Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: Resti Siti Nurlaila
Menyenangkan rasanya, sebagai seorang anak, melihat ibu, mama atau bunda memamerkan senyum bahagianya. Saat beliau gembira, kita pun akan merasa begitu. Seolah-olah ada kehangatan memenuhi dinding hati kita. Seperti nyala api perapian kala hujan badai menerpa di luar rumah.
Pun, bagiku senyum mama adalah segalanya. Senyum beliau adalah yang paling ingin kulihat setiap hari. Paling ingin kudapatkan sebanyak mungkin sebelum nanti aku tidak akan pernah melihatnya lagi. Biasanya senyum adalah cerminan dari perasaan dan hati yang riang. Jadi melihat senyum mama merupakan pertanda yang sangat luar biasa.
Tetapi, aku tahu, senyum Mama tak sepenuhnya menggambarkan dirinya yang bahagia. Kadangkala aku merasa beliau tersenyum karena ingin terlihat kuat di mata anak-anaknya, padahal jauh di lubuk hatinya, ada luka besar menganga. Perempuan mana yang tidak terluka mendapati suami mendua. Ya, sejak papa memutuskan menikah lagi, senyum mama kebanyakan terasa sendu.
What's On Fimela
powered by
Papa dan Istri Keduanya
Jika tiba waktu papa untuk pergi ke tempat istri keduanya, mama akan menutup pintu rapat-rapat, berbalik dan sekilas memandangku, tersenyum getir, lalu mendekam sendirian di kamar. Hatiku mencelos. Bisa-bisanya mama masih bisa melemparkan senyum padaku, saat ledakan besar terjadi dalam perasaannya.
Beberapa saat setelah tenang, mama akan keluar kamar, memasak makan malam seperti biasa, seakan tidak ada yang terjadi. Kalau aku mendekati dan mencoba bicara mengenai papa pada beliau, mama akan menepuk bahuku, lagi-lagi sambil tersenyum seperti mengatakan bahwa dia baik-baik saja.
Apanya yang baik-baik saja, pikirku? Aku bisa lihat bekas air mata di pipi. Kelopak mata membengkak. Rambut kusut dan awut-awutan. Dahi berkerut. Bagaimana bisa mama pura-pura tegar di depanku?
Jika hari raya tiba dan papa memutuskan tidak bersama kami untuk merayakannya, tidak ada yang mama lakukan kecuali tetap memasak pada kuali besar, memotong daging, mencacah sayuran, meleburkan diri dalam kepulan asap kompor. Lalu menyajikannya pada kami, anak-anaknya, sambil tersenyum dan tertawa mengatakan kalau rendangnya sedikit keasinan dan sayurnya terlalu banyak kuah. Mama akan lanjut menonton televisi, kadang terkikik sendiri melihat acaranya, kemudian tertidur di atas karpet. Ternyata, pura-pura bahagia dalam luka itu cukup melelahkan.
Entah bagaimana mama bisa melakukannya hingga bertahun-tahun lamanya. Bertahan dalam luka. Melihat sang suami pergi ke istri lain. Ditinggal sendirian dalam kesedihan. Menunggu dalam kesepian.
Mama yang Tetap Berusaha untuk Kuat
Jika cucu-cucunya datang bermain dan papa malah pergi dari rumah, mama justru akan membuka pintu pagar, mengajak cucunya bermain sambil menyapu halaman, sesekali berteriak agar anak-anak tidak terlalu jauh bermain atau terlalu cepat berkejaran. Sembari tersenyum, mama akan mengalihkan dengan memberi mangga atau rambutan hasil dari halaman, ketika cucu-cucunya bertanya-tanya dan mencari kakeknya. Sore harinya mama akan memandikan semua cucu, kemudian menunggu malam seraya memasakkan camilan untuk semua orang di rumah. Semua dilakukannya dengan tidak menunjukkan bahwa beliau terluka dengan kenyataan bahwa sang suami masih belum kembali padanya sepenuhnya.
Kadang ada waktu saat pada akhirnya mama menyerah. Meletakkan senyum palsunya, dan hanya sesengukan menangis di balik pintu kamarnya.
Pada waktu itu, aku justru merasa bahagia. Karena kutahu, menangis dapat menenangkan hati, menangis dapat memulihkan diri. Mama sedang tidak berusaha berpura-pura, beliau sedang menjadi dirinya sendiri, dan itu sangat membuatku lega.
Hingga saat ini, sampai aku akhirnya menikah dan memiliki anak, mama masih tetap begitu. Senyum bahagia beliau masih menyiratkan luka. Aku sangat mengkhawatirkan beliau, tentu saja, tetapi itu adalah keputusan mama. Dia mencoba tetap kuat dengan segala luka yang dialami. Demi anak-anaknya, demi cucu-cucunya. Dan aku, bersama kakak dan adikku, menghormati keputusan beliau. Aku mungkin tidak bisa merubah senyum mama menjadi seratus persen berisi bahagia, tapi dengan segala cara yang kumampu, aku akan menyenangkan dan membahagiakan beliau.
Karena mama adalah segalanya bagiku.
#ElevateWomen