Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: C
“Jerih lelah dan semua rupiah yang kamu korbankan untuk merawat beliau di masa tua tak sebanding dengan semua yang beliau korbankan untuk merawat, mengasihi dan membesarkanmu sejak didalam kandungan.” Barisan kata itulah yang sepintas tetapi berulang terlintas di pikiranku.
Saat aku rasanya mulai hilang arah padahal baru saja beberapa bulan menjadi pencari nafkah tunggal bagi keluargaku. Aku kewalahan, aku tidak sanggup, aku gagal. Papa sudah meninggalkan kami lebih dari 5 tahun yang lalu. Beliau pergi dengan berjuta kesedihan sekaligus hajaran bagi ketiga anaknya yang kelewat manja ini. Untunglah selain mewariskan sebuah rumah sederhana, beliau mewariskan mama yang begitu istimewa bagi kami bertiga.
Maafkan Aku, Ma
Maafkan aku yang belum mampu melindungi dan mengukir senyum syukur di wajah mama. Aku yang masih suka mengeluh di kala harus menanggung utang mama, aku yang masih sering hilang arah.
Kini, dengan statusku sebagai ibu tunggal. Aku semakin mensyukurimu, semakin mencintaimu ma. Abangku (anak pertama mama) memang adalah penyebab mama berutang hebat. Demi menuruti ambisi putra semata wayangnya mama rela menghabiskan lebih dari setengah “warisan” papa bahkan berhutang.
Mamaku yang dikenal jujur pun rela berbohong demi bisa mendapatkan pinjaman untuk putranya. Kadang aku kesal, sangat kesal. Abang yang seharusnya bisa menjadi pengganti papa malah menghancurkan mama dan kedua adik perempuannya.
Dalam hati aku berjanji tidak akan menikah dengan pria seperti abangku, aku tidak mau menambah luka bagi mama. Tapi nyatanya, aku gagal. Aku menambah deretan luka mama. Anak laki-laki yang tidak bertanggung jawab, menantu perempuan yang memperlakukannya seperti pembantu dan sekarang aku “menghadiahkan” padanya menantu laki-laki yang pengangguran dan hobi berjudi. Ampun, Ma.
Ada Rasa Bersalah yang Ingin Kutebus
Rasa bersalahku membuatku memaksakan diri untuk bekerja bahkan sampai usia kandunganku hampir 9 bulan. Satu tahun berlalu tepat 2 bulan setelah putriku lahir aku memutuskan untuk berpisah dengan laki-laki itu. Demi kami (aku, putriku, dan mama). Status yang tentu saja tidak membanggakan bagi mama. Tapi setidaknya berkurang penambah laranya.
Saat ini aku pencari nafkah tunggal, utang yang disebabkan abangku membuat bisnis mamaku gulung tikar. Kami sekeluarga dikejar para penagih hutang. Belum cukup luka itu, abangku berselingkuh dengan gadis penghibur yang membuat rumah tangganya pun hancur. Mama yang berusaha menasihatinya malah dicampakkan. Diusir dan tidak dianggap sebagai ibu, “Dia bukan mamaku, dia mamamu, bawa saja dia pergi.” begitu ucapnya.
Maaf, Ma, aku belum bisa melindungimu lebih. Aku hanya bisa mengabdikan hidupku untuk menemani mama dan merawat mama dengan apa yang aku punya. Terima kasih Ma sudah bersabar terhadap kami semua.
Maaf, jika aku masih suka mengeluh. Menanggungmu, putri kecilku, adikku dan kini anak abangku yang harus bersama kita karena perpisahan kedua orangtuanya. Maafkan aku jika aku belum bisa membuat mama tersenyum seperti mama dulu membuat aku tersenyum. Selamat hari Ibu, Ma! Aku sungguh bangga punya ibu sepertimu. Semoga aku mampu menjadi ibu sepertimu-yang tulus, ikhlas, dan penuh cinta.
#ChangeMaker