (untuk tim kelompok drama).
Dan temanku yang bernama Aiko bilang, “Kenapa? Haru pinter kok.”
For honey strawberry cutie bumblebee. Aku ingat sekali bagaimana aku memandang sinis teman lelakiku itu. Iya, aku sebodoh itu yang masih memiliki pemikiran judge a book by its cover. Mohon jangan ditiru. Itu bukan perbuatan yang baik.
Tapi aku mengalah sebab teman-temanku yang lain menerimanya dan tidak mempermasalahkannya sama sekali. Kemudian waktu berjalan perlahan. Aku yang mulanya dingin dan sinis padanya berubah menjadi lebih hangat. Zaman itu masih jadul, media sosial masih belum sebaik sekarang jadi kami memulai percakapan elektronik via SMS. Dan coba tebak apa? Dia yang memulai percakapan lebih dulu. Dia yang menghubungiku lebih dulu. Dan secara tidak sengaja kami menyukai sesuatu yang sama. Naruto. Bisa dibilang perkenalan kami bermula dari ketidaksengajaan drama yang berlanjut pada kedekatan oleh Naruto-kun.
Kami mulai bertukar flashdisk, kami bercerita tentang Naruto dan teman-temannya hingga suatu ketika aku mulai merasa aneh dengan perasaanku. Iya, aku tidak menyadari kapan perasaan itu datang. Dan teman-teman yang mulai menyoraki kami, seolah-olah menjodohkan kami. Hei, aku bahkan tidak tahu perasaannya kok kalian bisa mengatakan hal seperti itu?
Menyukai Seseorang
Kala itu aku berpikir ini hanya perasaan yang bertepuk sebelah tangan. Aku memang cuek tapi ini lebih menyakitkan. Aku berpikir aku yang selalu tersakiti dan terpuruk akan perasaan ini namun nyatanya sebaliknya. Hal itu terjadi ketika kami memasuki masa-masa sekolah menengah atas.
Aku ingin memulai kehidupan baru di SMA ini. Ingin lebih fokus pada pendidikanku dan masa depanku. Juga mulai menata hati yang baru agar tak lagi menangisi seseorang yang tak menaruh hati pada kita. Tapi sialnya, kami satu SMA lagi namun berbeda kelas.
Aku tidak terlalu cantik, pas-pasan tapi banyak orang mengatakan aku cantik. Banyak laki-laki yang menyukaiku. Bahkan sejak aku masih SD, masih ingusan sudah banyak yang menyukaiku, bahkan ketika SMP ada beberapa kakak kelas yang terang-terangan mengatakan perasaannya. Tapi, aku menolak mereka semua karena tidak ada yang pas. Hanya satu, yaitu Haru. Yang aku harapkan namun kedatangannya tak menentu. Membuat plin plan, dilema dan keraguan panjang.
Mulai dari perhatiannya, tatapannya dan bagaimana dia berbicara mengatakan ia memiliki perasaan itu. Tapi secara harfiah ia tak pernah mengatakannya yang kemudian aku menganggapnya sebagai pemberi harapan palsu. Ia harus dilupakan sesegera mungkin.
Saat aku baru kelas 10 SMA ada cowok keturunan Chinesse yang mendekatiku. Aku sebenarnya belum siap membuka hati tapi ia memberi banyak perhatian yang akhirnya mampu membuat aku memberanikan diri memulai hubungan baru. Meski jauh di dalam hatiku untuk menerimanya yang notabenenya berbeda agama denganku itu sulit.
Tapi bagaimana aku mampu menolak seseorang yang baik padaku? Sungguh, aku tidak tega untuk menyakitinya. Aku benar-benar dilema dalam satu waktu. Hatiku belum siap, aku masih sebatas menyayanginya belum pada perasaan serius. Namun kepedulianku padanya bukan main-main. Perhatianku padanya benar-benar.
Tapi, nasib berkata lain, belum ada tiga bulan kami pacaran dia pergi. Tanpa kabar tanpa pemberitahuan lebih dulu. Meski kami satu sekolah tapi kami jarang bertemu. Sangat jarang. Dan tepat beberapa hari saat kami putus, Haru kembali lagi dengan perhatiannya. Dengan segala kasih sayang yang entahlah atau aku yang terlalu baper. Sekali lagi aku memutuskan untuk hanya menaruh hati padanya, Haru, satu-satunya. Kalian bisa menganggapnya berlebihan tapi bagi seseorang yang sedang jatuh cinta itu hal yang lumrah dilakukan.
Dilema dan Rasa Rindu
Waktu terus berlalu hingga tiba-tiba ada kejadian yang membuatku marah saat dia mengirim pesan whatsapp padaku dan berkata, “Aku menyukaimu." Aku seperti diterbangkan ke luar angkasa menyentuh bintang Vega hingga kemudian dihempaskan begitu saja ke dasar Palung Mariana. Ternyata temannya membajak handphone-nya dan mengirim pesan tersebut. Aku merasa malu dan kecewa bersamaan. Aku benar-benar marah bahkan tak mau memandang wajahnya untuk beberapa hari.
Ia merasa bersalah mungkin akan hal itu yang akhirnya mengatakan perasaannya yang sebenarnya padaku. Aku tidak mau menerimanya dengan mudah. “Apa kau menyatakan perasaanmu karena merasa bersalah?”
“No, Yuki. Aku mengakui perasaanku karena aku menyukaimu, sungguh.” Itulah klimaksnya! Aku merasa terbang hingga tak mau turun lagi. Aku kira hanya bertepuk sebelah tangan tapi ternyata malah sebaliknya. Aku kira dia yang sering menyakitiku namun kenyataannya aku yang malah sering menyakitinya. Aku terlalu fokus pada perasaanku tanpa pernah memikirkan perasaannya. Aku bodoh sekali.
Tapi kami tidak berpacaran. Kami hanya saling suka tanpa status. Karena dia memang tak ingin pacaran dan aku menghargai keputusannya. Selanjutnya waktu berlalu begitu cepat hingga kami kelas 12 SMA. Dia berubah, aku akui itu. Dia memilih untuk memperbaiki dirinya dengan ilmu agama. Aku sangat menghargainya yang mana itu membuatnya pergi, sekali lagi. Dan sama seperti sebelumnya, tanpa penjelasan. Dia menjauh begitu saja tanpa mengucapkan pamit lebih dulu. Tak apa, aku mengerti. Ini bukan salah siapa-siapa. Kamu ingin memperdalam ilmu agamamu, itu baik. Sedang aku belum mampu mengikutimu.
Kami berpisah saat awal semester kelas 12. Meski aku tahu ia masih memiliki rasa itu nampak dari matanya namun aku tidak ingin mengganggunya meniti ilmu. Aku mengikhlaskannya hingga hari ini. Sudah hampir 3 tahun kurang lebih kami berpisah.
Dia kuliah di Surabaya dan aku di Jawa Tengah. Kami sama-sama tidak lulus SNMPTN dan SBMPTN di tahun 2018. Gap year satu tahun kemudian di tahun 2019 dia lolos SBMPTN ke Surabaya. Aku masih gap year satu tahun lagi. Dan tahukah kalian aku mengisi gap year dengan bekerja di salah satu kafe di kotaku. Dan disitu aku terlibat cinta lokasi dengan salah satu karyawan yang umurnya satu tahun lebih muda dariku. Dia bernama Naoki.
Aku bukan orang yang mempermasalahkan umur. Aku memilih yang lebih dewasa, bukan membatasi umur. Kami berpacaran hampir dua tahun hingga memutuskan untuk berpisah saat aku sudah mulai berkuliah di tahun 2020. Perbedaan visi misi menjadi landasan utama kami untuk mengakhiri hubungan.
Tapi tahukah kalian bahwa cerita cintaku ini belum usai? Sebab suatu hari ketika aku sudah berpisah dengan Naoki, di suatu pagi aku terbangun dengan perasaan rindu yang amat luar biasa. Rindu kepada seseorang dari masa lalu. Iya, Haru. Aku merindukannya. Amat.
Aku memberanikan diri menghubunginya setelah hampir tiga tahun tidak berkomunikasi. Dia membalas, sungguh tidak terduga dia akan membalas pesan yang aku kirim lewat Instagram. Kami hanya bercakap singkat. Hanya beberapa kata tapi percaya atau tidak itu membuatku senang entah karena apa. Mengetahui bahwa ia baik-baik saja sudah sangat melegakan. Aku tidak meminta lebih, apalagi untuk memulai hubungan kembali bersamanya. Tidak. Aku tahu batasan. Ia yang memilih pergi. Aku tidak ingin seenaknya memintanya kembali.
Namun yang membuatku merasa aneh adalah sejak aku merindukannya, hatiku merasa tak karuan. Seperti dilema untuk yang kesekian kalinya. Apakah aku masih memiliki perasaan itu? Sebab ketika aku menulis cerita ini, aku seperti mencintainya lagi.
Aku ingin mempercayai satu kalimat ini, “True love stories never have endings.”
#ElevateWomen