Fimela.com, Jakarta Anak Indonesia adalah masa depan untuk keluarga maupun bangsa. Memenuhi hak anak dan memberikan ruang pada anak agar berdaya dan dapat meraih mimpi adalah tugas semua pihak untuk mewujudkannya. Gerakan Bersama untuk penghapusan kekerasan pada anak di Indonesia (Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children atau IJF EVAC) menyayangkan dan menentang segala tindakan organisasi atau lembaga yang mempromosikan perkawinan anak.
Melihat hal ini, Save the Children sebagai organisasi yang beroperasi di 12 provinsi, 79 kabupaten, 701 kecamatan dan 918 desa merasa cukup prihatin. Dalam rilis yang diterima oleh tim Fimela.com, Gerakan Bersama untuk Penghapusan Kekerasan pada Anak di Indonesia (Indonesia Joining Forces to End Violence Against Children atau IJF EVAC) merupakan bagian dari gerakan global untuk mengakhiri segala bentuk kekerasan pada anak. Pembentukan IJF ini untuk membantu Pemerintah Indonesia yang telah mendeklarasikan Indonesia sebagai negara pembuka jalan bagi upaya penyadaran, pencegahan dan penanganan berbagai tindak kekerasan pada anak.
Save the Children memiliki wilayah kerja yang mencakup, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Lampung, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah. Program-progam yang diadakan fokus pada kesejahteraan anak yang mengintegrasikan lintas sektor termasuk pendidikan, kesehatan, perlindungan anak, kemiskinan dan tata kelola hak anak, serta respon situasi bencana.
“Perkawinan anak adalah bentuk kekerasan terhadap anak. Kami ingin menekankan lagi kepada pelaku usaha, orangtua dan seluruh elemen masyarakat bahwa isu ini bukan hanya soal perkawinan, tetapi perampasan hak anak akan kelangsungan hidup, tumbuh kembang, perlindungan dan partisipasi.” Tegas Selina Patta Sumbung selaku CEO Save the Children Indonesia .
Promosi perkawinan anak yang dilakukan oleh Aisha Weddings merefleksikan fenomena “gunung es” perkawinan anak di Indonesia. Data Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tentang Perkawinan Anak tahun 2018 memperkirakan terdapat 1 juta anak perempuan yang menikah sebelum usia 18 tahun, menempatkan Indonesia di peringkat ke delapan di dunia dengan angka absolut perkawinan anak tertinggi di dunia.
What's On Fimela
powered by
Hasil Data Survei Sosial Ekonomi Nasional
Dari data Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) juga menjelaskan bahwa hampir semua atau 94% anak perempuan dan 91% anak laki-laki yang dikawinkan putus sekolah. Diperkuat oleh data organisasi kesehatan dunia, WHO yang diterbitkan tahun 2016, menyebutkan bahwa Anak yang dikawinkan kemungkinan besar akan hamil dan melahirkan anak, yang berisiko besar bagi kesehatan mereka. Komplikasi saat kehamilan dan persalinan adalah penyebab utama kematian bagi anak perempuan berusia 15-19 tahun di seluruh dunia.
“Biasanya salah satu alasan keluarga menikahkan anaknya karena ekonomi. Padahal menikahkan anak bukan jalan untuk memperbaiki ekonomi. Justru menjerumuskan anak dalam kemiskinan.” Jelas Sindy (16), salah satu anggota Children & Youth Advisory Network (CYAN) Save the Children Indonesia.
Dilema Regulasi Pemerintah
Upaya Pemerintah untuk mengakhiri perkawinan usia anak dibuktikan dengan telah direvisinya UU Perkawinan No. 1 Tahun 1974 menjadi No. 16 Tahun 2019 Republik Indonesia dinyatakan bahwa hanya mengizinkan perkawinan bagi yang sudah berusia 19 tahun keatas. Akan tetapi, bukan berarti usaha mencegah perkawinan anak dan membantu anak–anak yang sudah terlanjur dikawinkan untuk keluar dari masalahnya, sudah selesai.
Undang-undang masih mengizinkan masyarakat untuk mengajukan dispensasi jika ingin mengawinkan anaknya. Selama Januari-Juli 2020 (tujuh bulan), Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah menerima 35.441 perkara dispensasi kawin anak/orang muda di bawah 19 tahun, atau meningkat tajam dibanding 28.864 perkara yang diterima selama dua belas bulan di tahun 2019.
Respon Save the Children
Merespons kontroversi iklan perkawinan anak, perkawinan siri dan poligami oleh Aisha Weddings dan mempertimbangkan bahaya-bahaya perkawinan anak, maka gerakan bersama penghapusan kekerasan pada anak meminta pemerintah untuk mendorong proses hukum organisasi atau lembaga yang terbukti mempromosikan perkawinan anak, mendorong penerapan pasal-pasal pencabutan kuasa asuh orangtua sesuai Undang-undang Perlindungan Anak karena mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak merupakan salah satu kewajiban dan tanggung jawab orangtua. Serta, memperkuat pengetahuan dan kapasitas hakim di seluruh Indonesia dengan mempromosikan Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin yang diterbitkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dibarengi dengan pelatihan hak anak dan kesetaraan gender.
Memperkuat koordinasi lintas sektor untuk dukungan terhadap keluarga dan anak yang rentan sebagai komponen perlindungan sosial, khususnya bantuan untuk anak-anak yang telah menjadi korban perkawinan anak. Kampanye anti perkawinan anak harus dimulai dari tingkat komunitas lokal dengan memperkuat resiliensi anak agar anak mampu mengambil keputusan yang tepat dalam hidupnya tanpa ada tekanan dari orang tua, keluarga, dan masyarakat.