Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: Anna Fitri
Notifikasi pesan WA teraba olehku. Kubuka kantong depan tasku, kuambil ponselku, dan kubaca pesan yang baru datang di pagi itu. Dari Ibu.
“Assalamualaikumwrwb. Mbak Anna, sudah berangkat? Semoga sehat semua, dan Allah SWT meridhoi dan memperlancar semua tugas dan urusan hari ini. Aamin...”
Rasa hangat menjalar di dadaku. Kubalas WA Ibu dengan menceritakan kegiatanku semalam.
“Waalaikumsalamwrwb. Alhamdulillah, sehat Bu. Ibu dan Bapak juga sehat ya? Saya kesiangan. Bangun tidur jam setengah satu, lalu membersihkan kulkas, cuci piring, mencuci dan membumbui ikan. Harapan saya, jam 03.00 bisa membangunkan Azkiya lalu menemani belajar buat ujian akhir semesternya. Tapi Azkiya baru bisa bangun jam 03.30. Saya temani belajar sebentar. Lalu sholat Subuh. Azkiya belajar sendiri. Saya menanak nasi dan goreng ikan. Setelah matang saya sarapan sambil menemani belajar lagi. Mandi, lalu berangkat ke sekolah. Duh, tapi kesiangan ini, Bu, nunggu bus berikutnya.”
Cerita panjang itu aku ketik sembari menunggu bus yang akan mengantarkanku menuju sekolah tempatku mengabdi. Sekolah berjarak 30 km dari tempat tinggalku. Alhamdulillah aksesnya tidak sulit. Hanya satu kali naik bus langsung sampai depan sekolah. Berangkat pagi dan pulang sore. Itu rutinitasku. Setiap pagi WA Ibu menyapaku, mendoakanku, memberiku semangat. Demikian pula sorenya, WA Ibu menyapaku kembali, mengantarkanku untuk beristirahat bersama keluarga.
Aku tinggal di pondok mertua indah, sekitar sepuluh kilometer dari rumah ibu. Seminggu sekali aku menengok ibu. Setiap kali pulang ke rumah ibu, foto itu menyambutku. Foto close up seorang gadis cantik berhidung mancung sedang mencium mawar merah. Foto itu diambil oleh bapak, lebih dari empat dasawarsa lalu, dengan kamera manual, asli, alami, tanpa aplikasi tambahan apa pun. Foto yang mengundang decak kagum setiap tamu yang datang. Itu foto ibu. Wanita yang di masa mudanya mirip artis Grace Simon. Cantik sekali, sampai kadang aku sakit hati, banyak yang bilang kenapa aku tidak secantik ibuku.
What's On Fimela
powered by
Ketulusan Hati dan Ketangguhan Ibu Sungguh Luar Biasa
Ibu seorang ibu rumah tangga. Namun cerdas, pintar di berbagai bidang, terampil melakukan apa saja, rajin, rapi, selalu bersemangat, meskipun galaknya nggak ketulungan. Teman-teman masa kecilku takut main ke rumah karena ibu galak. Benci dengan anak kecil yang bandel, kotor dan bau.
Ibu bisa merajut. Ibu pintar menjahit. Ibu pernah menjadi juara rias pengantin. Daya ingat ibu luar biasa. Semasa kecil ibu menemaniku belajar sambil mengajariku banyak hal. Ibu adalah sumber belajarku. Ibu selalu ada untuk aku. Aku iri. Aku tidak sebaik ibu dalam mendampingi anak-anakku.
Ketika aku mendaftar masuk ke perguruan tinggi, kedokteran umum adalah incaranku. Tapi entah kenapa ibu tidak merestui. Mungkin mengingat kondisi ekonomi kami yang pas-pasan, sedangkan kuliah di kedokteran umum tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena ibu tidak merestui, maka gagallah aku masuk kedokteran umum. Padahal aku merasa bisa mengerjakan ujian itu, aku merasa skorku cukup untuk menembus jurusan favorit itu. Aku sempat menyesalkan kenapa ibu tidak merestuiku sehingga aku gagal masuk fakultas idamanku. Rida Allah tergantung rida orang tua. Doa ibu didengar dan dikabulkan Allah, aku tidak menjadi dokter.
Baru setahun terakhir ini aku menyadari hikmah di balik itu semua. Ibu tidak merestuiku menjadi dokter, sehingga aku tidak harus menjadi garda terdepan dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini. Tugasku tidak seberat mereka, para pahlawan kemanusiaan. Tugasku berbeda, aku mendampingi generasi penerus bangsa supaya tetap bisa mempersiapkan masa depan mereka, sekaligus memperkuat mental mereka dalam menghadapi pandemi Covid-19 ini.
Kembali mengingat perjuangan ibu, tanpa mengesampingkan perjuangan bapak. Kepandaian ibu memasak membuat ibu tak jarang mendapatkan pesanan roti, kue maupun masakan tertentu. Menjelang lebaran, pesanan kue kering berdatangan. Aku senang sekali membantu ibu. Sungguh menyenangkan menghirup sedapnya aroma kue kering ketika sedang berpuasa. Ketika musim hajatan tiba, tak jarang tetangga memesan kue bolu tradisional kepada ibu. Kue bolu sederhana bertaburkan sukade, kismis, meises coklat atau keju. Belum mengenal brownies, sponge cake, rainbow cake, red velvet ataupun carrot cake.
Menyelamatkan Keluarga
Ketika krisis moneter melanda, bapak terpaksa resign dari perusahaan tempatnya bekerja. Bapak bekerja sebagai sopir transportasi pariwisata. Perusahaan tempat bapak bekerja bangkrut karena krismon menurunkan angka kunjungan turis asing ke Indonesia. Saat itu aku baru lulus kuliah, belum bekerja. Sedangkan adikku masih SMA. Dengan cekatan, ibu yang mengambil alih perekonomian keluarga. Ibu berjualan masakan harian di teras rumah. Berbagai masakan rumah yang sederhana, seperti sayur sup, aneka lodeh, aneka balado, aneka baceman, aneka gorengan menghiasi meja saji ibu. Menurutku, meskipun sederhana, rasa masakan ibu tak kalah dari masakan chef Siska Soewitomo. Hanya kalah pamor saja.
Kala itu adalah episode yang berat untuk kami. Sejak dini hari ibu sudah menyiapkan barisan bumbu dapur yang akan digunakan untuk memasak nanti. Setelah salat subuh, ibu diantar bapak ke pasar, berbelanja berbagai macam kebutuhan dapur. Sesampai di rumah kembali, Ibu melanjutkan memasak. Sembari menyelesaikan memasak, lapak mulai dibuka.
Pelanggan sudah ada yang datang pagi-pagi. Ibu berjalan bolak-balik, dari dapur menuju ke teras, dan sebaliknya. Tak jarang berlari kecil takut masakannya gosong. Ibu tak kenal lelah. Menjelang sore ketika masakan sudah habis dan semua bersih, barulah ibu bisa beristirahat. Namun masih sembari merancang menu keesokan harinya. Mungkin sekitar lima tahun ibu berjualan masakan harian di teras rumah. Setelah aku mulai bekerja sebagai guru, dan adikku juga bekerja sebagai pegawai Pemda, bu tidak berjualan lagi. Apalagi mulai lahir cucu-cucunya. Repot momong cucu.
Sungguh aku iri pada ibu. Ketulusan dan ketangguhannya mendampingi keluarga sungguh luar biasa. Ketelatenannya mendidik anak tidak tertandingi. Tegas namun lembut. Galak tetapi sayang. Kadang ada pembelaan diri dari diriku, aku tidak maksimal mendampingi anak karena harus bekerja di luar rumah. Namun ternyata di hari liburpun pendampinganku kepada anak juga tidak maksimal. Aku asyik dengan gadgetku sementara anak-anak bermain sendiri. Kalau begitu bekerja bukan alasan tidak bisa mendampingi anak secara maksimal. Semua tergantung niat dan kemauan. Perbaiki diri, terus perbaiki diri, dan selalu perbaiki diri. Harus kupegang teguh mottoku, dan kucontoh ibuku.
Ibu, pengorbananmu tiada henti demi kebahagiaan kami, anak dan cucumu. Hanya doa yang bisa kami panjatkan untukmu, Ibu. Semoga Allah membalas lelahmu dengan kebahagiaan lahir dan batin, dunia dan akhirat. Amin.
#ChangeMaker