Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: Irhamni Malika
For all of you who already had your mother’s unconditional love since you were born, you’re lucky. Sedari kecil, aku selalu mendamba tentang sesuatu yang kebanyakan orang di sekitarku miliki. Aku dalam sosok gadis kecil itu selalu berimajinasi tentang indahnya hidup ketika mempunyai seseorang yang benar-benar menyayangi dan peduli. Aku selalu memperhatikan mereka yang setiap pagi diantar oleh ibunya dan dibekali masakan hangat yang baru saja dimasak pagi tadi. Bertanya-tanya, kapankah aku bisa merasakan hal seperti ini?
Kian waktu, hal itu tidak kunjung terjadi. Aku masih sendiri dengan mimpi-mimpi. Tetapi, sebagai sosok yang sedari kecil sudah diharuskan untuk mandiri, aku berusaha melakukan peranku dengan baik. Aku mandi dan berpakaian rapi tanpa disuruh. Aku makan ketika waktunya tiba. Aku memotong kuku ketika panjang. Aku bahkan belajar dan berprestasi meski tidak ada yang menyemangati. Beberapa ibu teman-temanku mengapresiasi hal itu, dan aku cukup senang bahwa aku terlihat lebih bertanggung jawab untuk diriku sendiri. Namun, sekali lagi, aku tidak pernah bisa memungkiri bahwa aku lebih ingin memiliki sosok itu dibanding menjadi dewasa dan mandiri.
Setelah bertahun-tahun, akhirnya aku mendapat kabar bahwa ayahku akan menikah lagi. Mungkin, sebagian orang akan merasa takut untuk menerima sosok baru dalam hidupnya, tapi itu bukan aku. Aku senang karena akhirnya akan ada seseorang yang aku panggil “Mama”. Ayahku bahkan tidak perlu merayuku atau memberi pengertian tentang sosok yang akan kami jumpai di rumah setiap hari. Selama ratusan bahkan ribuan hari yang aku lewati hanya dengan bermimpi, saat itu aku mampu bersuka hati.
Masa-masa yang aku harapkan tersebut, bagaimanapun, tidak pernah terjadi. Aku berpikir bahwa aku terlalu banyak berekspektasi. Ia bahkan bukan sosok yang membawa aku selama sembilan bulan dalam rahimnya sendiri, jadi mungkin ia tidak pernah merasakan ikatan emosi dengan aku.
What's On Fimela
powered by
Kehadiran Ibu Tiri
Aku, sang pemimpi yang tidak tahu diri, mulai lelah dengan segala dunia fantasi. Melihat orang lain dengan ibunya, aku merasa bahwa duniaku dan mereka sungguh berbeda. Lalu, aku menjadi sosok yang keras hati. Aku dulu tidak menyukai dia yang mengisi posisi sebagai ibuku, karena ia tidak memperlakukan aku layaknya anak yang dicintai. Oleh karena itu, aku sering membuat masalah di rumah. Tidak pernah menyapanya. Selalu menjadi sosok egois agar keinginanku dituruti. Akan tetapi, jauh dari dalam hati, aku tahu, bahwa sikapku itu semata-mata sebagai pelampiasan akan rasa sakit hati dan aku hanya mencari perhatian lewat itu.
Tidak banyak yang berubah dalam hubungan kami bahkan sampai aku duduk di bangku perkuliahan. Ketika pertama kali akan pergi ke universitas, aku sangat senang karena akhirnya aku berpisah lama dari rumah. Karena rumah bagiku selalu tidak ramah. Aku tidak suka pulang ketika libur tiba. Aku lebih suka ada di kota tempat aku melanjutkan studi. Sendiri, tetapi aku merasa bebas.
Sampai datangnya pandemi. Aku harus berada di rumah untuk waktu yang aku tidak ketahui. Bulanan atau bahkan tahunan. Hal itu benar-benar membuatku frustasi. Setelah lebih dari satu bulan menekuni rutinas yang sama untuk terus berada di dalam kamar dan keluar jika ada keperluan, aku merasa kehilangan motivasi. Aku terlalu bosan hingga kemudian memperhatikan apa yang ibuku lakukan dan membantunya. Aku ingat masa-masa itu, di mana kami berdua terlalu canggung untuk saling bersinggungan. Dia mungkin terkejut karena aku tidak pernah membantu pekerjaannya.
Roda waktu terus berjalan. Jarak antar kami semakin terpudarkan. Kami sering mengerjakan sesuatu bersama dan membicarakan banyak hal. Aku mulai sering membuka diri dan berbicara mengenai diri sendiri. Sesuatu yang akhirnya bisa kulakukan dengan sosok ibu.
Jarak yang Semakin Pudar
Pada hari ulang tahunnya, aku tergerak untuk memberikannya sesuatu karena ia jarang mengeluh tentang keadaan keluargaku. Dia merawat kami dengan tulus. Karenanya, aku menyisihkan sebagian uang yang aku miliki untuk memberikannya hadiah. Dua potong baju yang bahkan harganya tidak seberapa karena bagaimanapun, aku hanyalah seorang mahasiswa.
Namun, melihat senyum tulus yang dipancarkannya pada saat aku memberikannya hadiah itu, adalah sesuatu yang selalu aku kenang. Dia berterima kasih. Mengabadikan foto hadiahnya dan langsung memakainya. Aku begitu tersentuh ketika ia menuliskan kata ‘putriku’ pada status media sosial di mana ia mengunggah hadiahku.
“Not flesh of my flesh, nor bone of my bone, but still miraculously my own. Never forget for a single minute, you didn’t grow under my heart but in it.” —Fleur Conkling Heyliger
Setelah sekian lama, aku sadar bahwa inilah masa saat aku telah sepenuhnya menjadi dewasa. Dulu aku terlalu asik dalam dunia mimpi, hingga aku lupa bahwa aku seharusnya hidup di masa saat ini dan mulai membuka diri dengan realita. Aku tahu bahwa darahnya tidak mengalir dalam diriku, tetapi untuk saat ini, aku percaya bahwa kasih sayang itu ada di antara kami berdua. Perhatian kecil dan senyuman tulus itu adalah jawabannya.
Satu hal penting yang aku pelajari, setiap orang menunjukkan kasih sayang dan perhatian mereka dengan cara yang berbeda. Dan mungkin, untuk beberapa orang seperti aku, harus diajarkan luka dan duka terlebih dahulu sebelum merasakan cinta agar kita lebih bisa menghargainya.
#ElevateWomen