Dalam Semua Hal Khususnya Pernikahan, Restu Seorang Ibu Sangatlah Penting

Endah Wijayanti diperbarui 04 Jan 2021, 15:18 WIB

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh:  Mezi Fitriani

November 2017 adalah hari bahagia untuk keluargaku. Abangku berhasil lolos sebagai ASN sesuai harapan ayah dan ibu. Terlihat jelas di mataku raut syukur dan bahagia yang terukir di wajah ibu kala itu. Sungguh cantik sekali senyum yang mengembang di paras yang tidak lagi muda. Bagaimana tidak, keberhasilan yang diraih abangku adalah buah dari kesabaran doa yang selalu ibu langitkan dan keringat tanpa pamrih beliau dalam menghidupi keluarga kecil kami. Ya, ibu adalah tulang punggung keluarga kami. Dengan bekerja sebagai guru di salah satu sekolah menengah atas yang ada di kotaku.

Menjelang Surat Keputusan (SK) pemanggilan tugas abang sebagai ASN keluar, abangku yang saat itu berada di tanah rantau memutuskan untuk pulang ke rumah sembari menunggu surat pemanggilan tugas tersebut. Selayaknya seseorang yang baru meraih pencapaian, euforia yang dibawa pulang ke rumah pun tak main-main. Berbagai janji manis ia lontarkan kepada ibu, ayah, aku dan juga adikku. Aku bisa paham itu adalah wujud rasa senang dan puas atas keberhasilannya. Janji manis yang ia ucapkan saat itu lebih terdengar seperti mimpi seorang anak sulung yang ingin membahagiakan orang tua dan adik-adiknya kelak ketika ia sudah bekerja.

Namun belum genap setahun ibu merasakan keberhasilan itu, tiba-tiba saja abang menyampaikan keinginannya untuk segera menikah. Yang mana itu bukan lah hal yang diharapkan ibu untuk terjadi dalam waktu dekat.

Bukannya ibu tidak bahagia ketika abang menyampaikan niat baiknya tapi lebih kepada belum siap. Belum siap kehilangan perhatian anak bujangnya yang apabila sudah menikah akan terbagi. Belum siap menghadapi biaya pernikahan yang tidaklah sedikit.

Belum puas rasanya ibu menikmati ada tempat berbagi dan berdiskusi dalam membiayai kehidupan kami sehari-hari. Selama ini beliau mengemban beban itu sendiri. Selayaknya kodrat seorang wanita, aku bisa paham ibu ingin merasakan bagaimana rasanya di nafkahi. Bagaimana rasanya mendapat uang bulanan seperti ibu ibu pada umumnya. Hal itulah yang baru dirasakan ibu setelah abang bekerja.

Berbeda dengan senyum indah yang kulihat di bulan November itu, senyum ibu kali ini terlihat murung. Aku tahu ada banyak sekali yang beliau pikirkan dengan otak kecil itu. Bagaimana membiayai kuliah adikku selanjutnya, di mana UKT (uang kuliah tunggal) adikku yang cukup tinggi. Aku yang pada saat itu seorang fresh graduated yang mencoba peruntungan kesana kemari dengan map lamaran tentu tak luput dari pikiran ibu. Tentu beliau sangat memutar otak bagaimana kehidupan keluarga ini tetap berjalan tanpa harus adikku putus kuliah.

Pada saat itu, ada rasa kecewa yang muncul di hatiku untuk abang. Bagaimana  bisa dia lupa semua janji-janji yang diucapkan pada seluruh anggota keluarga. Di ingatanku masih terekam jelas apa yang abang bilang padaku, “Dik, nanti kamu ya yang duluan nikah. Abang yang biayain kamu nikah. Abang mau berkarier dulu, nanti saja kalau sudah umur 30 baru nikah.”

Aku dan abang hanya berjarak 2,5 tahun, kurasa itulah yang menjadi dasar abang berucap demikian terlebih aku perempuan. Namun itu semua kini masuk dalam daftar lupa dari sekian banyak janji-janji yang abang ucapkan. Dan tak munafik ada rasa cemburu dan takut kehilangan yang juga singgah di hatiku.

Sebagai seorang adik yang sangat dekat dengan abangnya aku harus bersiap wanitanya bukan lagi aku dan ibu, tapi akan bertambah dengan satu orang. Dan satu orang itu akan menjadi prioritas karena merupakan tanggung jawab abang nanti setelah menikah. Aku rasa adik-adik perempuan di luar sana paham apa maksudku.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Batalnya Pernikahan Kakak

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/photographeeeu

Singkat cerita, persiapan pernikahan abang pun dilakukan sebagaimana mestinya. Ayah, ibu, aku dan juga adikku perlahan-lahan mencoba merestui pilihan abangku. Kami sekeluarga mencoba berpikir jernih dan mengontrol kecemasan akan duniawi. Takut sekiranya hal itu akan menghalangi kehikmatan acara pernikahan nanti dan juga keharmonisan rumah tangga abangku kelak. Namun manusia punya rencana realita adalah kuasa Tuhan.

Awal tahun 2020 virus corona menyerang dunia termasuk Indonesia. Penyebaran covid-19 yang terus meningkat membuat pemerintah pusat dan daerah mengambil kebijakan baru guna meminimalisir penyebaran virus. Diberlakukannya lockdown di sejumlah daerah, larangan pengadaan pesta pernikahan  merupakan salah dua kebijakan yang diambil pemerintah.

Lalu tujuh hari menjelang hari pernikahan abang, instansi tempat ia bekerja menyuruh beberapa pegawainya untuk isolasi mandiri dan melarang untuk pulang kampung. Salah satu pegawai yang mendapat kebijakan itu adalah abangku. Tentu hal itu menjadi masalah untuk abang yang akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat. Dan hal ini pun menjadi diskusi besar keluarga kedua belah pihak untuk memundurkan hari pernikahan.

Entah bagaimana abang dan calonnya mendiskusikan hal ini, yang jelas pada saat itu ada telepon masuk dari abang selepas magrib dan apa yang disampaikannya di telepon membuat kami sekeluarga  terkejut. Pernikahannya dibatalkan. Aku tidak tahu bagaimana dua sejoli itu bermusyawarah sehingga hasil mufakat yang didapat demikian. Benar-benar di luar dugaanku. Sekalipun aku belum ikhlas kehilangan abang, aku bukanlah adik antagonis yang akan senang mendengar kabar itu.

Hari-hari setelah mendengar kabar itu, kami sekeluarga berusaha menghibur dan menguatkan abang. Tentu hal ini sangat berat untuk abang. Tapi ada satu hal yang kusadari kembali yaitu senyum ibu.

Ada senyum lega di mata ibu yang kulihat. Aku tahu ibu belum restu sepenuhnya abang menikah. Ibu masih ingin perhatian abang untuknya belum terbagi. Mungkin terlihat egois, namun aku paham betul bagaimana perasaan ibu kepada anak- anaknya. Hal ini memberiku banyak pelajaran kehidupan bahwa restu orang tua terutama seorang ibu memang sangat penting.

Apa yang terjadi pada abang adalah di luar sangkaanku. Namun ada terima kasih yang ingin kusampaikan pada abang, “Bang, terima kasih sudah gagal menikah. Berkat itu senyum ibu kembali mengembang.”

#ChangeMaker