Fimela.com, Jakarta Selalu ada cerita di balik setiap senyuman, terutama senyuman seorang ibu. Dalam hidup, kita pasti punya cerita yang berkesan tentang ibu kita tercinta. Bagi yang saat ini sudah menjadi ibu, kita pun punya pengalaman tersendiri terkait senyuman yang kita berikan untuk orang-orang tersayang kita. Menceritakan sosok ibu selalu menghadirkan sesuatu yang istimewa di hati kita bersama. Seperti tulisan yang dikirimkan Sahabat Fimela dalam Lomba Cerita Senyum Ibu berikut ini.
***
Oleh: A
Hampir semua wanita yang saya kenal, pada suatu titik dalam hidupnya, bermimpi untuk menikah dan punya anak—membangun keluarganya sendiri. Tumbuh dalam keluarga dengan berbagai dinamika dan konflik internal, saya merasa alur seperti itu bukanlah untuk saya. Dalam lubuk hati yang paling dalam, saya bukannya membenci ide untuk membangun ‘sarang’ sendiri, tetapi lebih kepada saya merasa tidak punya kepantasan untuk menjadi seorang istri, apalagi seorang ibu. Namun, Tuhan bukanlah seorang penulis kisah yang bisa ditebak. Dia mempertemukan saya dengan seorang pria yang membuat saya berpikir soal pernikahan untuk pertama kalinya.
Pria itu pun tidak mempermasalahkan saya yang tidak berkeinginan mengandung anaknya. Dia menerima saya yang penuh cela ini, dan membawa saya melangkah ke jenjang pernikahan. Tapi sekali lagi, Tuhan tidak pernah memberikan apa yang kita inginkan, melainkan apa yang kita butuhkan. Dia menitipkan amanah pada saya, untuk menjadi seorang ibu. Sebuah peran yang bahkan tidak masuk ke dalam daftar hal-hal yang ingin saya capai atau saya bayangkan akan saya jalani.
What's On Fimela
powered by
Hamil
Pertama kali melihat dua garis biru itu, saya histeris. Tidak, bukanlah rasa sakit melahirkan yang membuat saya gentar. Namun, ketakutan harus membesarkan seorang anak manusia membuat lutut saya goyah. Saya menggunakan alat tes kehamilan berkali-kali karena berharap ada suatu keajaiban yang akan membuat garisnya pudar. Saya tidak siap menjadi ibu. Tidak, saya bahkan tidak pernah menyiapkan diri, karena saya begitu yakin Tuhan tidak akan menitipkan diri saya yang seperti ini seorang anak.
Saya merasa sangat yakin bahwa saya akan gagal sebagai ibu. Bahwa saya adalah segelintir dari kaum perempuan yang tidak pantas menjadi seorang ibu. Ada banyak hal yang tidak selesai dalam hidup saya. Menambah sebuah tanggung jawab baru atas sebuah nyawa, membuat nyali saya ciut. Tidak ada ketakutan yang lebih besar dari yang saya rasakan saat itu selain ketakutan bahwa saya akan ‘merusak’ anak ini. Di tengah kekalutan itu, seorang sahabat lama menyapa saya. Dia meyakinkan saya, bahwa Dia tidak pernah salah menitipkan amanah. Anak itu dianugerahkan pada saya, karena saya pasti bisa mengasuhnya. Lagipula, saya punya sembilan bulan untuk membuat diri saya merasa siap, ujarnya saat itu.
Sembilan bulan untuk belajar bagaimana cara menjadi seorang ibu sungguh bukan waktu yang cukup. Semakin saya belajar, mengikuti seminar, menelan berjilid-jilid buku, semakin saya merasa, saya tidak mungkin melakukan ini. Terlalu banyak yang saya tidak tahu. Bagaimana kalau dia sakit? Bagaimana kalau tulangnya patah atau bengkok karena saya tidak menggendongnya dengan benar? Bagaimana kalau saya tidak bisa menyusuinya dengan baik? Bagaimana kalau saya tidak mampu melindunginya dari busuk dan kacaunya dunia? Bagaimana kalau dia tumbuh dengan membenci saya dan inkompetensi saya sebagai ibu?
Ada banyak kekhawatiran yang membuat saya kehilangan jam-jam tidur dan kewarasan. Tapi waktu tidak pernah menunggu, dan seiring perut yang semakin besar, pertemuan dengannya pun semakin dekat. Akhirnya waktu yang dijanjikan pun tiba, dia menyapa dunia melalui persalinan yang jauh dari kata lembut, dan pertemuan pertama kami pun jauh dari kata manis. Jika kebanyakan ibu dan anak saling jatuh cinta pada pandangan pertama, hal itu tidak terjadi pada kami. Saya yang tenggelam dalam rasa sakit jahitan perineum, dia yang tak berhenti menangis seolah menyadari dunia yang didatanginya bukanlah semesta yang ramah, bukanlah pasangan yang serasi.
Bulan-bulan awal menjadi seorang ibu, tidak, tahun pertama menjadi seorang ibu, tidak menyisakan banyak kenangan manis, bahkan memori saya cenderung blur. Depresi paska melahirkan dan sulitnya temperamen si bayi mungil yang berkebutuhan tinggi itu semakin membuat saya merasa gagal menjadi ibu. Tidak ada yang bekerja, semua yang saya kerjakan rasanya tidak pernah benar, dan saya tidak mampu menjadi ibu yang baik untuknya. Rasanya tidak ada yang menghakimi diri saya lebih keras ketimbang saya sendiri. Semua ilmu yang telah saya hafal di luar kepala tidak satupun yang mampu membuat saya berdiri kokoh percaya diri sebagai seorang ibu.
Namun, meski waktu seolah berjalan begitu lambat dan saya merasa terkukung dalam kegelapan tak bertepi, Allah memang tidak salah menitipkan amanah. Dia memberikan saya kesempatan untuk tumbuh dengan memberikan saya ‘tugas’ yang tidak pernah yakin bisa saya jalani.
Menjadi Ibu
Saya merasa telah mengalami pendewasaan lebih banyak daripada 26 tahun masa hidup saya sebelum bertemu dengan anak saya. Apakah saya sudah menjadi ibu yang baik? Saya belum cukup percaya diri untuk menyebut diri saya seperti itu. Tapi, saya cukup yakin untuk bilang, menjadi ibu telah menarik sisi terbaik sekaligus sisi terburuk saya sebagai seorang manusia, dan memaksa saya untuk menghadapi kedua sisi tersebut dan menerimanya.
Ya, menerima diri saya yang penuh cela, yang tidak akan pernah berhenti melakukan kesalahan. Menerima bahwa saya tidak akan pernah menjadi ibu sempurna, tetapi saya bisa mencoba untuk tetap berusaha, bukan untuk menjadi sempurna, melainkan untuk menjadi seorang ibu yang tidak pernah berhenti belajar memperbaiki diri. Penerimaan diri ini memberikan saya tali panjatan untuk keluar dari kubangan kegelapan.
Tidak ada satu pun kelas di jenjang pendidikan yang telah saya lalui mengajarkan dan menyiapkan seorang perempuan untuk bagaimana menjadi seorang ibu. Pengasuhan yang saya lakukan tentu saja tak lepas dari kesalahan dan berbagai percobaan metode parenting, tetapi saya akhirnya sampai pada titik di mana saya bisa tersenyum memandang pantulan diri di cermin. Saya masih terus berusaha untuk hidup pada saat ini, bukan pada penyesalan masa lalu, ataupun kekhawatiran tentang masa depan yang tak bisa diramalkan. Akhirnya saya menyadari, tidak ada satu pun kesalahan yang saya lakukan yang akan mengubah fakta bahwa saya hanya melakukan yang terbaik yang saya tahu pada saat itu.
Untuk semua ibu yang merasa seperti saya, jangan terlalu keras pada dirimu sendiri untuk setiap jengkal kesalahan yang tak henti kau hitung, karena sama sepertiku, kau hanya melakukan yang terbaik yang kau tahu pada saat itu. Peluk dirimu sendiri, dan bisikkanlah pujian, bahwa kau adalah ibu yang paling baik untuk anakmu. Anakmu hanya butuh kau sebagai ibunya, bukan ibu lain yang meski tampak sempurna bak tokoh di karya sastra, tapi bukan dirimu.
#ChangeMaker