Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: Mavitsarg
Ibu sering bilang bahwa kami (anak-anaknya) merupakan kebahagiaannya. Alasan di balik tangguhnya hati itu untuk tetap bertahan dan berjuang mempertahankan keluarga. Alasan ia tetap tersenyum walau sebenarnya aku tahu hatinya kerap kali terluka dan matanya selalu basah.
Ibuku bukanlah seseorang yang berpendidikan. Ia tidak sempat menamatkan sekolah dasarnya karena harus mengurus nenek yang saat itu sedang sakit keras. Ia akhirnya mengorbankan pendidikannya demi merawat ibunya (nenekku) karena memang saudara-saudaranya tidak ada yang bersedia. Bahkan sampai detik ini tidak pernah aku dengar keluh ibuku menggema atau bersungut-sungut karena keputusannya di masa lalu.
Suatu ketika aku bertanya pada ibu, apakah ia pernah menyesali keputusannya itu mengingat betapa beratnya perjalanan hidup yang ia lalui. Dengan tersenyum ia menjawab "Sedikit pun tidak. Aku percaya bahwa aku bisa menikmati banyak kebaikan, punya pekerjaan, dianugerahi anak-anak yang baik, kalian bisa pergi belajar sampai perguruan tinggi, bisa membangun rumah setelah pensiun, menjadi pelayan di gereja, semua itu pasti berkat doa ibuku. Aku memang tidak belajar dari sekolah, tapi aku mendapat banyak pelajaran dari kehidupan."
Masa lalu ibu mengajariku agar tidak pernah menyesali keputusan apa pun yang pernah kita ambil di masa lalu. Sebab menyesal tidak akan pernah bisa mengubah keadaan. Satu-satunya yang bisa dilakukan adalah melompat dari jerat masa lalu.
What's On Fimela
powered by
Terima Kasih, Ibu
Selama ini aku tidak pernah melihat ibu minder saat berinteraksi dengan orang lain walau ia tidak tamat SD. Ia selalu tekun belajar memperbaiki diri. Ia bilang bukan untuk menyaingi orang lain, tetapi untuk memantaskan diri. Ia sosok yang sangat peduli. Sepulang bekerja dalam lelahnya ia memberikan waktu untuk belajar secara otodidak memainkan organ agar ada musik untuk mengiringi ibadah di gereja. Hingga kini jemarinyalah yang mengiringi ibadah di gereja kami. Aku pikir ini adalah salah satu arti dari kata 'melompat' itu.
Barangkali ini jugalah alasan mengapa senyum ibuku selalu terlihat meski kehidupan sehari-hari tengah dilanda musim kemarau. Senyum penuh syukur. Ia selalu bisa mengatasi ekonomi yang sempit sehingga kami (aku, abang, dan adikku) bisa menikmati indahnya belajar di perguruan tinggi tanpa harus khawatir tentang makan dan minum. Tangisnya hanya terdengar saat ia tengah bersujud dalam doa. Mungkin itu juga alasan mengapa senyum ibuku tidak pernah pudar. Ia tahu tempat terbaik untuk mengadukan banyak hal dan harapan. Senyum itulah yang membuat perjalananku ke masa depan menjadi lebih luas.
Meski penghasilan tidak seberapa, senyumnya masih menyala. Saat sepanjang hari lelah bekerja, senyumnya masih menyapa. Kala batinnya lesu dan lunglai, senyumnya masih ada. Disembunyikan luka, dibuatnya tawar rasa duka digantinya dengan senyum dan pelukan hangat. Di balik hangatnya senyuman ibu ada banyak hal pilu yang disimpannya sendiri di dalam kalbu. Tak pernah dibagikannya sendu, ia selalu merangkaikan kisah-kisah indah dalam lembaran hidup. Sungguh, betapa kuatnya hati seorang Ibu.
Terima kasih untuk senyum itu, Bu.
#ChangeMaker