Fimela.com, Jakarta Hari Raya Natal tahun ini diakui oleh presenter kawakan Daniel Mananta berbeda dibanding tahun sebelumnya. Karena sesuai aturan pemerintah, Natal di tengah pandemi Covid-19 ini harus tanpa adanya keramaian.
Seperti diketahui, baru-baru ini Kementerian Agama menerbitkan Panduan Penyelenggaraan Kegiatan Ibadah dan Perayaan Natal 2020. Panduan ini tertuang dalam Surat Edaran Menteri Agama No: SE. 23 Tahun 2020, yang ditandatangani mantan Menag Fachrul Razi tanggal 30 November 2020.
Salah satu isi panduan penyelenggaraan kegiatan ibadah dan perayaan Natal di masa pandemi Covid-19, yaitu dilaksanakan secara sederhana dan tidak berlebihan, serta lebih menekankan persekutuan di tengah keluarga.
Kemudian jumlah umat yang dapat mengikuti kegiatan ibadan dan perayaan Natal secara berjemaah tidak melebihi 50 persen kapasitas rumah ibadah. Hal inilah yang membuat Daniel Mananta merasa berbeda.
What's On Fimela
powered by
Tetap Semangat
Namun hal itu tidak membuat Daniel Mananta bersama keluarganya kehilangan semangat. Bersama istri dan kedua anaknya, Daniel merayakan Natal tahun ini dengan sebuah tradisi unik dari Jerman, negara asal sang istri.
Bagi Daniel memaknai Natal di tahun Ini sebagai sebuah hubungan. Hubungan tanpa harus melihat latar belakang seseorang. Hubungan umat dengan Tuhannya. Momen di saat Natal juga menjadi saat yang paling dinantikan oleh Daniel karena di saat seperti inilah dia bisa berkumpul dengan keluarga tercinta.
Dalam doa Natal tahun ini Daniel berharap kedamaian, “Karena kedamaian adalah keberadaan seseorang yang baik dan itulah arti natal sebenarnya,” tutur Daniel Mananta dalam acara "Ngobrol Bareng Gus Miftah" di iNews, Jumat lalu.
Indahnya Toleransi
Tak hanya itu, isu sara yang juga mencuat beberapa waktu belakangan ini membuat keresahan tersendiri bagi Daniel. Daniel pun mengajarkan indahnya bertoleransi dalam kehidupan kepada kedua anaknya.
“Kenapa pelangi itu indah? Pelangi indah karena berbeda warna,” demikian yang disampaikan Gus Miftah terkait keberagaman yang ada di Indonesia.
Gus Miftah juga berkata, “Jangan menyatukan semua agama, ras, suku dengan dalih pluralisme, karena sejatinya mereka berbeda. Biarkan mereka berkata bagimu agamamu, bagiku agamaku,” tandas Gus Miftah.