Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: Nursittah Nasution
Dear Bu,
Punggungmu mulai terbungkuk pertanda beratnya beban yang kau pikul
Wajahmu mulai keriput pertanda susahnya hati menanggung semuanya
Padahal usiamu belumlah tua
Bu... berbagilah denganku
Ibuku adalah seorang artis dalam panggung rumah tangganya. Artis yang pandai bersandiwara yang menutupi semua nya hingga kami tertipu. Ibu perempuan kampung nan sangat sederhana yang harus putus sekolah ketika ia masih duduk di bangku SMA kelas I karena usaha kakekku bangkrut. Ibu perempuan kampung nan lugu itu pun akhirnya dipaksa nikah oleh kakek dengan seorang pemuda biasa yang bekerja sebagai pedagang yaitu ialah ayahku. Selama 42 tahun mengarungi biduk rumah tangga dengan ayah, ibu hanya punya satu topeng. Topeng yang juga selalu ditunjukkan kepada kami anak-anaknya. Topeng Tersenyum.
Memasuki tahun 90-an usaha keluarga kami bangkrut seperti halnya usaha kakek dahulu. Ayah yang paling terpuruk saat itu, rumah kami tergadai dan kendaraan kami terjual. Kami pindah ke rumah yang lebih kecil. Saat itu penghasilan keluarga kami benar-benar nol, ibu hanyalah seorang ibu rumah tangga dan abangku yang paling tua saat itu barulah berusia 13 tahun. Saat itu ayah benar-benar depresi dan hanya menghabiskan hari-harinya di warung kopi. Agar dapur kami terus berasap ibu berinisiatif menjual cincin kawinnya dan beberapa perabotan yang masih bernilai jual. Hingga tak ada satu pun barang berharga yang tersisa dirumah kami.
Entah berapa lama sebenarnya uang hasil menjual barang-barang tersebut cukup untuk memenuhi kebutuhan kami, namun yang aku lihat kami tetap sekolah dan kami tetap makan meski Ayah masih menenggelamkan dirinya di warung kopi tanpa penghasilan. Hingga suatu hari rentenir datang mengetuk pintu rumah kami. Ternyata selama ini ibu diam-diam meminjam uang kepada lintah darat itu untuk kelangsungan hidup kami. Tak ada satupun keluarga yang tahu bahkan Ayah. Entah apa yang ibu janjikan hingga para renterir itu pergi, aku sangat takut saat itu namun ibu menenangkan kami bahwa semuanya akan baik-baik saja dan meminta kami untuk fokus dengan sekolah.
Ibu yang Memiliki Cinta Besar
Tahun terus bergulir aku mulai duduk di bangku SMP, saat itu ayah sudah bekerja sebagai petani jagung dengan lahan pinjaman dari saudara ayah. Hidup kami masih sangat kekurangan hingga kakakku yang saat itu SMA hampir tidak bisa ikut ujian karena belum melunasi uang pembangunan sebesar 35.000 rupiah. Namun bukan itu yang aku gusarkan akhir-akhir ini ibu sering batuk dan tidak kunjung sembuh, setiap ku tanya ibu selalu bilang hanya batuk biasa dan sudah minum obat warung.
Ibu memang pandai menenangkan kekhawatiran kami, dan itu pun membuat kami percaya. Hingga akhirnya aku tahu kebenarannya dari nenek bahwa sudah setahun belakangan ini ibu terserang paru-paru basah, dari nenek juga aku tahu bahwa ibu diam-diam pergi ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan rutin untuk rontgen paru-paru. Sesak rasanya perasaanku saat itu, aku berlari memeluk ibu sambil menyalahkan ibu yang tidak pernah mau jujur dengan kami dan selalu menyembunyikan keadaan sebenarnya. Ibu lagi-lagi menenangkan aku dan berkata bahwa menurut dokter dia akan segera sembuh. Lagi-lagi aku percaya kebohongan ibu.
Hingga saat aku lulus kuliah dan bekerja, ibu selalu menolak jika aku bilang mau mengirimkan uang untuk mereka. Ibu selalu menyuruhku untuk menyimpan sendiri uangku dan meyakinkanku bahwa mereka hidup berkecukupan di kampung dengan hasil kebun milik Ayah. Namun kali ini aku tak mau ditipu ibu, diam-diam aku menghubungi kakakku yang kebetulan tinggal di Kampung.
Dari kakaklah aku tahu bahwa kehidupan mereka sedang sulit, ibu merawat kakak tertuaku yang saat ini mengidap kanker dan kebutuhan untuk itu sangatlah besar. Bahkan untuk makan sehari-sehari jika ayah belum panen terkadang ibu harus berutang di warung. Hati siapa yang tak patah mendengarnya, sementara aku d rantau menghabiskan uang gajiku untuk membeli makanan enak, baju dan hangout bersama teman-teman.
Aku tahu ibu berbohong karena tak mau merepotkan kami, ibu tak mau menyusahkan pikiran kami dengan menanggung semuanya sendirian. Namun aku sangat berharap semoga ibu mau terbuka dan jujur kepada kami tentang keadaan keluarga di kampung, tentang kesehatannya yang juga memburuk tentang semuanya, karena aku ingin membahagiakan ibu, mengganti kesusahan dan kesulitannya selama ini dengan kesenangan hidup, sudah cukup ibu menanggung semuanya sendirian.
Sampai akhirnya aku menjadi seorang ibu dan memahami yang dahulu dilakukan ibu kepada kami. Aku pun melakukan demikian dan aku memahami bahwa seorang ibu akan berusaha terlihat baik-baik saja demi melihat senyum anaknya.
#ElevateWomen