Menjaga Senyum Ibu dengan Memahami Pilihan Hidupnya di Hari Tua

Endah Wijayanti diperbarui 03 Des 2021, 13:04 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh: Tyana Arsya

Berawal dari aku yang tak bisa segera mendapatkan pekerjaan baru usai resign, mau tak mau diri harus menerima kenyataan bahwa hari-hari selanjutnya adalah berada hampir 1×24 jam di samping ibu. Awalnya kupikir hal itu akan sangat menyenangkan. Setelah selama ini banyak menghabiskan waktu di luar rumah untuk mencari nafkah, dan hanya memiliki sedikit waktu luang untuk ibu, hal ini tentu ini akan menjadi pengalaman yang menakjubkan. Dan memang itulah yang kemudian terjadi. Aku takjub setakjub-takjubnya hingga hampir berujung durhaka. 

Baru beberapa hari di rumah, satu fakta terungkap. Ibuku ternyata begitu pintar menguras emosi.  Kemandiriannya benar-benar 'berbahaya' di mataku untuk dilakukan oleh orang seumur beliau. Mengangkat air dalam jumlah banyak dari sumur ke dapur yang berjarak lumayan, bepergian sendirian ke kebun tanpa kaca mata, mencuci baju sendiri dalam jumlah banyak dan hal-hal ekstrem lainnya yang sering memicu adu argumen di antara kami. Aku benar-benar tak menyangka beliau menolak untuk dimanjakan. Pikirku, apa susahnya sih duduk diam dan membiarkan diri ini yang mengerjakan segalanya? Toh ini hanya sementara. Hanya selama aku belum menemukan pekerjaan dan kesibukan baru. Itu saja!

Lama diri berada di posisi itu. Larut dalam cita-cita untuk memanjakan ibu. Melarangnya melakukan ini itu agar tetap sehat. Agar merasa nyaman selagi aku masih bisa stay di rumah. Agar tak merasakan kelelahan lagi dan senyum hangat itu tetap mekar berseri.

Aku hampir tenggelam dalam ambisi. Sampai kemudian pandemi yang selama ini berjarak ratusan kilometer, mulai menjangkiti kota kecil kami, Kota Bitung.

Pasien 01 ditemukan. Menyusul 02, 03, dan seterusnya. Harapan untuk segera kembali beraktifitas normal pun buram. Aku masih harus di rumah dulu. Jadi pengangguran dulu. Bersama ibu yang terus menguras emosi... dulu.

Tak lagi merasa nyaman dan rindu dengan senyum hangat ibu,  aku mulai menelaah lagi dari sudut yang berbeda penyebab ketegangan antara kami. Merobek kabut ego dan tampaklah satu fakta bahwa ini hanyalah masalah komunikasi.

 

2 dari 2 halaman

Memenuhi Keinginan Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/Dragon+Images

Ambisi membuatku tak bisa melihat bahwa sebagai orang tua, ibu juga punya keinginan yang sama denganku. Ingin melihat aku beristirahat dengan baik selama masa menunggu pekerjaan baru. Ingin aku merasa nyaman dalam masa-masa menganggur ini setelah sekian lama menjadi tulang punggung keluarga. Lagi pula, selama ini, selama diri sibuk bekerja dari pagi hingga malam, beliaulah yang menangani segalanya sendirian. Tentu tak mudah mengubah kebiasaan itu.

Aku juga mulai menyadari, di balik ketakutanku akan sakitnya beliau akibat kelelahan, sejatinya tersimpan keinginan untuk bebas dari beban merawat orang sakit. Ya Tuhan... betapa berdosanya hamba.

Hari-hari selanjutnya, perlahan, aku mulai melunak. Membiarkan beliau mengerjakan apa yang ingin dikerjakan. Sesekali menawarkan bantuan. Jika ditolak, kupaksa diri untuk menerima. Tak perlu memaksa apalagi sampai marah-marah dan merajuk. Lebih baik energinya digunakan untuk bersegera melakukan hal-hal lain yang bernilai setara. Semisal, ibu sudah beraksi di dapur, maka akulah yang mengurus cucian. Atau jika beliau istirahat siang, maka diri harus bergegas mencuci piring, mengisi bak air dalam dapur, menyiapkan air hangat untuk mandi dan lain sebagainya agar sore hari kami bisa ngaso bersama sembari menunggu magrib. 

Yang terbaru, aku memutuskan untuk tetap di rumah dulu meski peluang untuk kembali bekerja sudah tersedia. Ya, aku memilih menemani dan mendukung keinginan beliau untuk kembali membuka mulai kembali membuka usaha kue tradisionalnya yang dulu pernah jadi penyokong biaya sekolahku. 

Ah, Ibu. Maafkan atas keterlambatan pemahaman ini. Sehat-sehatlah terus, Bu sehingga aku dapat menebus dosa ambisi buta yang hampir berujung durhaka ini. Terima kasih untuk segalanya dan  semoga Ibu peroleh surga sebab kasih yang teramat besar ini. Aamiin.

#ElevateWomen