Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: RKW
Kehidupan setiap orang selalu penuh dengan misteri. Kita tidak pernah bisa meminta akan lahir di keluarga seperti apa dan di tempat yang seperti apa. Kita hanya bisa menerima takdir—sebuah ketentuan yang sudah Allah berikan sejak kita masih berada di dalam Rahim seorang ibu. Seperti manusia pada umumnya, tentu kita ingin dilahirkan dari keluarga yang berlatar belakang serba kecukupan—cukup kasih sayangnya, cukup rejekinya, dan cukup-cukup yang lainnya. Namun, kembali lagi, kita hanya bisa bersiap-siap untuk menerima kehendak dariNya, akan terlahir pada keluarga dengan background yang seperti apa.
Bagaimanapun Allah menakdirkan, semuanya sarat dengan makna dan pembelajaran hidup yang luar biasa. Hidup di keluarga yang berkecukupan ataupun keluarga yang serba kekurangan semuanya memberikan pelajaran hidup yang tentunya sangat berharga. Hidup berkecukupan mengajarkan kita untuk mensyukuri hidup. Hidup kekurangan mengajarkan kita untuk mengenal arti dari sebuah kerja keras dan perjuangan.
Kali ini, aku ingin sedikit berkisah tentang perjuangan Ibuku dalam menjalani kehidupan. Kehidupan yang mungkin juga dialami oleh sebagian besar manusia di dunia ini. Aku sangat beruntung, terlahir dari rahim seorang ibu yang begitu kuat—mencoba untuk kuat lebih tepatnya. Ibuku sangat senang menceritakan kisah perjuangannya dulu. Kisah yang harus dilewatinya sedari kecil. Beliau begitu antusias setiap kali bercerita.
Ibu selalu ingin berbagi denganku, agar aku paham bagaimana kehidupan ini harus dilalui. Aku selalu mendengarkan dengan antusias pula, meski kadang-kadang aku ikut trenyuh, dan tak jarang menitikkan air mata karena mendengar kisah beliau. Yang sangat aku salutkan, sepedih apa pun cerita itu, ibu selalu berusaha untuk tersenyum. Beliau ingin menunjukkan, bahwa senyuman menjadi obat yang ampuh agar kita kuat menjalani setiap fase kehidupan.
Ibu terlahir dari keluarga yang bisa dibilang agak kurang dari segi ekonomi. Ibu adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Bisa dibayangkan, Ayahnya hanya seorang petugas perairan desa. Sedangkan ibunya, hanya ibu rumah tangga yang selalu bekerja keras untuk membantu perekonomian keluarga. Sebagai anak tengah-tengah, ibuku memiliki kepedulian yang begitu tinggi dengan keluarganya.
Semenjak masih duduk di bangku sekolah dasar, ibuku memberanikan diri untuk ikut bekerja di rumah orang meski hanya sekadar bebersih rumah, mencuci, menyetrika baju. Bisa dibayangkan, anak kecil yang masih duduk di bangku sekolah dasar sudah harus bekerja untuk membantu perekonomian keluarganya. Ibu sudah tidak tinggal di rumahnya sendiri, melainkan harus menginap di tempat ia bekerja.
Jarak dari sekolah dengan tempat ibu bekerja tidaklah jauh. Jadi, setelah pulang sekolah ibu bisa langsung kerja di sana. Ibu menghabiskan waktu di sana sekitar 2 tahunan. Karena ibu sangat rajin dan sopan, serta secara akademik sangat baik, maka majikan ibu membiayai sekolah ibu hingga lulus dari bangku sekolah dasar. Setelah lulus dari situlah, ibu memutuskan untuk kembali pulang ke rumahnya sendiri.
Setelah lulus dari bangku sekolah dasar, tentu ada keinginan yang kuat untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Ibu mengutarakan keinginannya untuk sekolah lagi kepada nenekku. Sayangnya, nenek sudah tidak mampu menyekolahkan ibu. Karena adik-adik ibu masih banyak dan semuanya masih perlu biaya untuk menuntaskan pendidikannya. Sama halnya dengan ibu, kakak dari ibu juga hanya lulus sampai jenjang SD saja. Setelah lulus, ibu membantu nenek menggendong beras-beras hasil panen milik orang lain untuk dibawa ke tempat penggilingan padi (selepan). Dari hasil itu, ibu mendapatkan uang beberapa rupiah saja yang selanjutnya akan diberikan kepada nenek untuk membantu membeli bahan makanan pokok.
Suatu ketika, ibu ditawari bekerja oleh seorang bos kain di perkotaan. Melihat kondisi perekonomian keluarga yang begitu-begitu saja, akhirnya ibu menerima tawaran itu. Ibu lagi-lagi harus merantau dan jauh dari nenek. Ibu bekerja di sana selama hampir 2 tahun. Anak belia yang usianya seusia anak SMP lagi-lagi harus bekerja membanting tulang, menyirnakan mimpi-mimpinya untuk sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, menjadi PNS, dan sebagainya. Ibu begitu peduli dengan keluarga dan adik-adiknya, hingga masa depan baginya hanyalah mimpi yang perlu dikubur begitu dalam, yang penting bisa makan dan melanjutkan kehidupan.
Setelah dari sana, ibu akhirnya kembali pulang. Ibu ikut nenek berjualan makanan ringan di sebuah pasar yang jaraknya juga sangat jauh dari rumah. Karena waktu itu belum ada banyak kendaraan bermotor, maka ibu harus berjalan kaki beberapa kilometer. Punggungnya seringkali lecet karena harus menggendong tenggok (wadah besar yang terbuat dari rotan). Kakinya juga sering bengkak karena jarak tempuh yang begitu jauh. Ibu sangat kuat, melebihi dari apa yang sebenarnya aku bayangkan.
Selang beberapa tahun, ibu ditawari pekerjaan untuk menjadi pekerja rumah tangga lagi di pulau lain (Palembang). Kebetulan, ada tetangga yang sudah sukses di perantauan. Tanpa berpikir panjang, ibu langsung menerima tawaran itu. Berharap, dengan merantau beliau akan mendapatkan uang lebih banyak yang bisa dikirim ke rumah untuk membantu nenek. Ibu tidak pernah berpikir, akan seperti apa jadinya jika ia merantau ke pulau seberang. Ibu tidak memikirkan apa yang akan terjadi jika ia tidak pulang untuk beberapa tahun ke depan. Yang dipikirkan hanya bagaimana cara agar bisa membantu nenek membeli beras—itu saja.
What's On Fimela
powered by
Ibu yang Luar Biasa
Di Palembang, ibu banyak mendapatkan pelajaran hidup. Rindu dengan keluarga, pendapatan yang tidak sebanyak dari apa yang dibayangkan, pekerjaan yang melelahkan, semuanya bercampur aduk. Ditambah lagi, ibu tidak bisa pulang sendiri karena jarak yang begitu jauh. Yang bisa dilakukan hanya bersabar-bersabar-dan bersabar hingga uangnya sudah terkumpul banyak untuk dibawa pulang. Homesickness adalah penyakit paling sakit yang ibu alami. Seringkali ingin pulang, tapi rasa rindu itu lagi-lagi harus disimpan rapat-rapat.
Setelah mengarungi kehidupan di pulau orang, akhirnya ibu bisa kembali pulang. Di sinilah, masa depan ibu sebagai seseorang yang single telah berakhir. Ibu akhirnya memutuskan untuk menikah dengan ayah—lelaki desa yang penghidupan ekonominya juga biasa saja. Semenjak menikah dengan ayah, Ibu masih harus bekerja di sebuah pabrik tekstil. Di usia kehamilan anak pertama, ibu masih harus merasakan shift malam. Perjuangan yang begitu hebat!
Hingga saat ini, ibu telah dikaruniai tiga orang anak—dua perempuan dan satu anak laki-laki. Alhamdulillah, ketiga anaknya telah mampu menyelesaikan pendidikan sarjananya. Meski ibu dan ayah hanya lulusan sekolah dasar, mimpi dan keinginan itu dapat diwujudkan oleh tangan-tangan kecil anaknya. Sungguh, sekali lagi aku sangat beruntung karena ibu menjadi takdir terindah yang aku miliki.
Sampai detik ini, senyum ibu yang selalu menguatkan. Meski banyak cerita pedih yang seringkali menyayat hati, tapi ibu selalu berusaha menguatkan kami anak-anaknya dengan senyuman tulus dan ikhlas yang senantiasa menghiasi wajah cantiknya.
Terima kasih ibu untuk senyum terindahmu!
#ElevateWomen