Senyumanmu Meneduhkan dan Semoga Tetap Merekah Sepanjang Waktu, Ibu

Endah Wijayanti diperbarui 30 Des 2020, 10:45 WIB
Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/oduaimages

Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.

***

Oleh: Nur Khoiro Umatin

Aku tinggal di sebuah desa yang saat aku dilahirkan termasuk desa yang tidak seberapa maju. Oleh karena letaknya berada dekat dengan Bengawan Solo, desaku sering dilanda banjir pada musim penghujan. Hal ini menyebabkan para petani seperti ibu dan bapak sering mengalami gagal panen. Kehidupan keluargaku pas-pasan, artinya hanya panen setahun dua kali itu hanya cukup untuk makan dan beberapa kebutuhan pokok lain.

Ibu adalah sosok yang sangat berharga bagi diriku. Meskipun keluargaku hidup dalam kesederhanaan atau bisa dibilang pas-pasan, ibu memiliki cita-cita yang sangat luhur. Ibu ingin aku meneruskan pendidikan di perguruan tinggi. Aku menuruti kemauan ibu karena aku tahu cita-cita itu sangat mulia dan tentu ibu ingin kelak aku hidup lebih baik dari beliau. Akhirnya aku pun berhasil lulus ujian masuk pada sebuah perguruan tinggi negeri. Aku sangat bersyukur karena biaya di perguruan tinggi negeri tentu lebih ringan dibanding perguruan tinggi swasta. Demikian pikiran yang ada di benakku saat itu.

Keputusan meneruskan pendidikan di perguruan tinggi menimbulkan suara-suara sumbang di sekitar. Banyak tetangga yang nyinyir terhadap keputusan yang aku ambil dan didukung oleh ibu. Bagi mereka anak petani tidak pantas mengenyam pendidikan di perguruan tinggi.

Suara-suara sumbang tersebut justru menjadi penyemangat bagi ibu untuk bekerja di sawah agar hasil panen bagus sehingga bisa untuk membiayai kuliahku. Setiap hari ibu pergi pagi pulang sore untuk bekerja di sawah. Semua pekerjaan di sawah seperti menanam padi yang biasanya dilakukan oleh beberapa orang pun dilakukan sendiri. Alasannya tentu saja untuk mengirit biaya. Bisa dibilang ibu susah sekali tersenyum karena beban kehidupan yang ditanggungnya.

What's On Fimela
2 dari 2 halaman

Aku Bisa Kuliah dan Bekerja di Tempat yang Baik Berkat Ibu

Ilustrasi./Copyright shutterstock.com/g/szefei

Pada saat musim kemarau para petani di desaku menanam tembakau. Demikian juga dengan ibu. Untuk mengirit biaya tanam, ibu memilih melakukan semua pekerjaan seperti menanam tembakau, menyiram, hingga menyiangi rumput dilakukan sendiri tanpa meminta bantuan pekerja.

Bahkan pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki pun dilakukan sendiri oleh ibu. Seperti mengambil air untuk menyiram tembakau. Ya. Bisa dibilang ibu banting tulang bekerja siang malam untuk membiayai kuliahku. Kadang jika gagal panen menerpa, ibu harus ke sana kemari meminjam uang kepada saudara dan tetangga. Tentu saja dengan tutup mata dan tutup telinga terhadap suara-suara sumbang yang muncul. “Wong tani wae kok wani-wanine nguliahke anak e,” (Petani kok berani menguliahkan anaknya). Kurang lebih seperti itulah suara yang sering mampir ke telingaku dan telinga ibu.

Aku sangat berterima kasih kepada ibu atas kerja keras dan jerih payahnya sehingga aku bisa menyelesaikan kuliah dan meraih gelar sarjana. Setelah lulus kuliah aku diterima bekerja di sebuah penerbit buku. Ibu merasa bangga dan gembira melihat aku diterima bekerja. Ibu mulai bisa tersenyum karena merasa bangga. Aku pun bisa melewati hari-hari dengan senyum dan terus berupaya membahagiakan ibu. Meskipun saat itu aku masih tinggal di kota yang berbeda dengan ibu, tetapi aku tahu ibu sudah bisa tersenyum bangga melihat keberhasilanku yang sebenarnya belum seberapa, tetapi sangat kami syukuri.

Saat ini aku bekerja di pemerintah desa atau sebagai perangkat desa. Suara-suara sumbang yang dulu terdengar tidak ada lagi. Suara-suara sumbang tersebut berubah menjadi pujian yang tentu saja hanya disenyumin oleh ibu. Alhamdulillah, aku bisa bekerja di desa tempat aku dilahirkan sehingga bisa dekat dengan ibu.

Harapanku, aku bisa berbakti kepadamu dan menemanimu melewati hari-hari. Senyummu yang setiap hari mengiringiku berangkat kerja menjadi semangatku. Aku ingin terus melihat senyummu yang meneduhkan itu merekah sepanjang waktu. Terima kasih untuk kerja keras dan usahamu membahagiakanku. Aku sadar seberapa pun usahaku untuk membalas jasamu belumlah cukup. Akan tetapi, aku merasa senang melihatmu tersenyum pada masa tuamu sekarang. Terima kasih untukmu, ibu!

#ChangeMaker